"Wah, raja yang penuh perhatian kepada rakyatnya."
"Ya, rajanya sangat baik," jawabku singkat.
"Apa kamu pernah melihat rajamu, Sanggra?"tanya mbah Karto tiba-tiba.
"Pernah juga, Mbah, dari kejauhan, ketika Sri Paduka kirab berkeliling alun-alun," jawabku.
Aduh ampun Gusti, aku terpaksa terus berbohong untuk menutupi jati diriku yang sebenarnya bahwa aku ini putri raja.
"Senang, ya, bisa melihat raja. Permaisurinya cantik tentunya. Kau ini pantas menjadi putri raja, lho, Sanggra. Kamu cantik sekali dan halus serta anggun penampilanmu," sahut Warni tiba-tiba.
"Ah, kau ini ada-ada saja. Aku ini hanyalah anak demang. Tapi terima kasih untuk pujianmu," jawabku tenang.
"Wah, sayur asemnya segar sekali, ya, saya belum pernah makan sayur asem lumbu, dengan nasi jagung seperti ini. Di tempatku lumbu tales disayur lodeh. Sungguh ini segar sekali apalagi talesnya empuk, diaduk dengan nasi jagung, terus lauknya pedo. Wah, linak, linggo, lico," kataku untuk mencairkan suasana.
"Apa katamu tadi, Sanggra?" celetuk Tarni.
Tiba-tiba Mbah Karto nyeletuk, "Ning Sanggra itu memakai paribasan, linak, linggo, lico, itu artinya lali anak, lali tonggo, lali konco, atau saking enaknya makan nasi jagung dengan sayur asem lumbu tales, lauknya ikan pedo, dia sampai lupa sanak, lupa tetangga, dan lupa teman, rak gitu maksudmu, ya, Ning?"
"Ya, Mbah, betul sekali, Mbah juga pandai menerjemahkan. Apakah Mbah pernah belajar?" tanyaku.