Yoganidra ( 4 )
Cerita  sebelumnya :
"Romo berada di hutan selama tiga tahun, suasana alam belantara yang penuh binatang buas menjadi akrab dengan Romo, ini Romo rasakan sebagai anugerah dari Sang Hyang Widhi yang menguasai Jagad Dewa Batara.
 (  Bersambung )
Â
Binatang-binatang menunduk jika bertemu dengan Romo, bahkan mengiringi Romo dan Paman Narotama jika berjalan keliling hutan. Alam akan menjadi selaras kalau antara budi, cita, rasa, dan karsa kita selaras untuk berdamai dan tidak merusaknya, seperti yang digambarkan dalam Kitab Daniel.
 "Bahwa Nabi Daniel juga tidak diterkam oleh singa, meskipun dia diumpankan pada binatang buas itu dalam satu ruang penjara, sebab hati sang nabi bersih murni hanya ingin mewartakan kebenaran Yang Maha Kuasa.
"Nah, Romo dan Paman Narotama menjadi terbiasa akan keadaan hutan dan menyimak pergantian musim, yang Romo lakukan sering berdoa pada tengah malam lewat pukul 00 sampai pukul 03.00, di situlah wahyu terkuat memancar memberikan kekuatan kepada orang-orang yang meminta berkat, pada saat-saat alam begitu hening, ketika makhluk-makhluk malam berkeliaran menggoda dalam berbagai cara untuk meruntuhkan siapa yang sedang 'tapa brata'.
Â
"Banyak godaan memang, namun justru nyali kita teruji, budi kita terasah, hati nurani kita meranum dalam kepekaan, dan tubuh serta jiwa kita berada dalam puncaknya untuk berjaga. Saat itulah rupanya ibundamu juga melakukan laku tapa yang sama, sehingga Romo bisa melihat jelas bahkan bertemu di hadapan Romo, begitu dekat.
 Tanpa Romo sadari, itulah awalnya Romo dan ibundamu bersatu dalam Aji Rogoh Sukma. Romo tak henti-hentinya bersyukur pada Sang Hyang Widhi, karena telah dipertemukan dengan ibundamu meskipun antar-sukma, kini Romo tahu bahwa ibundamu sehat walafiat dalam murni dengan laku tapanya.
"Yang mengherankan, saat kami bertemu dalam Rogoh Sukma itu, di sekitar hutan belantara menjadi terang benderang sehingga para penduduk sekitar hutan yang berada dua ribu langkah kaki bisa melihat sinar terang itu. Mereka tahu bahwa di hutan ada orang sakti, atau seorang batara yang sedang bertapa. Beberapa kali mereka berusaha menembus hutan, namun tidak ada yang berani. Romo mengetahui niat mereka baik, maka Romo dan Paman Narotama berjalan menuju tepi hutan, dan menyapa mereka.
"Ternyata benar mereka itu utusan penduduk setempat yang punya pangrasa tajam, jangan-jangan yang berada di hutan itu Airlangga yang berhasil melarikan diri dari penyerangan Raja Wurawari.
Mereka menceritakan semua itu kepada Romo dan Paman Narotama dengan penuh semangat. Setelah Romo membenarkan ceritanya, mereka menghaturkan sembah kepada Romo, meskipun Romo telah melarangnya, dan mereka membujuk Romo untuk membangun kembali kekuatan Kerajaan Medang.
"Menyaksikan sendiri bagaimana rakyat merindukan pemimpin untuk mengatur dan mengayomi mereka dari para penguasa yang selalu memeras dan mempekerjakan mereka secara paksa bahkan tidak pernah diberi upah apa pun dari hasil panen dan kebun. Romo mengabulkan permintaan mereka. Ketika itu kota Watan sudah hancur, Romo dibantu Paman Narotama, dan rakyat membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
"Mulai saat itu pemerintahan dimulai, dibentuk tatapraja yang baik, terdiri dari para kepala dukuh, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Memang kami harus bekerja berat, menghancurkan batu kali, mengangkut pasir, membuat pupuk dan melakukan penanaman pohon di mana-mana.
