Mereka juga tidak punya tatakesopanan atau cinta kasih yang tulus dalam persahabatan. Sebagai wanita, mestinya mereka bisa ditata dan menata diri. Namun keadaan mereka tidak menunjukkan sikap seperti wanita. Ketiganya terlampau kasar dan keras dalam bersuara dan bertutur kata.
"Iya, ya, seorang wanita tidak pantas tertawa sampai kelihatan telaknya, melebihi laki-laki, bahkan seperti 'banas pati'," ujar Kenanga.
Jadinya aku ingin mencobai mereka untuk melihat reaksinya. Pada pagi yang cerah itu Eyang menyuruhku memanen kacang dan koro di kebun bersama mereka bertiga. Sengaja kupakai kemben jarit halus yang dibawakan oleh Ibunda Ratu dan kupakai kalung berlianku.
Aku hanya ingin tahu bagaimana sikap dan reaksi mereka melihat aku memakai perhiasan melebihi keseharian yang terlihat dari para penghuni padepokan. Sejak awal mereka sudah mengira aku ini anak orang kaya. Benar saja, mereka mulai tertarik.
Bui bertanya padaku, "Sanggra, kalungmu sangat bagus. Kamu beli di
mana?"
"Ini kalung pemberian eyangku. Katanya itu kalung kenangan."
"Memangnya eyangmu punya jabatan tinggi di kerajaan, ya?" tanya Sekung
dengan senyum sedikit masam.
"Jadi lurah," jawabku singkat.