Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 33, Perutusan Misi Jiwa Kelana 6

17 Agustus 2021   20:42 Diperbarui: 17 Agustus 2021   20:44 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Latihan  kanuragan (  lukisan  Bp  YP.Sukiyanto )

Perutusan,  Misi  Jiwa  Kelana ( 6 )

Cerita  sebelumnya :

 

Aku jadi teringat pesan Eyang Mpu Baradha, "Jika kamu merasakan hawa panas yang bukan dari panas bumi, panas yang menandakan akan hujan atau panas matahari yang memang sedang terik, bahkan panas itu kau rasakan waktu malam, berarti dalam hening kontemplasimu ada sesuatu yang terjadi. Itu tandanya ada makhluk yang membawa hawa perpecahan. Bisa jadi itu iblis atau setan, manusia yang berhati setan atau sengaja menghamba pada setan." Pesan itu terngiang kembali di hatiku. 

"Duh Gusti, demi Asma-Mu, kuatkan aku untuk membela kebenaran dan melingkupi orang-orang yang berhati murni dan berkehendak jujur supaya tidak jatuh ke dalam pelukan setan yang kadang memangsa dengan mulut manis dan beselimutkan mantel kebaikan."

Aku meneruskan kontemplasiku. Semakin lama semakin jelas wajah orang itu. Kurasa dia penyusup di  Padepokan Budi Tunggal ini. Orangnya tambun, pendek, gempal seperti kuda nil, atau anak raksasa bajang. Aku berusaha untuk mendekatinya dengan selubung sutra supaya tidak terkontaminasi dengan auranya yang panas membakar.

 Astaga, wajahnya sekasar kulit katak bangkong mekakak, yang berkulit kasar cokelat tua. Kurasa meskipun dilulur sembilan kali sehari tidak akan pernah halus, sebab wajah itu melambangkan pertemanannya dengan iblis.

Dengan ilmu rogoh sukma kucoba mengenali jati dirinya. Ternyata dia menyimpan sejuta harapan, selaksa ambisi untuk mencapai derajat yang lebih tinggi dan akan mampu mengangkat derajat hidupnya. Itulah sebabnya dengan berbagai cara dia berusaha masuk ke padepokan ini, mengingat padepokan ini merupakan tempat para anak priyagung. Kalaupun dimasuki dari kasta rendah atau rakyat biasa, biasanya mereka itu berjiwa ningrat.

Tidak seperti orang yang satu ini yang membawa hawa panas dan kegelapan. Dengan segala tipu muslihatnya, para pemimpin padepokan terkecoh dan menerima dia. Ternyata dia memang hidup kesrakat (melarat) sejak kecil. Kesenangannya selalu mengejar laki-laki.

 Dia berasal dari keluarga besar, saudaranya banyak dan mereka sulit mendapat makanan dan kebutuhan hidup. Untuk makan pun susah. Biyungnya amat miskin, sedang bapaknya sudah meninggal dalam sebuah pembantaian persengketaan tanah.

Dia tidak pernah bercerita tentang bapaknya, jiwanya hambar dari sentuhan cinta dan perhatian laki-laki. Itulah yang membuatnya selalu mengejar lelaki, meskipun para lelaki selalu menghindar darinya begitu melihat wajahnya yang mbengkerak seperti kodok bangkak.

Hatinya semakin teriris menghadapi setiap penolakan. Aku bisa mendengar jiwanya yang menjerit-jerit namun tak pernah dihiraukannya, sebab dia takut menjumpai jati dirinya. Demi menutupi kesepian hatinya, dia selalu tertawa seperti Sarpakenoko raseksi adik Dasa Muka, yang tertawa ngakak terbahak-bahak, seperti hendak menelan purnama. Hal yang tak pantas dilakukan oleh seorang perempuan.

Dia tidak merasa malu, sebab dalam keluarganya dia tidak pernah dididik kesopanan ataupun budi pekerti. Dia tidak pernah mau tahu apa itu tatakrama. Sebenarnya aku merasa kasihan padanya. Karena begitu berambisi untuk menaikkan derajat, dia menghalalkan segala cara untuk dapat meraih kedudukan di padepokan.

Bahkan sedapat mungkin dia bisa menduduki posisi pimpinan. Gejolak hati dan ambisi itu mengiringi setiap tarikan napasnya. Betapa dia ingin membebaskan diri dan keluarganya dari belenggu kemiskinan. Tapi karena salah langkah, dia menjadikan jiwanya terbelah. Tidak hanya mengabdi pada dua tuan, melainkan banyak tuan.

Bukankah telah tertulis dalam Kitab Injil, "Manusia tidak bisa hidup mengabdi dengan dua tuan." Tapi orang ini malah berbagi cinta dan nafsunya dengan banyak tuan. Sudah barang tentu dia tidak bisa hidup damai. Jiwanya terbelah dan nuraninya dimatikan oleh nafsunya sendiri.

 Dia tidak bisa membedakan antara cinta dan nafsu. Baginya kesenangan adalah cinta, nafsu juga cinta, demikian pula kepuasan. Sebagai akibatnya, hidupnya tidak bisa mengarah pada tujuan hidup dan kesejatian diri.

