"Baik, eyang Mpu," jawabku dengan patuh.
Inilah saatnya aku menunjukkan ketaatanku melalui siapa saja yang oleh Sang Hyang Widhi dijadikan alat untuk menyempurnakan prasetiaku. Aku mengemasi barang-barangku, para cantrik terkejut mendengar berita ini dan menangis sewaku aku berpamitan kepada mereka. Eyang Ambar Kenanga juga menangis tersedu memelukku sewaktu aku mohon diri.
Rencananya malam nanti saya dan eyang Mpu Barada akan mengadakan perjalanan malam. Tentu saja perjalanan akan terasa lebih nyaman dan tidak kepanasan, terlebih tidak akan dilihat orang karena kami akan pergi melalui jalur udara sebagaimana saya naik Jatayu bersama Paman Narotama waktu itu.
Rembang petang beranjak malam. Selesai makan malam di padepokan, menikmati jagung rebus, kacang rebus, dan cemeding daun ketela, Eyang Ambar Kenanga memberikan berkat di keningku sebelum aku berangkat.
Eyang Maha Mpu Barada mengajakku menuju bukit di belakang padepokan. Beliau memintaku memegang kain ikat yang dikenakannya dan memejamkan mata. Luar biasa, kini kami berdua mengangkasa. Aku tidak bisa melihat apa-apa karena kegelapan membungkus kami. Lebih baik kupejamkan mata dan menikmati tiupan angin yang menerpa. Kami terbang dalam keheningan, dan secepat kilat sampailah kami ke tempat yang dipenuhi semerbak wangi harum cendana.
"Pejamkan matamu, Sanggra, kita sudah sampai," bisik eyang Mpu Barada.
Benar saja. Begitu kupejamkan mata, aku sudah bersimpuh di tanah.
"Kita di mana, Eyang?" tanyaku.
"Kita berada di Pulau Dewata, tempat leluhur romomu. Kamu mesti belajar
di sini."
"Baik, Eyang. Saya akan mempersiapkan diri untuk belajar."