Daerah yang semula gersang pun menjadi hijau, sumber air muncul di mana-mana, dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun dilalui dengan kerja keras tanpa terasa dan tanpa terpaksa karena semua guyup rukun, saling menolong dan apa yang kami tanam pun bisa dinikmati hasilnya. Rakyat tidak kekurangan pangan, sandang, dan papan.
"Secara resmi Romo naik takhta tahun 1009. Perayaannya dilakukan secara sederhana, semua dari rakyat dan untuk rakyat segala kesenian yang disajikan, tari-tarian, wayang, jathilan, semua atas kreasi rakyat dan dipertunjukkan di alun-alun, seperti yang kau saksikan sampai saat ini."
Aku terdiam seribu bahasa menyimak cerita Romo Prabu yang mengesankan, sepertinya Romo sungguh mensyukuri apa yang telah diperjuangan oleh rakyat "Takhta Pandita Ratu", yang diembannya adalah tanggung jawab moral yang dianugerahkan Sang Hyang Widhi dan harus dijalani dengan penuh tanggung jawab.
 Itulah semua itu yang kurasakan selama ini sebagai putri raja, aku banyak belajar bagaimana ayahandaku memerintah kerajaan yang kini menjadi kerajaan besar. Baginya adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.
"Apa yang kaulamunkan, putriku?" suara Romo mengagetkan aku.
"Oh, tidak, Romo. Aku sedang membayangkan betapa luar biasa perjuangan
Romo membangun kerajaan sampai sebesar ini."
"Ya, anakku, ini semua anugerah. Romo juga sering bertanya kepada diri sendiri mengapa harus Romo yang mengalami semua ini.
 Inilah yang mengingatkan Romo untuk selalu eling lan waspodo (ingat dan waspada). Menjadi raja tidak boleh bersikap melik gendhong lali (lupa daratan), yang membuat orang yang sudah berkuasa lupa akan tujuan hidup semula, bahwa hidup untuk memuji Sang Murbeng Jagad dan mengabdi serta membantu sesama."
 "Hidup harus dihiasi dengan banyak berbuat kebajikan kalau kita ingin selamat dan sempurna bersatu pada Sang Hyang Widhi. Baiklah, Romo lanjutkan ceritanya. Wilayah kerajaan Romo waktu itu hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan sepeninggal ayahanda Dharmawangsa Teguh, eyangmu.
"Banyak daerah bawahan yang melepaskan diri, apalagi rakyat diporakporandakan sewaktu penyerangan Raja Wurawari. Kehidupan rakyat menjadi porak-poranda karena dia adalah raja yang bengis dan tidak berperikemanusiaan.
"Bagi rakyat kecil yang tidak punya kekuatan hanya bisa menurut pada perintahnya, karena kalau tidak, akan mendapat siksaan atau bahkan dibunuh. Itulah sebabnya banyak rakyat yang mengungsi. Dalam peristiwa ini Romo bertemu dengan Maha Mpu Baradha yang sakti mandraguna, yang asalnya dari daerah Blora atau yang disebut Lemah Citra.
"Dari Mpu Baradha, Romo banyak belajar falsafah hidup dan tatacara pemerintahan, bagaimana mengutamakan kepentingan rakyat. Mpu Baradha bisa merasakan bagaimana penderitaan rakyat kecil, walaupun dia berasal dari keturunan Brahma. Beliau selalu hidup dan berpihak kepada rakyat jelata. Padepokannya terletak di Lereng Gunung Mayit, yang membentang antara Rembang dan Blora.
"Di situ tanahnya subur, gemah ripah loh jinawi. Desa tempat Mpu Baradha yang disebut Lemah Citra atau Desa Sayuran itu banyak menghasilkan sayur mayur, palawija, buah-buahan, dan padi. Tapi paling terkenal karena mutu sayur-mayurnya. ( Bersambung)
Â
Oleh : Sr.Maria  Monika  SND
24 Â Juli, 2021
Artikel  ke  415
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H