Sebenarnya dia sudah mendapat bimbingan dari Eyang Ambar Kenanga. Sebenarnya teladan yang diberikan oleh para cantrik dan semua penghuni padepokan di sini sudah cukup banyak, namun hatinya keras dan tertutup dari segala budi baik, dan kesadarannya dimatikan oleh permainannya sendiri dengan kuasa kegelapan.

 Dia selalu merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah benar, dan ini sungguh cara hidup yang keliru. Namun dia tetap menjalaninya karena dia merasakan kenikmatan, dan dia menganggap semua itu adalah cinta.

Kucoba mendekati rohnya dengan aji rogoh sukma yang telah kuasai. Namun rohnya menolak, karena jiwanya sudah hitam legam oleh segala kebusukan yang telah dirancangnya. Aku hanya bisa memohon kepada Sang Hyang Widhi yang memiliki kuasa untuk mengubah dia, agar membukakan pintu hatinya untuk menerima rahmat Ilahi. Seandainya kesadarannya putih untuk memeluk kebaikan dan kebajikan, segalanya akan kembali bergantung pada pertobatan yang lahir dari kesadaran diri sendiri.

Setelah kututup kontemplelasiku dengan doa spontan permohonanku kepada Sang Hyang Widhi, kuhela napas panjang untuk menarik sukmaku dari lalang perjalanannya ke alam di luar kesadaran dan wadak diriku.

Latihan  kanuragan (  lukisan  Bp  YP.Sukiyanto )
Latihan  kanuragan (  lukisan  Bp  YP.Sukiyanto )

 Kembalilah jiwaku menyatu kembali pada budimu, dengan badanmu dan menginjak kembali nuranimu yang ada di pusat tubuhmu, dan kembalilah rohku pada badan menjadikan aku bergerak kembali. Seperti biasa, setelah berkontemplasi kugosok tanganku sampai hangat dan kuusapkan pada wajahku. Aliran panas energi itu memberikan kehangatan ke seluruh wajahku.

Di dalam bilik pertapaan selalu disediakan kendi tempat minum dengan airnya yang menyejukkan. Jika diminum airnya khas berbau gerabah, tanah, jadi rasanya manis. Kupuaskan dahagaku dengan meneguk air kendi itu, yang mengalir dingin dan segar di tenggorokan.

Aku keluar dari bilik lopo dan menuju pendopo. Eyang Ambar Kenanga

sudah menungguku di sana.

"Bagaimana, Ngger, cucuku, dirimu telah mengalami kesegaran rohani?"

 "Iya, Eyang. Terima kasih atas waktunya, saya sudah diizinkan untuk

 tinggal di sini dan ngangsu kawruh dari Eyang."

 "Ya, itulah tujuan romomu mengirim ke Padepokan Liman Seto, dan Kakang Barada memilih padepokan ini untuk menguji kemampuanmu. Kamu harus berkembang dan jangan segan-segan bertanya pada Eyang. Apa yang kamu alami hari ini dalam meditasimu?"

Luar biasa. Eyang bisa menebak apa yang telah kualami. Tubuhku tiba-tiba memanas, sepertinya ada yang tidak beres di sini. Aku pun berusaha menyimak dan mencari tahu dengan aji rogoh sukma yang diajarkan oleh Eyang Mpu Baradha.

Aku segera menceritakan semua yang kualami kepada Eyang Ambar

Kenanga.

"Nah, itulah, cucuku, kau sudah mengalami kemajuan dengan menggunakan ajimu. Nanti akan banyak tabir terkuak dan dirimu banyak melatih seluruh kemampuan indramu. Kau akan bertemu dengan siapa yang kau maksud. Cobalah berteman dengannya. Nanti kau akan semakin merasakan pengaruhnya."

"Baik, Eyang, saya mohon doa restu dari Eyang. Semoga saya berkembang

 dalam kebaikan dan kebajikan."

"Amin," jawab Eyang. "Sekarang kamu istirahat saja dulu, sebentar lagi makan siang bersama. Kita akan berkumpul di pendopo tengah. Kalau kentongan yang dipukul satu kali, itu tanda waktunya makan."

Kumanfaatkan waktuku untuk berjalan-jalan berkeliling padepokan. Tempat

ini hampir sama dengan Padepokan Liman Seto, hanya saja di sini tanahnya

datar.

Aku senang karena banyak pohon buah-buahan dan bebungaan, sehingga jika ada angin bertiup semerbak harumnya menyebar ke mana-mana. Saat ini pohon sawo beludru sedang berbunga sampai berjatuhan memenuhi tanah. Aroma wanginya yang manis dan khas itu menyengat hidung, seperti minyak suling yang memberi aroma terapi, menenangkan pikiran.

Pohon jambu dersono juga sedang berbunga. Bunganya yang merah banyak berjatuhan memenuhi tanah, membuat pemandangan terlihat seperti permadani Turki yang terbentang indah dengan warna merah cerah hampir mendekati warna nila yang memesona.

Suasana padepokan memang selalu menyenangkan, tenang, damai, hening dan auranya menyegarkan pikiran dan menyehatkan badan. Tapi itu tergantung kita yang merasakannya. Suasana sungguh mendukung mengajak ke arah keheningan batin, namun jika hati tidak ikut hening, ya, percuma saja. ( Bersambung )

 

Oleh :Sr. Maria  Monika  SND

17 Agustus, 2021

Artikel  ke :33


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun