Mohon tunggu...
Mona Fatnia
Mona Fatnia Mohon Tunggu... Lainnya - writer opinion

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ #La Tahzan Innallah Ma'anna #Bermanfaatuntuksesama #Rahmatanlillallamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kesemrawutan Penanganan Polusi di Ibukota

12 Desember 2023   21:30 Diperbarui: 12 Desember 2023   22:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rusaknya alam bukan tersebab ia menguraikan segala apa yang dikandungnya, terlebih pencemaran yang tiada henti menerpa, tak ubahnya seperti rumah yang dibangun lalu ditempati tapi tak pernah di bersihkan maka hanya akan berujung pada rusaknya susunan rumah tersebut sampai pada dasarnya. Semrawutnya ibukota hari ini adalah bagaimana wajah dari para pemangku kepentingan dinampakkan, pun pada segala visi dan misi yang akhirnya hanya menjadi formalitas dalam pekerjaan, lalu rusaknya udara adalah sebab banyaknya penghuni ibukota ?. Sementara yang punya peran besar didalamnya, malah asik ria dengan izin perusahaan yang justru semakin memperparah polusi ibukota, maka peran negara hari dimana ?

POLUSI : Kepentingan & Sebab Akibatnya 

Mahkamah menolak kasasi yang dilayangkan oleh pihak tergugat Presiden cq Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) terkait kasus polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Dengan perkara kasasi nomor 2560 K/PDT/2023. Perihal itupun, pemerintah sendiri dinyatakan tetap melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diputuskan oleh pengadilan sebelumnya. (Kompas, 19-11-2023).

Seperti kita tau bersama bahwa kesemrawutan penanganan polusi yang terjadi di ibukota nyatanya sampai dengan hari ini tak kunjung rampung, hanya menyisahkan tanda tanya besar yang tak pernah dijawab solusinya oleh para pemegang kuasa, sedang kualitas udara kian hari terus menurun.

Yang pada dasarnya Jakarta paling rajin dalam menduduki peringkat kota dengan tingkat polusi udara yang tinggi dengan kurun waktu 2015-2023. Melansir dari data situs IQAir.com mencatat bahwa Jakarta ada di posisi pertama kota berkualitas udara terburuk di dunia dengan indeks kualitas udara (AQI) sebesar 170. Angka ini pun termasuk dalam kategori tidak sehat dengan polusi udara sebesar PM2,5. Data ini berdasarkan pantauan IQAir pada bulan Agustus 2023 lalu. (Tirto.id, 23-08-2023).

Tentu hal ini bukan tanpa alasan, kenapa bisa terjadi polusi di ibukota, yang jelas-jelas merupakan pusat berjalannya roda pemerintahan. Apalagi sampai terjadi kesemrawutan yang ujungnya pun tak dapat diselesaikan. Sekilas bahwa penolakan MA atas kasasi Presiden dkk pada kasus polusi di Jakarta dianggap sebagai kemenangan rakyat. Penolakan tersebut berkonsekuensi pada kewajiban menjalankan hukuman. Anehnya hukuman yang diberikan hanya dalam bentuk penentuan  pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional dll yang sejatinya merupakan tupoksi para tergugat.

Ini justru memperparah marwah hukum di mata masyarakat, yang jelas-jelas memberikan hukuman bukan atas dasar-dasar hukum yang dipakai selama ini. Tapi lebih kepada tupoksi yang sebenarnya adalah tugas dari para penguasa untuk menjalankannya sesuai mandat UU Dasar 1945. Pernyataan dalam hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa.

Pertama, tergugat I (Presiden RI) terkait dengan Pengetatan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang didalamnya melindungi Kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosisten, termasuk Kesehatan populasi yang sensitife berdasar pada perkembangan Iptek.

Kedua, Tergugat II (Menteri KLHK) untuk melakukan supervise kepada Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam melakukan inventarisasi emisi lintas batas Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

Ketiga, Tergugat III (Mendagri) untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja tergugat V (Gubernur DKI Jakarta) dalam mengendalikan pencemaran udara.

Keempat, Tergugat IV (MenKes) agar melakukan perhitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta, yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan tergugat V dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.

