namamu siapa? Tinggalnya di mana? Kok saya baru melihat...."
"Saya Sanggra, Mbah, tinggal di rumah Pak Karmo.
Saya dari Padepokan Liman Seto Desa Nglengkir."
"Oh, padepokan Maha Mpu Baradha itu?"
"Iya, Mbah. Apa Mbah pernah ke sana? Atau kenal dengan Eyang Mpu?"
"Wah, tidak, Ning. Tempatnya jauh. Mbah sudah tidak kuat kalau harus pergi ke sana. Apalagi tidak ada kendaraan yang menuju kesana. Paling sampai ke Jepon, terus naiknya sampai ke Gunung Mayit kan jauh."
"Oh, jadi Mbah tahu arah tempatnya?" tanyaku.
"Ya, tahu. Dulu sewaktu masih muda, saya jualan tikar sampai ke sana, lalu menjual gedhek bersama suamiku sampai Jepon, Jejeruk, dan belum lama ini sampai ke daerah Nglengkir yang letaknya di kaki Gunung Mayit itu."
"Mbah juga tahu kisah Gunung Mayit?"
"Ya. Mbah tahu sedikit. Menurut orang-orang, Gunung Mayit itu sangat angker. Siapa saja yang datang ke sana biasanya tidak kembali. Tapi ada juga yang bilang tempatnya bagus. Pemandangannya indah. Apalagi kalau sudah sampai ke puncak, seluruh kota Blora bisa terlihat di kejauhan, dikelilingi oleh hutan belantara yang lebat. Tapi setelah Maha Mpu Baradha tinggal di sana dan mendirikan padepokan, Gunung Mayit tidak angker lagi dan menjadi tempat yang aman dan nyaman. Malahan, menghasilkan banyak pendekar dan orang pintar yang punya tujuan luhur untuk membangun negeri."
"Asalmu dari mana, Ning? Apakah kamu juga nyantrik? Kamu ini masih muda, ayu lagi. Badanmu bagus, kulitmu halus ... kok orangtuamu mengizinkan pergi jauh," tanya Mbah Karto.