Suasana padepokan geger, karena ada yang kecurian. Peristiwa ini sepertinya direkayasa menjadi fitnahan yang menyudutkan beberapa cantrik yang tidak bersalah. Kurasa Eyang Mpu tahu siapa pelakunya, namun Eyang ingin ada yang mengaku dan bersikap kesatria.
"Sejak Bui, Sekung, dan Rungkut adiknya masuk ke sini selalu saja terjadi keonaran. Mereka sering meminta hasil panen dari penduduk dengan paksa, lalu mereka jual dan uangnya untuk mereka sendiri," ujar Kenanga.
Aku kaget mendengarnya. Tapi aku juga yakin mereka itu sumber ketidaktenteraman di padepokan ini. Sifat dengki, iri, dan mau menang sendiri serta amat rakus tak pernah mereka tutup-tutupi lagi. Mereka suka mengumbar keinginan dan nafsunya dengan terang-terangan.
"Bahkan, pernah juga beberapa kemben dan pakaian dalam para cantrik hilang ketika dijemur, lho," lanjut Kenanga.
"Tak ada yang menyangka ternyata ada di kotak kayu tempat pakaian milik Rungkut. Mereka bertiga selalu punya cara untuk memeras orang dan merusak semangat padepokan ini."
"Iya, Kenanga. Sekar Kinasih juga pernah mengeluhkan mereka. Banyak yang menyayangkan mengapa Eyang membiarkan saja mereka berbuat seperti itu, mestinya Eyang bertindak."
Mereka tidak tahu bahwa Eyang punya tujuan mulia untuk membuat mereka
 bertobat dan kembali berjalan ke jalan yang dikehendaki Sang Hyang
Widhi.
Orang-orang lain sudah tidak tahan melihat tingkah laku mereka, dan ini adalah ujian kesabaran bagi para penghuni padepokan. Bagiku, aku seperti diuji untuk lebih merasa, menyimak, dan waspada.
Rungkut selalu berbuat licik, kata-katanya manis penuh pujian, namun sebenarnya hatinya penuh kedengkian. Dari cara makannya saja sudah menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang kesrakat, rakus, dan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan dengan hanya mencari yang enak mengumbar nafsu makan.