Tarung  Gendala ( 1 )
Cerita  sebelumnya :
Tujuan hidupku menjadi mantap, untuk membawa pencerahan dan kebenaran bagi sesamaku. Bukankah  hidup  yang  berarti  adalah  hidup  yang  dibagikan, agar  sesama  merasakan  manisnya  cinta  Sang  Hyang  Widhi ?
(Bersambung)
Setelah aku mengalami pencerahan, dari seluruh penghuni padepokan hanya Eyang Ambar Kenanga yang tahu, juga Eyang Mpu Barada. Dengan ilmu rogoh sukma, Mpu Barada ikut hadir dan menyaksikan pentahbisanku tadi malam.
Sekar Kinasih datang memberitahuku bahwa Eyang Ambar Kenanga memanggilku untuk datang di pedepokan tengah. Sesampai di muka padepokan, tak kusangka Eyang Mpu Barada sudah duduk di padepokan menatapku dengan senyuman.
"Duduklah, Sanggra!"
"Terima kasih, Eyang Mpu."
"Luar biasa anugerah tadi malam."
"Ya, Eyang Mpu," sahutku.
"Sahaya sungguh mengalami pencerahan."
"Ya sekarang engkau mesti melaksanakan perutusanmu dari Sang Hyang
Widhi sendiri."
"Mulailah menjadi tanda, terang dan garam di padepokan ini."
"Kehadiranmu harus dirasakan bedanya bagi seluruh warga di sini."
"Semoga, Mpu, hamba mohon restu."
"Ya, semoga ketulusanmu berjuang seperti ketulusan romomu."
"Di sini sebentar lagi perutusanmu akan dimulai. Waspadalah."
"Baik, Eyang Mpu," jawabku.
Maha Mpu Barada memang sering tahu sebelum winarah, tahu sebelum kejadian itu terjadi. Maka akan kuperhatikan nasihatnya. Mpu Barada juga berkata bahwa aku harus segera pulang ke padepokannya.
Sebelumnya aku berniat pergi ke kebun setelah keluar dari padepokan tengah, karena saat ini saatnya panen kacang dan jagung. Selain berolahraga, aku juga senang berkebun. Di sana aku dapat menghirup banyak oksigen karena setiap dedaunan adalah gudangnya oksigen, gudang kehidupan yang sangat baik untuk kelancaran darah dalam tubuh dan otak.
Sebelum aku berangkat ke kebun kudengar ada yang tidak beres. Aku mencintai perdamaian, namun hatiku serasa tercabik manakala kedamaian itu diporakporandakan oleh ketidakjujuran dan pengkhianatan.
Suasana padepokan geger, karena ada yang kecurian. Peristiwa ini sepertinya direkayasa menjadi fitnahan yang menyudutkan beberapa cantrik yang tidak bersalah. Kurasa Eyang Mpu tahu siapa pelakunya, namun Eyang ingin ada yang mengaku dan bersikap kesatria.
"Sejak Bui, Sekung, dan Rungkut adiknya masuk ke sini selalu saja terjadi keonaran. Mereka sering meminta hasil panen dari penduduk dengan paksa, lalu mereka jual dan uangnya untuk mereka sendiri," ujar Kenanga.
Aku kaget mendengarnya. Tapi aku juga yakin mereka itu sumber ketidaktenteraman di padepokan ini. Sifat dengki, iri, dan mau menang sendiri serta amat rakus tak pernah mereka tutup-tutupi lagi. Mereka suka mengumbar keinginan dan nafsunya dengan terang-terangan.
"Bahkan, pernah juga beberapa kemben dan pakaian dalam para cantrik hilang ketika dijemur, lho," lanjut Kenanga.
"Tak ada yang menyangka ternyata ada di kotak kayu tempat pakaian milik Rungkut. Mereka bertiga selalu punya cara untuk memeras orang dan merusak semangat padepokan ini."
"Iya, Kenanga. Sekar Kinasih juga pernah mengeluhkan mereka. Banyak yang menyayangkan mengapa Eyang membiarkan saja mereka berbuat seperti itu, mestinya Eyang bertindak."
Mereka tidak tahu bahwa Eyang punya tujuan mulia untuk membuat mereka
 bertobat dan kembali berjalan ke jalan yang dikehendaki Sang Hyang
Widhi.
Orang-orang lain sudah tidak tahan melihat tingkah laku mereka, dan ini adalah ujian kesabaran bagi para penghuni padepokan. Bagiku, aku seperti diuji untuk lebih merasa, menyimak, dan waspada.
Rungkut selalu berbuat licik, kata-katanya manis penuh pujian, namun sebenarnya hatinya penuh kedengkian. Dari cara makannya saja sudah menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang kesrakat, rakus, dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan dengan hanya mencari yang enak mengumbar nafsu makan.
Mereka juga tidak punya tatakesopanan atau cinta kasih yang tulus dalam persahabatan. Sebagai wanita, mestinya mereka bisa ditata dan menata diri. Namun keadaan mereka tidak menunjukkan sikap seperti wanita. Ketiganya terlampau kasar dan keras dalam bersuara dan bertutur kata.
"Iya, ya, seorang wanita tidak pantas tertawa sampai kelihatan telaknya, melebihi laki-laki, bahkan seperti 'banas pati'," ujar Kenanga.
Jadinya aku ingin mencobai mereka untuk melihat reaksinya. Pada pagi yang cerah itu Eyang menyuruhku memanen kacang dan koro di kebun bersama mereka bertiga. Sengaja kupakai kemben jarit halus yang dibawakan oleh Ibunda Ratu dan kupakai kalung berlianku.
