Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 25 Pengalaman Jajah Nagari (3)

8 Agustus 2021   09:58 Diperbarui: 8 Agustus 2021   10:19 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semburat  Putih  Pelangi  Kasih (Lukisan Bp.Y.P  Sukiyanto)-Dokpri

Pengalaman  Jajah  Nagari    ( 3 ) 

Cerita  sebelumnya :

Pagi itu, kira-kira pukul 07.00, di halaman dalam padepokan, yang hanya ada kami bertiga, Eyang Narotama, bersemadi, dan tiba-tiba tubuhnya melayang tinggi, sampai setinggi pohon kelapa. Posisi duduk semadi berganti membujur seperti burung yang terbang, dan melambaikan tangan kepadaku dan Eyang Mpu Baradha. Aku pun menyambutnya dengan lambaian tangan dan kekaguman karena aku baru menyaksikan untuk pertama kalinya. ( Bersambung )

Aku bertanya kepada Eyang Mpu Barada, memakai aji apakah Eyang paman

Mpu Narotama sehingga bisa terbang.

"Dengan Aji Bayu mamuluk," jawab Eyang Mpu Baradha.

"Kau pun bisa melakukannya kalau tekun berlatih," kata Eyang Mpu. "Apakah kau tadi malam bisa tidur? Bagaimana perasaanmu hari ini, apakah kamu siap belajar sesuatu dari Eyang?" tanya Eyang Mpu Baradha.

"Aku Tidur sangat nyenyak, Eyang Mpu. Aku merasa senang dan bahagia boleh tinggal di sini, walaupun pikiranku selalu melayang memikirkan ibu, bapa, adik, dan semua yang di rumah," jawabku, sengaja aku menyebut Ibunda Ratu dan Romo Prabu dengan sebutan ibu bapa, supaya tidak dketahui oleh para cantrik siapa sejatinya diriku.

"Baik, cucuku Sanggra, sekarang tugasmu justru berusaha membunuh kerinduan itu. Nah, coba cari dan sadari, kuberi waktu untuk olah keheningan. Rasakan sungguh apa yang bergejolak selama kau mengadakan latihan keheningan, dan nanti sesudahnya ceritakan pada Eyang."

"Sendiko, Eyang," jawabku. Kebanyakan cantrik di sini menyebut Eyang Mpu Baradha dengan sebutan guru agung. Tapi ada pula yang memanggilnya dengan paduka guru. Mungkin hanya aku yang menyebut eyang.

"Baiklah Sanggra, sesudah sarapan gunakan waktu satu jam ini untuk bermeditasi. Besok setelah bangun pagi, selesai mandi kau langsung bermeditasi, ya. Ini sebagai latihan keheningan awal untuk semakin masuk ke lorong hatimu yang tiada berujung, yang mesti kau dengar dan kau simak gaung kumandangnya, kau laraskan dengan gerak batinmu, pikiranmu, dan kau satukan dalam budimu. Sekarang lakukan dulu selama satu jam, kalau kau bisa melakukannya lebih lama itu akan lebih baik.

 Sesudah bermeditasi, kau menghadap Eyang di tempat ini, ya."

"Sendiko Eyang," aku langsung pergi setelah menunduk hormat kepada

 Eyang Mpu Baradha, karena saya tidak diperkenankan untuk menyembah

lagi.

Aku langsung pergi ke rumah padepokan kecil untuk meditasi yang letaknya sedikit naik, yang kutempuh dengan berjalan kaki 300 langkah dari pendopo. Tempatnya begitu bagus. Di sini setiap padepokan lopo (rumah kecil untuk latihan rohani) terbuat dari kayu dan gentingnya dari sirap atau daun kelapa dan ijuk, sehingga terasa sejuk.

Lopo selalu dikelilingi pepopohonan buah-buahan yang rimbun dan juga tanaman bunga setaman, antara lain mawar, melati, kenanga, gading atau kantil, kamboja, bunga sepatu, soka, dan dolandra warna kuning keemasan. Suasananya sedikit mengingatkanku pada keputren istana Romo Prabu. Padepokan yang berupa pondok kecil ini letaknya di atas bukit, sehingga aku bisa menikmati pemandangan yang teramat indah di sekeliling, juga kota di kejauhan.

Aku berdiri untuk bersyukur atas anugerah Sang Hyang Widhi bahwa aku boleh mengalami suasana hati yang tentram, damai, sehat walafiat tidak kurang suatu apa pun, bisa bernapas dengan bebas penuh kesegaran. Aku pun berdiri tegak, kulatih pernapasan dengan menghirup dan mengembuskan napasku perlahan sambil menikmati hangatnya.

Aku jadi membayangkan orang yang kesulitan bernapas karena penyakit asma atau gangguan lain. Menyadari itu aku berdoa untuk mereka. Setelah itu aku duduk bersila, tegak kuatur napasku, kupenjamkan mata dan kuucapkan doa dalam batinku agar aku dapat melewatkan waktu hening ini dengan baik.