Kelima, Tergugat V (Gubernur Provinsi DKI Jakarta) harus melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara atau ketentuan dokumen lingkungan hidup, serta menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pencemaran udara kepada masyarakat.

Bila melihat hukuman yang diberikan kepada para tergugat, tentu ini malah keluar dari fungsi utama hukum yang harusnya memberikan sanksi perihal pelanggaran yang dilakukan, dan bukan mengarah pada tupoksi yang sebenarnya sudah dijalankan oleh pemerintah dan bawahannya. Pun pada putusan MA sendiri hanyalah sebagai pengingat bukan hukuman berat.

Namun, hal ini justru mengantarkan pada kepentingan dari mereka yang memiliki kuasa, karna putusan MA saja sebenarnya telah mengambarkan bahwa hukum tak pernah sesuai bila yang diberikan adalah mereka yang memiliki peran besar dalam roda pemerintahan.

Melihat kesemrawutan ibukota nyatanya tak lepas dari sebab akibatnya, yang sebenarnya kembali kepada kepentingan para pemilik kuasa yang tak ramah lingkungan. Ini pun didasari pada beberapa hal ; Pertama, Pergerakan angin dari wilayah, ini yang mengarah pada tingginya kelembapan proses adsorbsi atau perubahan wujud gas menjadi partikel. Kedua, Pembakaran batu bara yang sejatinya menghasilkan senyawa racun bagi yang menghirup. Ketiga, Asap knalpot kendaraan, padatnya lalu lintas ibukota tanpa aturan yang benar dalam mobilisasi kendaraan pribadi membuat udara tercemar dengan sendirinya.

Menurut Dr. Sukarsono, M.Si., selaku Kepala Pusat Studi Lingkungan Dan Kependudukan (PSLK) polusi udara yang terjadi di ibukota sejatinya banyak kandungan yang dapat mencari kualitas udara, baik logam berat, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3), senyawa organik volatile (VOC), dan sulfur dioksida (SO2). (Kompas, 20-08-2023).

Jakarta sendirinya merupakan salah satu ibukota terpadat di Indonesia, wajar bila sering menyumbangkan polusi udara yang paling banyak didapat dari kendaraan bermotor. Karena pada dasarnya kendaraan bermotor lebih menghasilkan gas karbon monoksida, jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta jumlah kendaraan berada di angka lebih dari 26 juta kendaraan. Yang meliputi mobil penumpang, bus, truk, serta sepeda motor.

Polusi yang didapat pun bukan hanya dari kendaraan bermotor, melainkan dihasilkan juga dari pabrik-pabrik yang terus beroperasi ketika sedang memuncak proses produksinya, yang dengannya menghasilkan polusi yang berbahaya bagi kesehatan.

Bukan perkara mudah ketika polusi menggelut diudara, bak kabut yang siap menjatuhkan partikel air ke atas bumi. Kesemrawutan polusi yang tak pernah selesai sampai dengan masa sekarang nyatanya menjadi bukti tidak adanya upaya dari yang punya kuasa untuk menyelesaikannya. Tentu hal itu disebabkan oleh beberapa hal ; Pertama, Pengeksploitasian batu bara sebagai salah satu bahan pembangkit listrik, yang dengan ini menghasilkan polusi dengan total polusi PM2.5, bila dipersenkan sedikitknya menyumbangkan sebesar 9%. Kedua, dampak investasi dan pembebasan menjadikan industri manufaktur yang terus menjamur. Industri adalah penyumbang emisi terbesar kedua dan ketiga di wilayah Jakarta, yang merupakan penyumbang polutan sekunder terbesar seperti Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Dioksida (NOx) yang dikombinasikan dengan emisi lain membentuk PM2.5 dan polusi O3 di permukaan tanah.