Aku hanya ingin tahu bagaimana sikap dan reaksi mereka melihat aku memakai perhiasan melebihi keseharian yang terlihat dari para penghuni padepokan. Sejak awal mereka sudah mengira aku ini anak orang kaya. Benar saja, mereka mulai tertarik.
Bui bertanya padaku, "Sanggra, kalungmu sangat bagus. Kamu beli di
mana?"
"Ini kalung pemberian eyangku. Katanya itu kalung kenangan."
"Memangnya eyangmu punya jabatan tinggi di kerajaan, ya?" tanya Sekung
dengan senyum sedikit masam.
"Jadi lurah," jawabku singkat.
"Memangnya orangtuamu kaya?"
"Tidak! Ya, seperti orang kebanyakan, hanya petani."
"Kalau petani kok bisa membelikan kalung sebagus itu?"
"Kan pemberian eyangku. Aku ini satu-satunya cucu perempuan. Jadi
mendapat warisan ini," jawabku.
Mereka memintaku melepas kalung dan mereka mencoba bergantian. Aduh tingkahnya aneh-aneh saja. Aku hanya tersenyum melihat mereka dan mengajak mereka untuk kembali bekerja.
"Kupinjam, ya, dengan sedikit paksa."
Boleh saja. Tapi kalau sudah, nanti kembalikan padaku."
Pekerjaan sudah selesai dan matahari sudah tepat di tengah, tanda waktu menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku pun meminta kalungku agar dikembalikan, tapi mereka menolak. Bui memang melepaskan kalung itu. Tapi bukannya mengembalikannya padaku, dia melemparkan kalungku ke arah Sekung, lalu dari Sekung dilempar kepada Rungkut sambil mengoda dan mengejek.
Namun ketika Rungkut melempar ke arah kakaknya, secepat kilat aku menangkap kalungku. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau aku segesit itu menangkap sambil melompat, bahkan Rungkut terjungkal karena terkena hantaman tubuhku.
Setelah kalung berada di tanganku mereka merasa jengkel dan hendak
mengeroyokku .
"Sungguh kalian tidak tahu diutung dan tidak bisa diajak bersahabat. Kalian pinjam kalungku, sudah kupinjami mengapa kalian mempermainkan aku?" begitu saja kataku mengalir.
Bui merasa tidak terima karena adiknya jatuh. Dia mencoba menendangku, tapi secepat kilat kuhindari, dan aku melompat ke atas sehingga gerakan kibasan dariku membuatnya terjungkal. Setelah aku mendarat kembali ke tanah, Sekung berusaha menjambak rambutku, tapi aku segera mengibaskan rambutku sehingga menampar mukanya seperti kuda yang marah mengibaskan ekornya.
Semua gerakanku ini kulakukan dengan spontan. Aku sendiri tidak menyadari kalau setiap gerakanku dapat menyerang balik serangan lawan. Badanku begitu ringan, bahkan hanya kuputarkan saja sudah membuat gerakan hantaman.
Karena serangan mereka dapat kutangkis dengan mudah dan membuat mereka kehabisan akal, sambil menahan rasa sakit mereka langsung lari menjauh.
Â
"Aku senang berteman dan bersahabat, tapi jangan mempermainkan dan mengejekku. Kalian sudah keterlaluan dan tidak pernah menghargai orang lain. Betapa sering banyaknya warga padepokan ini kau rendahkan dengan ulahmu. Mereka semua diam, tapi aku tidak."
Aku meneruskan pekerjaanku di ladang memanen kacang. Setelah satu jam aku berhenti. Kugendong dunak (tempat panen dari bambu) dengan kain selendang di belakang punggungku. Aku bergegas pulang ke padepokan.
Di sana Bui, Rungkut, dan Sekung menghadangku. Mereka mengelilingiku, bahkan sekarang mereka membawa tongkat, tali, dan clurit. Mereka meminta kalungku dengan paksa. Tentu saja aku tidak memberikannya. Tanpa hirau aku terus berjalan sambil menggendong dunak.
Mereka menyerangku dari segala arah. Entah mengapa aku merasa tubuhku begitu ringan hingga bisa melayang ke udara, menendang dan mengenai tubuh mereka dari atas, seolah-olah aku punya kekuatan Gatotkaca tokoh dalam pewayangan, anak Bima yang bisa terbang.
Melihat aku bisa melayang dan menendang sekalipun aku masih menggendong dunak yang penuh berisi kacang, mereka sangat heran. Lebih heran lagi, kacang itu tidak tumpah ketika aku melayang jungkir balik dengan cepat. Mereka bertiga babak belur karena tendanganku.
Sebenarnya aku tidak menyukai kekerasan, namun aku terpaksa melakukan semuanya untuk menghindari serangan mereka. Aku tidak menyerang mereka, aku hanya melayang, terbang, menghindar. Namun gerakanku mengeluarkan getaran yang membuat mereka kena pukulan, tamparan, dan sabetan clurit yang akan digunakan untuk melukaiku.
Kejadian ini untuk memberi pelajaran kepada mereka supaya tidak semena-mena kepada sesama. Aku tidak memukul mereka, hanya berusaha menghindar dan dan melindungi diri, tapi gerakanku yang tidak sengaja itu pun ternyata melukai mereka. ( Â Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria Monika  SND
25 Â Agustus, 2021
Artikel  ke : 447
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H