Gua  Garba  2
Cerita  sebelumnya :
Pertiwi hanya bisa menangis, menangis, dan menangis. Apalagi jika banyak kehidupan dirusak karena aborsi. Mereka tidak menghormati arti anugerah kehidupan lagi. Aborsi adalah puncak kekezaman insani karena membunuh janin yang belum bisa membela diri. Mengapa ... wanita dan pria tega berbuat nista kemudian membunuh benihnya, anaknya sendiri dengan penuh kekezaman dan membekukan nurani untuk menguakkan dosa. Dosa, dosa dan dosa yang selalu jauh dari KEHIDUPAN.
Kehidupan di alam fana dan baka, kehidupan insani dan yang ilahi. Karena nurani putus dari sumbernya yakni Sang Khalik pusat kesejatian cinta yang melihat semuanya dengan penuh kesedihan. Karena setiap dosa adalah kematian yang menusuk dan mendera kesucian-Nya. ( Â Bersambung )Â
Duhai Pertiwi, pertiwi, tempat kehidupan dimulai. Gua Garba ... rahim awal dan asal kehidupan tersemai dalam embusan Roh Suci yang datang dari Bapa Penguasa surga dan bumi. Pertiwi ... gua garba yang disiapkan untuk selalu melindungi, menjadi tempat kehidupan, mengandung benih kehidupan dan melahirkan.
Dalam gua garba inilah janin bertumbuh dalam kedamaian, dia mulai belajar dari detak jantung bundanya, dia belajar dari sentuhan dan lembutnya suara, dari kasih yang dirasa, bergema dirasa perasaan bundanya. Dia mengisap dari tali pusat bundanya dan melayang-layang di antara rongga, hawa, dan darah kehidupan. Pertiwi ... gua garba, dikau wadah yang pasrah tak pernah menuntut balas dan rasa terima kasih. Dikau selalu memberi tak harap kembali, bagai sang Bapa Surya yang menyinari bumi.
Dikau senantiasa menumbuhkan dan menjaga kehidupan. Setiap yang hidup tumbuh dan berkembang dalam kesetiaan dari kehendak Sang Pemberi Kehidupan itulah yang selalu terjadi dan dikau setiai dalam alur jalannya kehidupan ini.
Hidup adalah keindahan yang telah dianugerahkan.
Para dayang kedaton putri, selalu mengingatkanku, setiap ada pelangi, seperti inilah suasana kelahiranku dulu. Setelah seharian penuh hujan dicurahkan dari langit, halilintar sambar-menyambar, langit gelap gulita.
Menjelang kelahiranku, didahului angin bertiup kencang, hujan berhenti, menggoreskan pelangi indah sebagai tanda kehadiran sang jabang bayi. Demikian melonjak kebahagiaan Ayahanda Prabu menggoreskan nama Sanggramawijaya, di sebuah prasasti yang berada di alun-alun pusat kota kerajaan.
Ibundaku mengandungku tidak hanya sembilan bulan, melainkan dua belas bulan tidak seperti bayi-bayi biasa yang lahir tepat waktu. Ibundaku menahan sakit pada bulan-bulan terakhir, bahkan harus taat untuk menuruti segala adat, merangkak seperti kerbau supaya aku cepat dilahirkan di marcapada ini.
Menurut dayang-dayang istana ibundaku senang nembang (berkidung) sejak mengandung, dan begitu hati-hati dalam segala hal, bunda tidak pernah membunuh binatang atau mematikan tanaman, bahkan semakin bersemangat dalam membudidayakan mereka serta keelokan semesta dengan menganjurkan penghijauan di lingkungan istana.
Pada saat kelahiranku usus membelit dan menurut keterangan dukun istana Nini Dyah, wajahku sudah penuh carut-marut goresan kuku. Ibundaku takut, tapi hatinya tetap tenang, karena telah ada tanda-tanda yang digenggam di dasar hatinya. Tanda dari Sang Hyang Widhi junjungannya.
Sebagai seorang perempuan dan seorang ratu, ibunda sangat peka akan tanda alam yang disimak dengan radar tajam nuraninya. Nurani menuntun lakunya untuk memenuhi tuntutan hari yang tak lepas embusan napasnya menjadi doa syukur puji, pada Dia Sang Hyang Widhi. Dia satu-satunya yang disembah dan diabdinya. Kesadaran ibunda ratu selalu dituturkan dan diajarkan pada para abdi dan dayang istana, terlebih bagi mereka yang mengandung.
"Gua garba seorang perempuan" adalah tempat sang jabang bayi mengalami tapa brata, merajut, menyerap, menyimak, dan merangkai suka dan duka yang dialami oleh bundanya. Seorang ibu senang berkidung atau mendengarkan kidung, maka anaknya akan ikut bersenandung dan peka akan gerak tarian dalam alam kehidupan.
