Oleh : Mona Fatnia
Si manis yang tak pernah kehilangan pelanggan setianya, apalagi berbagai produk tersajikan di mini market terdekat menandakan tidak hilangnya minat masyarakat dalam menikmati setiap tegukan dan gigitan makanan yang prosesnya melibatkan pemanis. Namun hal itu tak sejalan dengan kondisi kesehatan dari masyarakat yang kian hari menapaki kerusakan organ dalam tubuh. Berbagai penyakit melanda kaum muda maupun tua akibat kebiasaa yang tak terkontrol, lalu bagaimana pemerintah memberantasnya mesk cukai sudah direncanakan, sementara pada kenyataannya masyarkat tak bisa lepas dari yang manis-manis ?
Kebijakan Cukai Pemanis, Mampukah ?
Rencana penetapan cukai minuman manis dikabarkan terkait dengan upaya untuk mengurangi resiko penyakit tidak menular seperti diabetes. Sering dijumpai berbagai produk yang berkomposisi pemanis buatan pada kemasan makanan dan minuman, lebih lagi minat konsumtif masyarakat indonesia cukup tinggi pada tatanan makanan/minuman berpemanis buatan.
Merujuk pada data British Health Foubdation, meninjau bahwa karbohidrat dan kesehatan pada 2015 dari Komite Penasehat Ilmiah tentang Nutrisi, menunjukkan bahwa diet gula cenderung tinggi kalori, dan meningkatkan berat badan yang bisa berdampak pada kesehatan jantung.
Ini pun pada pengkonsumsian minuman berpemanis dalam kemasan yang memiliki sejumlah efek samping seperti gangguan matabolisme, kecanduan atau indikasi, masalah pencercanaan. Alzheimer, dan demensia. (CnnIndonesia, 02-08-2023)
Ini sejalan dengan data Internasional Diabetes Federastion (IDF), orang dewasa, kisaran umur 20-79 tahun, yang mengidap diabetes di Indonesia mencapai 19,5 juta jiwa pada 2021, nilainya pun bahkan diproyeksi menyentuh 28,57 jiwa pada 2045. Data dari IDF ini patut digarisbawahi bahwa dari total dewasa yang menderita diabetes, sebanyak 73,7 % adalah kasus yang tidak terdiagnosa secara resmi oleh dokter. (Tirto.id, 05-02-2024)
Dari fakta diatas telah menggambarkan masyarakat Indonesia sebagai negara dengan proporsi pengidap diabetes yang tidak terdiagnosis tertinggi, karena di negara-negara lain IDF mencatat porsinya dibawah 50 %.
Namun persentase itu justru memuncak dalam dua dekade, seperti merujuk pada data tirto.id/februari 2024 ini, tercatat konsumsi MDBK masyarakat meningkat signifikan. Dalam data CISDI menemukan konsumsi MBDK mengalami peningkatan dari sekitar 51 juta L pada 1996 menjadi 780 juta L di 2014. Dan pada 2020, Indoensia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan konsumsi MDBK tertinggi di Asia Tenggara.
Fatalnya penggunaan cukai pemanis pada produk makanan dan minuman tak terhentikan. Pemerintah pun bakal mulai mengenakan cukai pada produl minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun 2024 mendatang. Minuman yang dikenakan cukai pun yang mengandung gula, pemanis alami, ataupun pemanis buatan. (CnnIndonesia, 02-08-2023)
Ini pun didukung oleh Kementerian keuangan yang sebelumnya telah disampaikan oleh Sri Mulyani pada Februari 2022 kepada Komisi XI DPR RI bahwa potensi penerimaan cukai MBDK bisa mencapai Rp 6,25 triliun. Yang ini nantinya akan segera dipunggut cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) lewat PerPres No. 76 Tahun 2023, dengan target dari penerimaan cukai tersebut sebesar Rp 4,39 triliun di tahun pertama ditetapkan yakni 2024.(Trito.id, 23-02-2024)
Melihat kebijakan penanganan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi tingginya angka penderita diabetes pada masyarakat seperti buah kemarin, pasalnya pencegahan lewat pengabilan cukai pada pemanis dalam kemasan adalah pencegahan yang tak efektif dan malah lebih kepada mengada-ada, sebab solusi yang dihadirkan hanya bersifat kebijakan fiskal, dan bukan kebijakan kesehatan masyarakat.
Karena pada dasarnya solusi untuk mencegah diabetes tentu membutuhkan Upaya mendasar dan menyeluruh. Penetapan cukai pada minuman kemasan tidak serta merta menghalangi Masyarakat mengurangi minuman manis.
Apalagi dalam kondisi tingginya kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan serta rendahnya literasi kesehatan dan keamanan pangan, justru membuka celah adanya minuman manis yang tidak terkontrol di Tengah Masyarakat. Misalnya saja harga buah dipasaran amatlah mahal tentu ini tak sebanding dengan pendapatan masyarakat yang ingin untuk membeli buah agar mendapat suplemen vitamin, namun terhenti karena kondisi ekonomi yang tak memungkinkan untuk membelinya.
Maka menjadi masalah ketika buah yang harusnya mereka bisa dapatkan dengan harga murah, justru harus tergantikan dengan minuman berpemanis kemasan yang gizinya pun tak ada. Ini pun sama dengan menaikan harga cukai rokok dipasaran, apakah efektif ketika harga rokok naik lalu masyarakat berhenti untuk merokok? Jelas tidak.
Pada fakta yang ada, problem diabetes ini sebenarnya disebabkan oleh beberapa hal ; Pertama, faktor genetik dan autoimun. Kedua, faktor gaya hidup yang tidak sehat dan kegemukan (obesitas).