Namun itu semuanya bukan tanpa alasan, sebab melihat fakta dilapangan mengambarkan bagaimana pola dan gaya hidup masyarakat yang hari ini dasarnya adalah kapitalis, inilah yang memicu turunnya mobilitas masyarakat terhadap penggunaan tranportasi umum seperti kereta api, bus, serta kendaraan umum lainnya yang kini mulai ditinggalkan. Nyatanya masyarakat hari ini berlomba-lomba memiliki dan mengendarai kendaraan pribadi. Bukan itu saja, setiap hari hampirnya sepuluh juta penumpang dari kota satelit memasuki Jakarta, inilah yang menyebabkan peningkatan populasi dan jumlah mobil yang melintas.

Hal itu menunjukkan ketidak seriusan penyelesaian kasus polusi. Rakyat tidak memiliki harapan atas solusi tuntas.  Inilah watak buruk sistem kapitalisme yang tidak menyelesaikan persoalan dengan tuntas dan sering kali mencari celah agar terbebas dari jeratan hukum.

Maka sebenarnya putusan MA yang menghukum para tergugat sebenarnya sudah sesuai tupoksi mereka yang dengan ini pun menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keseriusan dalam menangani dan menyelesaikan persoalan yang terus menjalar, sama halnya seperti benalu yang hanya menyebar pada setiap ranting yang dihinggapi, tapi tak pernah memberikan manfaat apapun, jutru kerusakan yang didapat. Rakyat sendiri bukan memenangkan gugatan atas polusi yang disebabkan kebijakan para pemegang kuasa, karena yang terjadi adalah tidak adanya tanggungjawab, kelalain serta pengabaian penguasa.

Islam Solusi Terbaik 

Islam dalam peraturannya, sejatinya melahirkan perbaikan sampai pada akarnya yang melahirkan perubahan besar. Terlebih   pada keberlangsungan kehidupan manusia yang dijamin dengan adil dan merata tanpa ada kezhaliman. Apalagi menyangkut kehidupan yang aman, nyaman dan sehat bagi masyarakat yang mendiami tempat tersebut.

Islam sendiri mewajibkan negara menjauhkan rakyat dari dharar apapun yang akan membahayakan kehidupan rakyat. Negara akan mencari berbagai solusi mendasar dan komprehensif karena negara adalah perisai bagi rakyat.

Mengingat bahwa penguasa merupakan raa'in, yaitu melayani dan mengurusi segala kepentingan rakyat dengan sepenuh hati. Dengan kebijakan yang dimiliki yang sekiranya berpihak pada kemaslahatan rakyat, pun memberikan jaminan perlindungan dari bahaya pun pada bidang politik, ekonomi, dan kesehatan.

Sebab, persoalan polusi udara yang hingga detik ini tak terselesaikan, sejatinya lahir dari kebijakan kapitalistik. Yang sekiranya hanya mengakomodir segelintir elite dengan negara sebagai fasilitator. Beda halnya dengan Islam yang menjadikan penguasa sebagai pihak sentral dalam mengurusi umat, termasuk penyelesaian polusi.

Ini juga menyasar pada pelanggaran penguasa yang akan diselesaikan oleh Qadhi Madzalim, yang bahkan dapat memecat penguasa jika dianggap terjadi pelanggaran hukum syara yang berlaku. Dengan begitu penguasa pun akan fokus pada apa yang menjadi tugas dan tanggungjawabnya, dan bukan malah abai pada masyarakat yang sangat membutuhkan perbaikan.

Karena negara dalam hal ini, memiliki regulasi yang pro rakyat dan tegas dalam memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar. Kebijakan ini pun ditandai dengan larangan penguasaan harta milik umum oleh swasta, sebab pada dasarnya harta tersebutlah milik rakyat seutuhnya dan bukan untuk di komersialisasikan terhadap kepentingan pribadi. Tugas negara sebagai pengelola dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Sebab rida-Nya yang diharapkan didalam menjalankan amanah mengurusi umat.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa keberadaan penguasan adalah untuk saling bahu-membahu dalam membangun kehidupan yang bersih dan bebas dari polusi. Ini semuanya karena Allah Subahanahu wa ta'alla memerintahkan umatnya agar senantiasa menjaga lingkungan tempat ia hidup. Dengan begitu, mampu menjalankan amanahnya di bumi ini, yaitu beribadah kepada Allah Taala. [MNews/Gz]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun