Mohon tunggu...
Mona Fatnia
Mona Fatnia Mohon Tunggu... Lainnya - writer opinion

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ #La Tahzan Innallah Ma'anna #Bermanfaatuntuksesama #Rahmatanlillallamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kesemrawutan Penanganan Polusi di Ibukota

12 Desember 2023   21:30 Diperbarui: 12 Desember 2023   22:34 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, Tergugat IV (MenKes) agar melakukan perhitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta, yang perlu dicapai sebagai dasar pertimbangan tergugat V dalam penyusunan strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.

Kelima, Tergugat V (Gubernur Provinsi DKI Jakarta) harus melakukan pengawasan terhadap ketaatan setiap orang terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengendalian pencemaran udara atau ketentuan dokumen lingkungan hidup, serta menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pencemaran udara kepada masyarakat.

Bila melihat hukuman yang diberikan kepada para tergugat, tentu ini malah keluar dari fungsi utama hukum yang harusnya memberikan sanksi perihal pelanggaran yang dilakukan, dan bukan mengarah pada tupoksi yang sebenarnya sudah dijalankan oleh pemerintah dan bawahannya. Pun pada putusan MA sendiri hanyalah sebagai pengingat bukan hukuman berat.

Namun, hal ini justru mengantarkan pada kepentingan dari mereka yang memiliki kuasa, karna putusan MA saja sebenarnya telah mengambarkan bahwa hukum tak pernah sesuai bila yang diberikan adalah mereka yang memiliki peran besar dalam roda pemerintahan.

Melihat kesemrawutan ibukota nyatanya tak lepas dari sebab akibatnya, yang sebenarnya kembali kepada kepentingan para pemilik kuasa yang tak ramah lingkungan. Ini pun didasari pada beberapa hal ; Pertama, Pergerakan angin dari wilayah, ini yang mengarah pada tingginya kelembapan proses adsorbsi atau perubahan wujud gas menjadi partikel. Kedua, Pembakaran batu bara yang sejatinya menghasilkan senyawa racun bagi yang menghirup. Ketiga, Asap knalpot kendaraan, padatnya lalu lintas ibukota tanpa aturan yang benar dalam mobilisasi kendaraan pribadi membuat udara tercemar dengan sendirinya.

Menurut Dr. Sukarsono, M.Si., selaku Kepala Pusat Studi Lingkungan Dan Kependudukan (PSLK) polusi udara yang terjadi di ibukota sejatinya banyak kandungan yang dapat mencari kualitas udara, baik logam berat, karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3), senyawa organik volatile (VOC), dan sulfur dioksida (SO2). (Kompas, 20-08-2023).

Jakarta sendirinya merupakan salah satu ibukota terpadat di Indonesia, wajar bila sering menyumbangkan polusi udara yang paling banyak didapat dari kendaraan bermotor. Karena pada dasarnya kendaraan bermotor lebih menghasilkan gas karbon monoksida, jika melihat data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta jumlah kendaraan berada di angka lebih dari 26 juta kendaraan. Yang meliputi mobil penumpang, bus, truk, serta sepeda motor.

Polusi yang didapat pun bukan hanya dari kendaraan bermotor, melainkan dihasilkan juga dari pabrik-pabrik yang terus beroperasi ketika sedang memuncak proses produksinya, yang dengannya menghasilkan polusi yang berbahaya bagi kesehatan.

Bukan perkara mudah ketika polusi menggelut diudara, bak kabut yang siap menjatuhkan partikel air ke atas bumi. Kesemrawutan polusi yang tak pernah selesai sampai dengan masa sekarang nyatanya menjadi bukti tidak adanya upaya dari yang punya kuasa untuk menyelesaikannya. Tentu hal itu disebabkan oleh beberapa hal ; Pertama, Pengeksploitasian batu bara sebagai salah satu bahan pembangkit listrik, yang dengan ini menghasilkan polusi dengan total polusi PM2.5, bila dipersenkan sedikitknya menyumbangkan sebesar 9%. Kedua, dampak investasi dan pembebasan menjadikan industri manufaktur yang terus menjamur. Industri adalah penyumbang emisi terbesar kedua dan ketiga di wilayah Jakarta, yang merupakan penyumbang polutan sekunder terbesar seperti Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Dioksida (NOx) yang dikombinasikan dengan emisi lain membentuk PM2.5 dan polusi O3 di permukaan tanah.

Namun itu semuanya bukan tanpa alasan, sebab melihat fakta dilapangan mengambarkan bagaimana pola dan gaya hidup masyarakat yang hari ini dasarnya adalah kapitalis, inilah yang memicu turunnya mobilitas masyarakat terhadap penggunaan tranportasi umum seperti kereta api, bus, serta kendaraan umum lainnya yang kini mulai ditinggalkan. Nyatanya masyarakat hari ini berlomba-lomba memiliki dan mengendarai kendaraan pribadi. Bukan itu saja, setiap hari hampirnya sepuluh juta penumpang dari kota satelit memasuki Jakarta, inilah yang menyebabkan peningkatan populasi dan jumlah mobil yang melintas.

Hal itu menunjukkan ketidak seriusan penyelesaian kasus polusi. Rakyat tidak memiliki harapan atas solusi tuntas.  Inilah watak buruk sistem kapitalisme yang tidak menyelesaikan persoalan dengan tuntas dan sering kali mencari celah agar terbebas dari jeratan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun