Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 26, Pengalaman Jajah Nagari (4)

9 Agustus 2021   09:46 Diperbarui: 9 Agustus 2021   10:09 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lintang  Manunggal  Sewaka  Duta (  Lukisan  Bp.Y.P  Sukiyanto )

Pengalaman  Jajah  Nagari    ( 4 ) 

Cerita  sebelumnya :

Nama padepokan itu merupakan singkatan dari kata Lintang Manunggal Sewoko Duto, yang artinya kita sebagai anggota padepokan harus sehati, sepikir dalam bertindak demi kebaikan dan kebutuhan sesama, kemajuan bersama, memperhatikan yang lemah miskin dan membutuhkan bantuan. Itulah sebabnya semua pekerjaan dilakukan dengan sukarela; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.  (Bersambung )

             

Semua perbuatan harus didasari rasa welas asih, penuh kasih, dan rasa persaudaraan; siap sedia tanpa pamrih dan tidak mengharap upah. Hanya Sang Hyang Widhi yang berhak memberi upah. Itulah sebabnya latihan raga dan sukma mesti selaras, seimbang untuk mencapi tujuan hidup yang bahagia bagi kekekalan roh. Siapa saja yang masuk padepokan ini tidak berhak memilih-milih pekerjaan, sebab semua serba sewoko duto, sebagai hamba yang siap diutus dan melaksanakan tugas apa saja.

Setelah mempelajari semua itu, hasrat di hatiku semakin menggebu demi mencari tujuan kesejatian hidup, demi kekekalan roh. Anehnya, setiap pekerjaan yang kulakukan secara otomatis membawaku dalam suatu refleksi dan memberi makna dalam menjalani kehidupan.

Aku bisa lebih peka dalam merasakan bahwa hidup tanpa refleksi adalah hidup yang tidak bermakna untuk dijalani. Dan ternyata teman-temanku se-padepokan juga mengalami hal yang sama. Cinta dan kasih serasa dimurnikan dalam menjalankan semua tugas dan kewajiban di padepokan Liman Seto ini. Semua berlomba-lomba untuk ngalap berkah, mengharap berkah bagi keabadian hidup, yang menghidupkan roh untuk semakin sehat dan peka.

Siang ini aku mengambil tugas menumbuk gabah (padi yang masih terbungkus sekam). Tempat menumbuk itu agak jauh dari padepokan, tepatnya di dekat dapur di bawah pepohonan yang rindang. Satu lesung bisa dipergunakan oleh delapan sampai dua belas orang. Kami dengan riang menyanyi lagu Lesung Jumengglung:

Lesung jumengglung 

Sru imbal-imbalan

Lesung jumengglung, maneter mangungkung

Ngebaki sak jrone padesan

Thok thek, thok, thok gung, thok thok thek thok thek thok gung

Artinya:

Lesung ditabuh dan bersuara

Saling bersahutan

Suara lesung nyaring dan merdu

Memenuhi seluruh desa

Kami yang menumbuk padi menyanyi bergantian dengan suasana hati yang riang gembira. Itu membuat pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat tanpa merasa lelah. Kami menumbuk padi cukup banyak hari ini, kira-kira 200 kg. Eyang Mpu memiliki sawah yang sangat luas dan panenan kali ini cukup berhasil. Pada kalimat terakhir nyanyian kami, kami memukulkan alu (kayu penumbuk) ke lesung sedemikian rupa sehingga suaranya seperti musik yang indah mengiringi nyanyian kami.

 Apabila kami merasa haus, kami bisa menikmati air minum yang sudah tersedia di kendi. Sungguh airnya sangat menyejukkan dan segar di tenggorokan. Hari ini aku mengenal nama-nama saudariku sepadepokan: Sekar Kinasih, Banyu Bening, Wulan Suminar, Indah Maesa Jenar, Siti Kenanga, Wangi Melati, Sumringah Mawar, Roro Nastiti, Diah Hapsari, Ratih Wardani, Catur Cakrawati, Pancawati, Sundari, Suminar Asih. Sungguh nama yang indah.

Sambil menumbuk padi kami bergurau. Meskipun baru dua hari tinggal di padepokan ini, aku merasa seolah tinggal bersama keluarga sendiri. Selesai menumbuk padi kami istirahat sejenak sambil menikmati ubi jalar yang disediakan Cahya Sekarningsih, salah seorang cantrik di padepokan.

Lintang  Manunggal  Sewaka  Duta (  Lukisan  Bp.Y.P  Sukiyanto )
Lintang  Manunggal  Sewaka  Duta (  Lukisan  Bp.Y.P  Sukiyanto )

Ubi jalar itu kami santap dengan lahap, karena tenaga kami cukup terkuras untuk menumbuk padi. Di bawah pohon kecik itu kami saling menceritakan asal kami masing-masing. Ternyata mereka ada yang sudah tiga tahun tinggal di sini, ada yang satu tahun, lima bulan, tiga bulan, satu bulan, bahkan baru dua hari, yang tak lain diriku sendiri. Dari pembicaraan mereka, aku tahu teman-teman baruku ini berasal dari kalangan berada yang ingin ngangsu kawruh, belajar segala ilmu terutama ilmu kanuragan.

