Aras tuding Panca sudra=Satria Wibawa, meskipun aku seorang perempuan, aku dicalonkan untuk menjadi ratu, jadi perlu menempa diri untuk menjadi satria yang berwibawa.
Aku diajak berkeliling daerah wilayah padepokan, yang kukagumi di mana-mana ditanami pohon buah-buahan, pinus, mahoni, damar, bahkan cendana dan di setiap taman yang memisahakan setiap rumah atau pondok padepokan selalu ditanami berbagai macam bunga sehingga di daerah itu berbau harum, terlebih ketika angin bertiup.
Sungguh merupakan tempat yang tepat untuk mengheningkan cipta, mengolah batin dan berlaku tapa. Eyang Paman Narotama menginap semalam di Padepokan Liman Seto, dan paginya kami duduk di rumah tengah berbentuk joglo tempat kami kemarin pagi duduk dan diterima para cantrik.
 Di sinilah Eyang Paman Narotama menyerahkan aku dalam asuhan dan didikan Eyang Maha Mpu Baradha. Eyang Paman Narotama berpesan padaku agar aku memanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya untuk belajar dan terus belajar serta kuat dalam menghadapi segala tantangan, sebab semua akan berguna bagi diriku dan banyak orang.
Saya harus benar benar punya sifat dan sikap "Sewoko Duto" untuk setiap tugas, rahmat Sang Murbeng Jagad akan melimpah bila aku tidak menyia-nyiakan tapi menggunakannya dengan baik untuk menolong dan menjadi saksi kebenaran dan keadilan, terutama kepada mereka yang lemah, miskin, terlantar. Sementara Eyang Mpu Baradha hanya mengangguk-angguk sambil mempermainkan jenggotnya., rambutnya yang sepunggung digelung dengan rapi di atas kepala, layaknya para pertapa.
 Eyang Mpu Baradha dan Eyang Mpu Narotama sama-sama memiliki rambut yang panjang hanya bedanya sebagian rambut Eyang Mpu Narotama sudah mulai memutih, sedang rambut Eyang Mpu Baradha masih hitam legam, kata para cantrik karena Eyang Mpu rajin merawatnya dengan minyak kemiri yang dicampur dengan daun mangkokan dan bunga-bunga kering yang diolah menjadi minyak rambut. Saya bisa juga membuatnya karena diajari oleh Ibunda Ratu dan Eyang Bibi Sekar Tanjung, istri Eyang Paman Narotama.
Pagi itu, kira-kira pukul 07.00, di halaman dalam padepokan, yang hanya ada kami bertiga, Eyang Narotama, bersemadi, dan tiba-tiba tubuhnya melayang tinggi, sampai setinggi pohon kelapa. Posisi duduk semadi berganti membujur seperti burung yang terbang, dan melambaikan tangan kepadaku dan Eyang Mpu Baradha. Aku pun menyambutnya dengan lambaian tangan dan kekaguman karena aku baru menyaksikan untuk pertama kalinya. ( Bersambung )
Â
Oleh  Sr. Maria  Monika SND
7 Agustus, 2021
Artikel ke  429
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H