"Buris, kami adik Bui," jawab gadis kedua.
Ternyata mereka kakak-beradik yang berasal dari negeri seberang. Tiba-tiba Bui tertawa keras-keras. Belum pernah kudengar seorang perempuan tertawa sekeras itu. Dengan indraku, aku bisa menangkap tawanya itu justru menyebarkan pengaruh negatif ke sekelilingnya.
Menyadari itu aku segera mengeluarkan selubung jaring sutra untuk menangkal pengaruh roh jahat dan perbuatan iblis. Kupusatkan indraku dan kurasakan angin bertiup keras menyelubungiku. Tanpa kuduga Bui tersedak dari tawanya. Dia tersedak begitu hebat sampai matanya melotot, padahal aku belum melakukan apa-apa. Aku berusaha meraih rohnya untuk mengarahkan pada kebaikan, namun dia malah memandangku seolah aku ini musuhnya.
Untunglah suara kentongan menyelamatkan kami dari situasi itu. Sudah waktunya makan siang dan kami harus berkumpul di ruang makan.
"Yuk, kita ke ruang makan," ajakku.
"Sudah tahu ini waktunya makan dan aku sudah sangat lapar," kata Bui dengan ketus.
"Aku juga sudah lapar sekali," sahut adiknya. "Bekerja setengah harian, aku nggak suka bekerja di kebun seperti ini. Kalau tidak ada maksud tertentu, aku tidak akan sudi melakukannya. Tapi aku sudah bosan dengan hidup miskin dan terhina." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Buris.
Mungkin Buris sudah terbiasa seperti itu, bicara tanpa sadar. Bahkan bohong pun sudah menjadi kebiasaan, membuat kebohongan yang satu lalu kebohongan yang lain. Dia sama sekali tidak peduli bahwa suatu saat kebohongannya bisa terbongkar.
Kami pun berjalan menuju ruang makan tanpa banyak bicara. Entahlah, tiba-
tiba Bui berbisik kepada Sekung, tapi aku sempat mendengar bisikannya.
"Sepertinya dia orang baru. Kita kerjain saja nanti. Kalau melihat kulitnya