"Bisa saja orang kesrakat atau melarat hidupnya, namun dia ningrat dalam jiwanya. Meskipun hidupnya susah, dia menjalani dengan tabah, tidak menyalahkan keadaan, tidak merampas atau mengambil yang bukan haknya. Begitu pula sebaliknya. Ada orang yang kaya bahkan berkuasa, namun dia melarat dalam tatakarma dan mengalami kekeringan dalam kehidupan jiwa. Jiwa ningrat tidak dimilikinya, dengan serakah dia memperkaya diri agar takhtanya tetap tegak perkasa, dan dia bergelimang kepuasan semu.
"Ketahuilah orang seperti itu hatinya meronta. Walau kelihatannya dia bahagia, semua itu semu belaka. Sebenarnya, jati dirinya terkikis habis oleh perilakunya sendiri. Kesadarannya mati terkubur keegoisan. Hanya hampa yang merajai hatinya. Di mana hatimu, di situlah hartamu!"
"Jadikanlah hatimu menyatu, memburu harta yang tak pernah lengkang oleh panas dan tak pernah dimakan ngengat dan gegat, yang tak bisa dicuri oleh pencuri ataupun dirampas oleh perampok. Biarlah hati dan jiwamu dikuasai oleh Puncak Kesadaran Abadi yang mengasuh dan mengasah jiwa dalam kecemerlangan abadi untuk hidup bahagia dalam kesucian bersama Sang Hyang Widhi. Itulah kesejatian dari keningratan jiwamu dan kepribadianmu.
"Dengarkanlah Sabda Pandita Ratu, yang selalu menggema di lubuk hatimu, yang menuntunmu pada kedamaian adikodrati."
Suara Romo Prabu itu melembut, lalu lenyap menyatu dalam degup
napasku. Tiba-tiba aku sadar dan membuka mata.
Sempurna purnama eka nawa warsa tepat di hadapanku. Entahlah apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku telah duduk bersila di tepi pantai, memandang purnama dengan bias warna putih perak memenuhi permukaan laut. Putih seperti santapan bagi para jiwa suci.
Sinar perak itu membentuk jalan mengarah tepat di depan tempat aku bersimpuh. Aku bersujud ... berdiri kemudian mengangkat tangan untuk mengucap syukur atas segala anugerah yang kualami ini. Tepat pukul dua belas malam, purnama tepat di tengah batas cakrawala.
Pemandangan yang begitu indah, mahaindah yang belum pernah kusaksikan. Seperti batas dunia dan surga terbuka, indah dengan dian alam yang menyala lembut namun terang benderang, keluar dari pusat purnama. Sinar yang membentang di hadapanku bagaikan baja dari sutra, aneh, lembut, tapi kuat untuk dilalui.
Menakjubkan, wanita cantik, sang dewi yang pernah mendampingiku pada malam ketika aku berada di lereng Gunung Kelud untuk tirakatan demi menggagalkan pekerjaan Lembu Suro. Sang dewi hadir tersenyum sangat manis memesona, setelah itu membimbingku menuju pusat purnama.
Keajaiban itu terjadi lagi. Perkataannya tak dapat kumengerti, namun walaupun dia diam, sang dewi seolah berkata, "Putriku, aku ibumu, yang selalu setia menjagamu. Aku tahu apa yang menjadi niatmu, itu sangat luhur, Putriku. Kadang kita tidak bisa mengetahui apa yang menjadi kehendak Sang Hyang Widhi kepada diri kita, namun jika kita menaruh keparcayaan pada-Nya, Dia akan mengaruniakan anugerah yang luar biasa di luar gegayuhan kita.