Mohon tunggu...
Monika Ekowati
Monika Ekowati Mohon Tunggu... Guru - Seorang biarawati Tarekat SND--> ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Betapa indahnya hidup ini, betapa saya mencintai hidup ini, namun hanya DIA yang paling indah dalam Surga-Nya dan dalam hidupku ini, saya akan mencintai dan mengabdi DIA dalam hidupku ini ARTIKEL yang kutulis ini khusus untuk KOMPASIANA Jika muncul di SITUS lain berarti telah DIJIPLAK tanpa IJIN PENULIS !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Semburat Putih Pelangi Kasih Episode 24 Pengalaman Jajah Nagari (2)

7 Agustus 2021   11:25 Diperbarui: 7 Agustus 2021   11:45 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semburat  Putih  Pelangi  Kasih (Lukisan  Bp  Y.P.Sukiyanto)

Pengalaman  Jajah  Nagari    ( 2 ) 

Cerita  sebelumnya :

Arang dari kayu jati mudah keropos dan sangat ringan, tidak akan tahan lama untuk bahan bakar. Itulah sebabnya para penjual arang menanam pohon mlanding dan mahoni di halaman rumah dan pekarangan mereka, juga di setiap tanah kosong dan hutan di sela-sela pohon jati. Dengan demikian kelestarian alam tetap terpelihara, suhu udara dan kesuburan tanah juga terjaga. ( Bersambung )

Pada saat ramainya zaman nanti, tanah Blora ini menjadi kadipaten yang diperhitungkan oleh raja-raja Jawa. Blora juga akan terkenal melahirkan orang-orang bijak dan cerdik pandai dalam segala bidang yang akan memengaruhi ketatanegaraan Nusantara.

Lamunanku terputus oleh panggilan Eyang Paman Narotama yang

mengajakku untuk bangkit berdiri, melanjutkan perjalanan.

"Eyang, di mana tempat Mpu Barada tinggal?" tanyaku.

Eyang Paman Narotama pun menunjukkan rumah padepokan yang tidak

 jauh dari tempat kami mendarat.

Kami berjalan kaki kira-kira 500 langkah sebelum sampai ke Rumah

 padepokan berbentuk Joglo itu.

Para cantrik menyambut kami dengan menyembah. Mereka bersikukuh menyembah walaupun sudah dilarang oleh Eyang Paman Narotama dengan isyarat untuk tidak melakukannya.

 Aku mengenakan kain panjang motif sido mukti dan kemben seperti gadis desa layaknya. Aku juga tidak mengenakan bunga di rambut ataupun bedak tabur buatan ibunda ratu. Jadi penampilanku terlihat lugu, sederhana, dan apa adanya. Itu kulalukan dengan sengaja, sebab aku sudah diperingatkan untuk tidak menunjukkan jati diri kepada siapa pun.

Salah seorang cantrik yang menyambutku, berkata bahwa pada jam-jam pagi seperti ini Eyang Mpu Baradha belum beranjak dari meditasinya. Kami pun menunggu di pendopo yang beralas tikar pandan ditemani suguhan getuk gulingan yang terkenal halusnya, yang dibuat dari ketela pohon dengan gula jawa, dan teh hangat dengan gula aren sebagai minumannya.

 Sungguh sarapan pagi yang nikmat. Belum pernah aku makan getuk yang begitu enak. Belum puas aku mencicipi, tiba-tiba salah seorang cantrik datang membawa getuk berwarna hitam yang masih hangat, lalu mempersilakan kami untuk mencicipinya.

Menurut Eyang Narotama getuk ini diberi adas sehingga rasanya semriwing melegakan tenggorokan, juga dicambur air merang (batang padi yang dibakar) sehingga getuk itu berwarna hitam dan memiliki rasa yang khas.

Eyang mempersilakan aku untuk mencicipinya, dan ternyata rasanya

memang luar biasa enak. Itu terkenal sebagai gethuk Nggulingan.

Tak lama kemudian, dari ruang dalam muncullah seorang yang gagah

perkasa. Itulah Eyang Mpu Baradha yang sudah berusia 76 tahun, tapi masih

terlihat seperti baru berusia 35 tahun. Eyang Paman Narotama menghaturkan

sembah, dan mereka berdua saling berpelukan sebagai tanda perjumpaan

sahabat.

Mpu Baradha menatapku, aku menghaturkan sembah, beliau menjabat tanganku, sambil berkata, "Oh, ini putuku anak Airlangga, nduk cah ayu, Eyang akan memanggilmu Sanggra."

"Sediko, Eyang Maha Mpu," jawabku.

"Aku sudah bertemu dan berbicara pada romomu tadi malam," kata Mpu

Baradha, "semoga kamu kerasan di sini. Anggaplah sebagai rumahmu

sendiri."

"Sendiko, Eyang," hanya kata-kata itu yang mampu kuucapkan, sebab aku setengahnya tidak percaya. Orang yang kupanggil eyang itu terlihat sangat muda, semuda Romo Prabu.

Pikiranku melayang. Pasti Eyang Mpu Baradha bertemu dengan Romo Prabu dalam Aji Rogoh Sukma, karena mereka berdua menguasainya dan seperti bapak dan anaknya, bahkan Romo Prabu pernah bilang bahwa Eyang Mpu itu guru spiritualitasnya selama bertahun-tahun sehingga Romo mampu mengendalikan kerajaan besar dan membuat rakyat gemah ripah loh jinawi (makmur, serbaberkecukupan sandang, pangan, dan papan).