Segala daya indraku kupusatkan pada yang satu. Walaupun ini bukan pengalaman pertama bagiku untuk bermeditasi, justru ini menjadi tantangan batinku, sebab kali ini pikiranku dipenuhi rasa rindu pada Romo Prabu, Ibunda Ratu, dan kedua adikku.

Kupejamkan mataku. Dalam hening yang mendalam, muncullah sinar ungu yang cemerlang. Kuikuti dan kutatap dengan mata batinku, kunikmati dan kutelusuri, cukup lama aku bertahan untuk menjaga konsentrasiku. Tiba-tiba muncul wajah Romo Prabu, Ibunda Ratu, Eyang Sekar Tanjung, dan Eyang Narotama, juga kedua adikku secara bergantian.

 Ini adalah godaan. Kembali aku berkonsentrasi, lalu sinar ungu itu muncul kembali, lambat laun sinar itu membias menjadi sinar pelangi yang teramat indah. Biasnya berputar dengan cepat dan berubah menjadi warna putih cemerlang. Dengan mata batin dan daya indraku, kuikuti terus gerak warna itu, dan secara tak kuduga muncul sosok seorang wanita di tengah warna itu.

 Setelah kusimak dengan cermat wanita itu sebaya denganku, persis dengan wajahku, tersenyum manis, bersikap ramah, dan mengulurkan tangan padaku. Oh, ya, dia memakai kemben dan berjubah putih, selendangnya juga putih. Kunikmati pertemuanku dengan wanita yang mirip denganku itu.

Dalam keadaan diam kusambut uluran tangannya dan aku merasa tubuhku berputar bersamanya seperti gangsing yang berputar dari dua wanita kembar, lalu tubuhku terangkat bersamanya dan turun lagi di dipan tempat aku duduk bermeditasi.

Putaran itu bagai sebuah tarian yang dapat kurasakan dengan jelas, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti gerakannya. Akhirnya aku duduk kembali dan dia berangsur menghilang. Setelah sinar putih itu redup, kukatupkan tanganku, menggosoknya, dan setelah hangat kuusapkan di wajahku dan kusentuh mataku agar terbuka kembali.

Seperti inilah kebiasaan yang kulakukan setelah meditasi seperti yang diajarkan oleh Romo Prabu untuk menyadarkan cakra/lintangku yang kuajak mengembara dalam perjalanan roh sehingga aku tersadar kembali. Kutarik napas dalam-dalam, mengucap syukur atas setiap nikmat yang telah terjadi. Kulihat bayangan matahari sampai di tengah, dan itu artinya aku telah bermeditasi tidak hanya satu jam melainkan enam jam.

Aku segera pergi ke pendopo dan menemui Eyang Mpu Baradha yang sedang berjalan mondar-mandir sambil membawa tasbih. Rupanya Eyang Mpu telah melihat kehadiranku. Aku segera mengangguk dan Eyang mempersilakan aku untuk ke pendopo.

"Bagaimana, cucuku, pengalamanmu dalam latih kerohanian?" tanya Mpu dengan lembut.

"Aduh luar biasa, Eyang Mpu," lalu kuceritakan segala pengalamanku kepadanya.

"Sungguh luar biasa. Rupanya kamu sudah terbiasa meditasi, jadi tinggal diasah saja. Kamu telah berhasil mengatasi dan melampaui godaan, tekadmu memang luar biasa. Ini merupakan pengalaman awalmu memperoleh keheningan untuk tingkat aji rogoh sukmo, dan ini awal waktunya dibandingkan romomu. Orang yang kamu temui dalam meditasimu itu adalah saudari tuamu, orang percaya itu pamomong-mu, yang melindungimu, kesejatian rohmu.

Liman  Seto  (Lukisan Bp  Y.P  Sukiyanto)-Dokpri
Liman  Seto  (Lukisan Bp  Y.P  Sukiyanto)-Dokpri

 "Ada yang bilang itu malaikat pelindungmu. Nah, dialah yang akan membimbingmu agar senantiasa dekat pada Sang Hyang Widhi. Bagus sekali kamu mengalaminya justru pada hari kedua dan hari pertamamu olah meditasi. Teruskan usahamu untuk menyatu dengan jati dirimu agar semakin peka pada apa yang terjadi dalam dirimu, suasana di sekelilingmu, dan dirimu menjadi penolong dan berkat bagi sesamamu."

"Ya, Eyang Mpu," jawabku.

Setelah percakapan itu saya mengerjakan tugas untuk membantu di tempat yang membutuhkan tenagaku. Pekerjaan menyiangi rumput, menimba air, mempersiapkan makanan, memasak, menyapu pendopo dan kebun, serta mencari kayu bakar, semua dilakukan secara sukarela dan gotong royong oleh penghuni padepokan Liman Seto.

 Nama padepokan itu merupakan singkatan dari kata Lintang Manunggal Sewoko Duto, yang artinya kita sebagai anggota padepokan harus sehati, sepikir dalam bertindak demi kebaikan dan kebutuhan sesama, kemajuan bersama, memperhatikan yang lemah miskin dan membutuhkan bantuan. Itulah sebabnya semua pekerjaan dilakukan dengan sukarela; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

(  Bersambung )

Oleh  Sr.Maria  Monika  SND

8 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun