Perutusan,Misi  Jiwa  Kelana (7)
Cerita  sebelumnya :
Suasana padepokan memang selalu menyenangkan, tenang, damai, hening dan auranya menyegarkan pikiran dan menyehatkan badan. Tapi itu tergantung kita yang merasakannya. Suasana sungguh mendukung mengajak ke arah keheningan batin, namun jika hati tidak ikut hening, ya, percuma saja. ( Bersambung )
Padepokan memang tempat untuk orang-orang yang berbudi baik dan tulus hati, untuk mengabdi. Di padepokan banyak anak bangsawan untuk melatih diri. Justru di sinilah para pemimpin padepokan sering kecolongan dengan masuknya orang-orang dengan motivasi yang tidak murni. Kadang mereka terhanyut karena belas kasihan. Padahal, setelah ditolong ada yang mencakar sebagai balasan, seperti memelihara harimau atau singa, atau dalam istilah Jawanya ditulung malah menthung, setelah ditolong malah memukul.
Tentu saja para pemimpin padepokan tidak ada yang mengira belas kasih mereka akan disalahgunakan. Air susu yang mereka berikan dengan tulus hati dibalas dengan air tuba. Begitulah pahitnya tingkah polah para penghuni padepokan yang tidak tahu balas budi.
Siang ini aku berjalan-jalan berkeliling kebun sebelum makan siang. Secara kebetulan aku berpapasan dengan sosok yang muncul dalam kontempelasiku, seorang wanita bertubuh tambun, lehernya seolah menyatu dengan dada sehingga tidak kelihatan seperti punya leher. Wajahnya kasar penuh jerawat seperti kulit jeruk purut, jalannya mengangkang seperti ada yang mengganjal pahanya. Kurasakan hawa panas ketika dia mendekat, tapi aku mencoba tersenyum ramah. Kuulurkan tanganku untuk berjabat tangan.
"Perkenalkan, namaku Sanggra,"
"Namaku Bui ... Bui Daramak lengkapnya."
"Senang berkenalan denganmu," kataku sambil menjabat tangan. Sangat panas. Bukan panas karena suhu badan, melainkan karena ada kekuatan setan yang menguasai. Dia menatapku tajam seperti merasa terusik, lalu menunduk sambil menyeringai. Sekarang aku dalam posisi berhadapan muka, dan aku benar-benar bisa merasakan aura gelap dan pengaruh ilmu hitamnya.
Tiba-tiba tiga gadis datang menghampiri. Kusambut mereka dengan ramah dan aku juga berkenalan dengan mereka. Kujabat tangan mereka, "Perkenalkan, aku Sanggra."
"Sekung."
"Buris, kami adik Bui," jawab gadis kedua.
Ternyata mereka kakak-beradik yang berasal dari negeri seberang. Tiba-tiba Bui tertawa keras-keras. Belum pernah kudengar seorang perempuan tertawa sekeras itu. Dengan indraku, aku bisa menangkap tawanya itu justru menyebarkan pengaruh negatif ke sekelilingnya.
Menyadari itu aku segera mengeluarkan selubung jaring sutra untuk menangkal pengaruh roh jahat dan perbuatan iblis. Kupusatkan indraku dan kurasakan angin bertiup keras menyelubungiku. Tanpa kuduga Bui tersedak dari tawanya. Dia tersedak begitu hebat sampai matanya melotot, padahal aku belum melakukan apa-apa. Aku berusaha meraih rohnya untuk mengarahkan pada kebaikan, namun dia malah memandangku seolah aku ini musuhnya.
Untunglah suara kentongan menyelamatkan kami dari situasi itu. Sudah waktunya makan siang dan kami harus berkumpul di ruang makan.
"Yuk, kita ke ruang makan," ajakku.
"Sudah tahu ini waktunya makan dan aku sudah sangat lapar," kata Bui dengan ketus.
"Aku juga sudah lapar sekali," sahut adiknya. "Bekerja setengah harian, aku nggak suka bekerja di kebun seperti ini. Kalau tidak ada maksud tertentu, aku tidak akan sudi melakukannya. Tapi aku sudah bosan dengan hidup miskin dan terhina." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Buris.
Mungkin Buris sudah terbiasa seperti itu, bicara tanpa sadar. Bahkan bohong pun sudah menjadi kebiasaan, membuat kebohongan yang satu lalu kebohongan yang lain. Dia sama sekali tidak peduli bahwa suatu saat kebohongannya bisa terbongkar.
Kami pun berjalan menuju ruang makan tanpa banyak bicara. Entahlah, tiba-
tiba Bui berbisik kepada Sekung, tapi aku sempat mendengar bisikannya.
"Sepertinya dia orang baru. Kita kerjain saja nanti. Kalau melihat kulitnya
yang mulus, kemungkinan besar dia anak orang kaya. Kita bersikap baik
saja, nanti kalau sudah ketahuan siapa keluarganya, kita bisa memerasnya.
Bagaimana?"
"Setuju...." jawab Sekung.
Mereka tidak tahu bahwa aku bisa mendengar bisikannya, tapi aku pura-pura tidak tahu. Aku tersenyum dan siap untuk makan. Terhidang makanan urapan serba mentah yang menjadi kesukaanku karena makanan sayuran sangat menyehatkan. Lauknya ikan pindang dari laut utara yang ditangkap di Pantai Rembang. Pasangan yang cocok untuk menu hari ini. Nasinya tersedia dua rupa; nasi beras dan nasi jagung yang telah ditumbuk halus. Ada pula sayur bobor dari boros kunci yang sangat menghangatkan tubuh di bulan Februari yang dingin ini.
Semuanya menikmati hidangan sederhana ini dengan lahap. Suasanya di ruang makan menjadi hening karena semua sibuk dengan isi piring di hadapannya. Sesekali terdengar gerutuan dan umpatan dari tiga perempuan di seberang yang tidak menyukai menu yang dihidangkan.
"Kok tidak ada daging babi hutan atau daging anjing?" tanya Bui dengan
 setengah memekik.
"Iya, aku juga pengin makan daging. Daging ular juga tidak apa-apa, asalkan
ada daging," timpal adiknya.
"Beberapa bulan ini makanannya hanya begini-begini saja. Sayuran,
tahu,tempe dan ikan," tambah Sekung.
"Ya di padepokan kita selalu disediakan makanan sehat, lebih banyak sayur
dan buah."
"Karena apa yang kita makan akan memengaruhi emosi dan seluruh olah
tubuh dan jiwa kita," sahut Ratna.
"Jika kita banyak makan daging kita akan buas dan tidak bisa
mengendalikan diri kita seperti binatang. Binatang perlu kita lestarikan agar
ekosistem bumi lestari," lanjut Kenanga.
"Benar, tentu Eyang tahu akan kebutuhan tubuh dan kesehatan kita," sahut
para cantrik yang berada di ruang makan.
Sekung menyahut, "Apa hubungannnya olah tubuh dengan apa yang kita makan? Yang penting kan makan enak, ada daging. Saya tidak pernah makan daging, jadi di sini saya pengin makan enak."
"Kalau ingin makan enak tempatnya tidak di sini, Sekung, di sini tempat untuk menempa diri dan oleh kanuragan," sahut salah satu cantrik yang kukenal dengan nama Menur. Â ( Â Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria Monika  SND
18 Â Agustus. 2021
Artikel  ke : 441
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H