     

Pagi itu seorang dayang mengantarku melihat-lihat ke tempat pondokan. Ada bangsal besar untuk pertemuan. Ada asrama untuk para murid Eyang Mpu Baradha, yang setiap rumahnya ditempati oleh dua belas murid. Sementara untuk laku tapa dibuatkan pondok kecil yang bisa digunakan secara bergantian apabila para murid ingin berlaku tapa.

Pusat olah kanuragan dan karohanian yang dipimpin oleh Mpu Baradha terletak di daerah perbukitan Gunung Mayit bagian selatan di wilayah Desa Sayuran Blora. Perkumpulan ini disebut Kekadangan "Liman Seto" yang merupakan kepanjangan dari Lintang Manunggal Sewoko Duto, suatu bentuk kekadangan atau kekeluargaan yang didasari sumpah dan kaul suci untuk mengabdi.

Para muridnya dibedakan asramanya antara yang pria dan wanita. Mereka dari seluruh pelosok Nusantara, yang ingin mengabdikan diri menuruti panggilan Sang Murbeng Dumadi untuk melayani sesama dan Sang Hyang Widhi.

 Di tempat lain juga banyak pondok perguruan seperti ini cerita para dayang, namun mereka banyak yang berguru pada Eyang Mpu Baradha. Dalam waktu singkat aku merasa cocok tinggal di sini, karena menurut catatan di Lontar tentang hari lahirku, aku dilahirkan pada tahun Alip Windu Sangara, pada Neptu 12, Wuku Kuwalu lakune Lintang, Pangrasan Aras tuding. Pancasuda=Satria Wibawa, Dina/Hari GAJAH, Lintang 12 ( lintang Dani Daru), Pranotomongso Kasongo (kesembilan), Bintang Liman adalah Gajah, dan Wuku Kuwalu lakune Lintang berarti aku memiliki sikap seperti gajah namun selalu berpindah-pindah, seperti perpindahan bintang di langit.

 Aras tuding Panca sudra=Satria Wibawa, meskipun aku seorang perempuan, aku dicalonkan untuk menjadi ratu, jadi perlu menempa diri untuk menjadi satria yang berwibawa.

Aku diajak berkeliling daerah wilayah padepokan, yang kukagumi di mana-mana ditanami pohon buah-buahan, pinus, mahoni, damar, bahkan cendana dan di setiap taman yang memisahakan setiap rumah atau pondok padepokan selalu ditanami berbagai macam bunga sehingga di daerah itu berbau harum, terlebih ketika angin bertiup.

Sungguh merupakan tempat yang tepat untuk mengheningkan cipta, mengolah batin dan berlaku tapa. Eyang Paman Narotama menginap semalam di Padepokan Liman Seto, dan paginya kami duduk di rumah tengah berbentuk joglo tempat kami kemarin pagi duduk dan diterima para cantrik.

 Di sinilah Eyang Paman Narotama menyerahkan aku dalam asuhan dan didikan Eyang Maha Mpu Baradha. Eyang Paman Narotama berpesan padaku agar aku memanfaatkan waktuku dengan sebaik-baiknya untuk belajar dan terus belajar serta kuat dalam menghadapi segala tantangan, sebab semua akan berguna bagi diriku dan banyak orang.

Liman Seto = Lintang  Manunggal Sewoo  Duta (Lukisan  Bp. Y.P.Sukiyanto)
Liman Seto = Lintang  Manunggal Sewoo  Duta (Lukisan  Bp. Y.P.Sukiyanto)

Saya harus benar benar punya sifat dan sikap "Sewoko Duto" untuk setiap tugas, rahmat Sang Murbeng Jagad akan melimpah bila aku tidak menyia-nyiakan tapi menggunakannya dengan baik untuk menolong dan menjadi saksi kebenaran dan keadilan, terutama kepada mereka yang lemah, miskin, terlantar. Sementara Eyang Mpu Baradha hanya mengangguk-angguk sambil mempermainkan jenggotnya., rambutnya yang sepunggung digelung dengan rapi di atas kepala, layaknya para pertapa.

 Eyang Mpu Baradha dan Eyang Mpu Narotama sama-sama memiliki rambut yang panjang hanya bedanya sebagian rambut Eyang Mpu Narotama sudah mulai memutih, sedang rambut Eyang Mpu Baradha masih hitam legam, kata para cantrik karena Eyang Mpu rajin merawatnya dengan minyak kemiri yang dicampur dengan daun mangkokan dan bunga-bunga kering yang diolah menjadi minyak rambut. Saya bisa juga membuatnya karena diajari oleh Ibunda Ratu dan Eyang Bibi Sekar Tanjung, istri Eyang Paman Narotama.

Pagi itu, kira-kira pukul 07.00, di halaman dalam padepokan, yang hanya ada kami bertiga, Eyang Narotama, bersemadi, dan tiba-tiba tubuhnya melayang tinggi, sampai setinggi pohon kelapa. Posisi duduk semadi berganti membujur seperti burung yang terbang, dan melambaikan tangan kepadaku dan Eyang Mpu Baradha. Aku pun menyambutnya dengan lambaian tangan dan kekaguman karena aku baru menyaksikan untuk pertama kalinya. ( Bersambung )

 

Oleh  Sr. Maria  Monika SND

7 Agustus, 2021

Artikel ke  429

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun