seksual tidak pernah dipertanyakan karena merupakan fakta yang diterima oleh seluruh peradaban.
Seluruh dunia yang beradab mengakui bahwa seksualitas adalah perilaku seks manusia sejak lahir, dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selama ribuan tahun, identitasNamun, dalam beberapa tahun terakhir, identitas seksual menjadi masalah kemanusiaan karena disebarkan dan diajarkan sebagai pilihan pribadi. Akibatnya, banyak orang mengalami kebingungan dalam mengidentifikasi seksualitas mereka. Sebagai masalah pilihan pribadi, ini menjadi ancaman bagi peradaban dan iman Kristen.
Kemajuan peradaban dunia membawa banyak hal baik, seperti teknologi yang semakin maju, ilmu kedokteran yang semakin canggih, dan peralatan pertanian yang semakin modern. Di tengah kemajuan ini, kebebasan berpikir dan berpendapat dijunjung tinggi sebagai hak asasi setiap orang. Hak asasi ini sering digunakan dengan baik, menghasilkan banyak kemajuan yang kita lihat saat ini.
Namun, ada bidang lain yang mengalami kemunduran, sebagai hasil negatif dari kebebasan berpikir yang tidak memiliki batasan. Kebebasan ini memunculkan masalah bagi peradaban dunia, yaitu kebingungan seseorang akan identitas seksualnya. Sepanjang peradaban manusia, tidak pernah ada orang yang mempertanyakan identitas seksualnya karena itu adalah hal yang alami diketahui saat seseorang mengalami proses pertumbuhan.
Namun, saat ini, banyak orang yang mengalami kebingungan seksual. Mereka tidak dapat menentukan apakah mereka laki-laki atau perempuan. Selain kebingungan seksual, mereka juga melakukan sesuatu yang lebih tidak masuk akal, seperti memilih untuk tidak mengakui jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dan beralih memilih gender netral.
Konsep-konsep yang mengaburkan ini digagas oleh kaum feminis dan variannya, termasuk kaum LGBTQ++. Pengaburan makna seksualitas ini dilakukan dengan membuat definisi yang berbeda antara jenis kelamin dan gender. Kelompok ini membedakan jenis kelamin secara biologis dan gender sebagai pilihan pribadi. Dengan melakukan hal ini, mereka bebas menentukan apapun yang mereka inginkan berdasarkan definisi yang mereka tetapkan.
Kebingungan Identitas Seksual
Perkembangan ideologi gender telah banyak memakan korban, terutama anak-anak remaja. Masalah kebingungan identitas gender lebih banyak dialami oleh remaja di Amerika. Dalam satu studi tentang 34.706 remaja, 10,7% responden tidak yakin dengan orientasi seksual mereka (Remafedi, Resnick, Blum, & Harris, 1992).
Bagaimana mereka tidak mengalami kebingungan, jika para guru dan dunia pendidikan sudah menerima gender sebagai pilihan pribadi dan ideologi gender telah diterima sebagai bagian dari ilmu? Di Thailand sendiri ada 18 gender (Soranews24).
Kasus "gender cair" merupakan bentuk penjajahan terhadap budaya dunia (laki-laki dan perempuan) yang sudah mapan selama ribuan tahun. Selain media, dunia pendidikan juga menjadi agen-agen bebas dalam menyebarkan ideologi gender. Dari puluhan jurnal tentang seksualitas, gender merupakan bagian dari seksualitas yang diterima dan disetujui oleh para sarjana.
Penerimaan ini tidak lepas dari definisi yang diberikan oleh kaum feminis terhadap istilah gender. Pemakaian kata gender dalam feminisme awalnya dicetuskan oleh Anne Oakley. Dia memulainya dengan mengajak dunia untuk memahami bahwa ada dua istilah yang serupa namun tidak sama, yaitu seks dan gender.
Anne berpendapat bahwa gender dan seks memiliki konotasi yang berbeda, baginya gender merujuk pada makna sosial dan seks merujuk pada makna biologis. Dengan kedua makna yang berbeda inilah kaum feminis menyebarkan konsep tentang gender yang semakin berkembang dengan pemikiran-pemikiran baru yang berorientasi pada kaum feminis.
Seksualitas Bukanlah Soal Konstruksi Sosial
Seksualitas manusia sudah diakui dan tidak dipertanyakan selama peradaban manusia di bumi. Ini sudah diterima sebagai kebenaran umum di seluruh dunia yang beradab. Tidak ada kelompok manusia yang mengadakan kesepakatan untuk menentukan mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Anehnya, para pendukung konsep gender menuduh bahwa seksualitas adalah masalah konstruksi sosial (penerimaan umum).
Konstruksi sosial terhadap masalah seksualitas baru muncul sejak konsep gender dicetuskan oleh kaum feminis. Namun, kita tahu, pernyataan "seksualitas adalah masalah konstruksi sosial" adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tuduhan ini lahir hanya demi membela konsep gender yang dijunjung sebagai pilihan pribadi.
Seksualitas adalah Fakta Sejak Manusia Ada
Alkitab mencatat: "Lalu berkatalah manusia itu: 'Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki' (Kejadian 2:23)." Semua umat manusia sejak dalam kandungan memiliki dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan, seperti Adam dan Hawa.
Tidak ada konsep gender yang merupakan pilihan bebas. Jika seseorang tidak bebas lahir dalam keluarga yang dia mau, mengapa dia bisa bebas menentukan identitas seksualnya? Ini adalah kesalahan. Hanya karena seseorang dapat memilih sesuatu, tidak berarti pilihannya itu benar dan nyata.
Seksualitas Ditentukan oleh Tuhan Sendiri
Alkitab mencatat: "laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Ia memberkati mereka dan memberikan nama 'Manusia' kepada mereka, pada waktu mereka diciptakan (Kejadian 5:2)." Tuhanlah yang menentukan seksualitas manusia, karena Dialah yang menciptakan dan berkuasa atas tubuh manusia. Manusia tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, termasuk menentukan jenis kelaminnya (seksualitasnya).
Bukan manusia yang menciptakan tubuhnya, karena itu manusia tidak memiliki hak untuk menentukan jenis kelamin yang dia inginkan. Manusia tidak memiliki hak untuk memilih gender netral atau mengatakan bahwa masalah jenis kelamin adalah masalah kesepakatan umum.
Karena itulah, tokoh-tokoh feminis Kristen seperti Rosemary L. Ruether tidak memiliki hak untuk mencari kesetaraan gender dalam seluruh Alkitab. Karena Tuhan yang menetapkan penulisan Alkitab. Penulisan Alkitab bukanlah kehendak seorang penulis tetapi kehendak Allah.
Saat Tuhan menulis laki-laki pemimpin rumah tangga, maka itu adalah keputusan-Nya, tidak ada keinginan laki-laki untuk menentukan bahwa dia menjadi pemimpin. Saat Tuhan menetapkan laki-laki yang memiliki satu istri yang memimpin sebuah gereja, itu adalah keputusan-Nya, itu tidak ada hubungannya dengan keinginan laki-laki.
Gbl. Ranto V. Simamora
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H