Sang jabang bayi mampu memahami cobaan dan mensyukuri peristiwa indah yang kelak terjadi apabila dia telah terlahir sebagai manusia. Jika ibundanya senang belajar dan mengenal sesuatu yang baru, aktif dan rajin bekerja, kelak si jabang bayi yang dikandungnya akan menjadi anak yang aktif kreatif, mampu menembus zaman yang senantiasa maju dengan segala kecanggihan ilmu, tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesukaran dan kesulitan dalam hidup.
Apabila ibundanya gemar bertapa dan mati raga mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang tidak nalar, kelak anaknya pun akan tahu bagaimana hidup berugahari, tahu batas dan tahu berbagi pada sesamanya. Dia akan memaknai hidup penuh dengan kebijaksanaan.
Apabila ibundanya halus bertutur kata sopan santun budinya, serta baik hatinya, murah hati pada sesamanya, sang jabang bayi kelak juga akan meniru teladan hidup bundanya dalam kesopanan, indah dalam bertutur kata dan halus, baik budinya, serta murah hati penuh cinta kasih pada sesamanya.
Apabila ibundanya senang akan hal-hal seni, mencintai alam, hewan piaraan, menjaga suasana hati selalu gembira dan bahagia, sang jabang bayi pun kelak akan mengembangkan bakat itu dalam hidupnya, mencintai alam semesta, seni budaya, riang gembira, bahagia hatinya dalam mengarungi hidup.
Demikian pula jika ibundanya selalu sedih karena derita yang dialaminya, menyimpan dendam, rasa jengkel, dan hal-hal serta kata-kata negatif dari luar dirinya namun disimpan dan dirasakannya begitu mendalam, sang jabang bayi juga akan menjadi seorang pemurung. Dia mudah dengki dan iri hati, sulit mengampuni, dan serbagelap dan negatif memandang dan menilai setiap situasi kehidupan yang dialaminya nanti.
Amatlah penting bagi perempuan menjaga hati, batin, budi serta pikiran maupun tutur kata. Mempersatukan cipta, rasa, karsa menjadi satu harmoni ketika dia mengandung seorang bayi dalam rahimnya.
Dari rahim itulah titik awal jabang bayi belajar merasa sentuhan singal-singal yang diberikan oleh bundanya untuk diolah yang menjadi bekal saat dia dilahirkan nanti. Ketika dia belajar banyak tentang hal-hal yang positif, dia akan mengenal dan mempelajari banyak hal positif, merajut setiap rasa yang dialaminya menjadi bekal dalam kehidupannya nanti.
Segala apa yang didengar, dirasa, segala yang dialami di batin bundanya maupun di luar diri bundanya akan dirasa dan ditangkapnya seirama alunan napasnya. Diolah menjadi suatu keselarasan rasa di dalam batin dan jiwanya yang menumbuhkan karakternya sebagai seorang bakal manusia.
Demikian pula apabila yang dirasakan adalah banyak hal negatif, dia juga akan berkembang dengan menyimpan dan mudah terpancing oleh hal-hal yang negatif. Kalau ibundanya menerima dia, dia akan mudah menerima orang lain, lingkungannya, mudah bersahabat, dan menghargai hidup persaudaraan. Namun jika ibunya menolak dia, sang jabang bayi akan merasa ditolak dan dia juga akan menolak segala bentuk kasih sayang, perhatian dari sesamanya.
Bisa jadi dia akan menuntut untuk mendapatkan semua yang belum dirasakan sejak dalam kandungan ibu dengan ulah yang menggemparkan baik bagi ibunya sendiri maupun orang-orang sekitarnya. Oleh karena itu setiap perempuan hendaknya berhati-hati saat dia mengandung.
Saat itulah dia sungguh diproklamirkan sebagai perempuan, dia sebagai empu yakni mengandung dan menyimpan, memelihara benih kehidupan di dalam rahimnya. Benih yang dianugerahkan Sang Khalik agar kelak berbahagia, memuji dan mengabdi Hang Murbeng jagad penguasa alam semesta yang telah mencintai setiap jabang bayi.
Setiap bayi yang lahir dicintai-Nya dengan cinta tanpa syarat. Setiap bayi adalah buah cinta kasih, maka dihormati dan dilindungi serta dicintai keberadaannya. Itulah tanggung jawab pria dan wanita dalam melangsungkan dan mengikat diri dalam pernikahan. . Â ( Bersambung )
Â
Oleh  ; Sr  Maria  Monika  SND
13  Juli  2021
Artikel  ke : 400
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H