Menjadi selamat di tengah keganasan internet adalah sebuah seni, seni mencintai diri di zaman digital.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk lebih mencintai diri di era digital ini?
Pertama, berhentilah membandingkan diri dengan orang lain
Seorang teman sekolah pernah mengatakan iri dengan saya lantaran saya menjadi seorang pegawai negeri yang tak terdampak pandemi. Padahal, saya pernah merasa iri padanya lantaran memiliki karier yang bagus di sebuah perusahaan. Memang, seperti kata orang Jawa, "Urip iku sawang sinawang," alias hidup itu saling memandang, orang memandang kondisi kita lebih enak sementara kita juga memandang mereka lebih enak.
Berkaca dari perkataan Robin Williams di atas, bisa jadi tawa yang dipamerkan di media sosial hanyalah sebuah kamuflase dari kesedihan yang tersamar.
Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain karena seperti pepatah ternama, perbandingan hanyalah pencuri kebahagiaan.
Kedua, ketahuilah kapan untuk merasa cukup
Dalam buku "The Psychology of Money," Morgan Housel menyebutkan bahwa cara terbaik menjaga hal-hal yang berharga adalah mengetahui kapan waktunya berhenti mengambil risiko yang bisa mengancam semuanya. Mengetahui kapan itu cukup.
Meski buku tersebut berbicara tentang kekayaan dalam konteks finansial secara umum, mengetahui cukup dalam berinternet akan membantu kita mengetahui apa yang lebih penting daripada kehidupan selancar dunia maya : dunia nyata yang membuat kita manusia seutuhnya.
Dalam setahun, saya melakukan social media sabbatical selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Sebuah kondisi ketika saya tak membuka media sosial sama sekali. Ada perasaan lebih 'utuh' dan 'penuh' ketika bisa terkoneksi lebih mendalam dengan dunia nyata.
Jika berinternet mulai terasa tak sehat untuk mental, mungkin digital detox adalah hal yang kita butuhkan.