Tak sedikit dari mereka yang orangtuanya lurah, camat, wedana, bahkan bupati. Dalam rekreasi dan rasa santai itu kupandangi wajah temanku satu per satu. Mereka cantik, manis, dan anggun. Itu sangat menjelaskan asal-usul mereka sebagai anak orang terdidik dan dari keluarga berkecukupan.

Ketika pikiranku masih sibuk menghafal nama teman-temanku itu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sapaan Sekar Kinasih, "Asalmu dari mana, Sanggra?"

"Aku ... aku ... dari daerah Daha," jawabku gugup karena pertanyaan dari Sekar yang begitu tiba-tiba.

"Apa pekerjaan ayahmu?"

"Oh, bapakku menjadi demang di Kerajaan Daha."

Duh Gusti, ampun, pikirku. Aku terpaksa berbohong karena aku tidak ingin mereka tahu jati diriku, sebagai calon ratu Kerajaan Daha.

"Kulitmu halus, Sanggra, sepertinya akrab dengan bahan lulur pilihan," celetuk Diah Hapsari. "Wajahmu juga sangat cantik, seperti putri keraton."

"Terima kasih," jawabku sopan.

Jantungku berdegup kencang mendengar pujian mereka. Bukan, bukan karena pujian itu, melainkan karena aku takut jati diriku terbongkar. Rupanya mereka menangkap aura bahwa aku berasal dari keluarga kalangan kerajaan yang jauh berbeda dari pengakuanku.

"Aku hanya biasa menggunakan bedak dempo (bedak dingin) yang dibuat oleh nenekku, dan lulur pun aku bisa buat sendiri. Nanti kuajari kalian membuat minyak cem-ceman kalau kalian mau."

"Setuju ... setuju, supaya kami tampil cantik sepertimu, Sanggra," sahut mereka serempak.

"Kata ibu dan nenekku yang penting cantik hatinya, kalau kita baik hati, punya maksud murni, niat tulus, dan selalu berpikiran positif, itu akan menjadi make up terindah untuk hati kita. Kalau hati kita indah, bebas tanpa beban, wajah kita pun akan terlihat cantik dan menarik."

"Ah kau pandai berfalsafah, Nggra," sahut Diah Hapsari.

"Bener lho" jawabku, "memang kita perlu merawat diri, bersih, dan sealami mungkin. Bukankah Sang Hyang Widhi telah menyediakan semuanya di alam semesta ini. Coba lihatlah di sekitar kita, semua tersedia untuk obat dan merawat tubuh kita."

"Wah, rupanya kamu tahu banyak tentang manfaat herbal, ya?"

"Ya, sedikit-sedikit aku tahu. Nenek dan ibuku senang mengolah herbal untuk jamu dan keperluan wanita dan aku sering membantu mereka, jadi aku juga tahu bagimana mengolahnya."

"Untung kami punya sahabat sepertimu, jadi kami semua dapat belajar dan mengembangkan bakat serta kepiawaian kita, juga saling bertukar keahlian," sahut Jenar."

"Tahu, nggak, si Ratih itu jago membuat serabi. Kami belum bisa menandingi serabi buatannya yang empuk. Bukankah begitu?" imbuh Roro Nastiti.

"Iya, bener, dan ini si hitam manis Catur Setiawati, dia pandai membuat hiasan janur. Kalau ada sedekah bumi atau orang yang sedang mengadakan perhelatan di desa sekitar Padepokan ini, dialah yang turun tangan."

"Dan si Melati pintar merangkai bunga," tambah Ratih.

"Nah kalau yang satu ini si Banyu Bening jago membuat wedang ronde. Ronde buatannya bisa diminum untuk melawan kantuk ketika harus jaga malam."

"Tidak ketinggalan pula sobat kita yang kecil mungil, Wulan Sumringah. Dia pandai membuat getuk adas dan getuk gulingan."

"Oh, getuk yang kumakan waktu pertama kali datang ke padepokan ini, ya. Wah, getuknya memang enak sekali!"

Obrolan kami sangat meriah bersahut-sahutan, dasar para wanita kalau sudah ngobrol lupa pekerjaan.

"Ayo, ayo, kita lanjutkan pekerjaan kita," aku mengingatkan.

"Ayo, ayo, kita lanjutkan kerjanya supaya cepat selesai. Benar kata

Sanggra."

Kami menumbuk lagi sambil menyali lagu Lesung Jumengglung dengan penuh semangat dan memukulkan alu pada lesung dengan giat, nyaring menggembirakan: 

Lesung jumengglung

sru imbal-imbalan

lesung jumengglung

maneter, mangungkung.

 

Ngebaki sak jrone padesan, padepokan

Thok thek, thok, thok gung, thok thok thek thok thek thok gung.

 

Gabah yang masih berkulit kini menjadi putih bersih, siap dimasak. Secara bergantian kami menumbuk dan ada pula yang bertugas menapis (memisahkan gabah yang sudah terkelupas dan kulitnya).

Menapis membutuhkan teknik khusus sehingga kulit yang sudah terkelupas akan terlempar ke udara dan terbuang ke tanah. Dengan tampah yang terbuat dari bambu, gabah diinteri dan ditampi (gerakan melingkar dan mengangkat gabah sehingga antara kulit dan beras terpisah). ( Bersambung)

Oleh  Sr. Maria  Monika  SND

9 Agustus, 2021

Artikel  ke : 431

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun