Oleh : Mona Fatnia
Sembari menyelam minum air, itulah pepatah untuk keadaan ekonomi hari ini yang kian absurd. Kondisi semakin pelik diujung ekonomi yang semakin sulit, pun pada kemampuan rakyatnya tak kunjung membaik pasca dilanda pandemi 3 tahun kemarin. Melihat dari tahun ke tahun ketimpangan terus merajalela, yang kaya semakin kaya dan miskin semakin dimiskinkan. Tentu apakah ini kesengajaan? Jelas bukan, ketika punggutan bagi rakyat sejatinya tak memberikan nilai untuk penghidupan mereka agar lebih disejahterahkan, tapi malah dilindas dengan kebijakan yang justru lebih memberatkan. Lantas inikah yang dinamakan memihak kepada rakyat dan berjuang untuk mensejahterahkan rakyat ? sementara pajak diberikan karpet merah untuk dilangengkan dalam memajaki rakyat.
Pajak : Menggigit Rakyat
Tepat pada tanggal 31 Desember 2024, Presiden Prabowo resmi mengumumkan kenaikan PPN menjadi 12% yang akan dimulai pada tahun 2025. Pengumuman itu disampaikan oleh Presiden di gedung Kementrian Keuangan (Kemenkeu) sore hari yang didampingi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Dalam keterangan resminya, bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya akan dikenakan terhadap barang dan jasa mewah, pun kategori ini meliputi barang dan jasa tertentu yang sudah dikenakan tarif PPN barang mewah yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat mampu. Seperti pesawat jet pribadi, kapal pesiar atau yacht, serta rumah yang sangat mewah dengan nilainya di atas golongan menengah. Sementara, untuk barang dan jasa kebutuhan pokok masyarakat yang selama ini diberikan pembebasan pajak,tetap akan dikenakan tarif PPN 0%. (Kompas,01-01-2025)
Setali tiga uang dengan apa yang telah disampaikan oleh Presiden, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% hanya untuk barang dan jasa sangat mewah, sehingga tarif PPN kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti sabun hingga layanan over the top (OTT) tetap 11%.
Tentu apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah tak selamanya menyenangkan hati rakyat, terlebih dalam rangka mensejahterahkan kehidupan masyarakat. Melihat 4 empat hari sebelum penetapan PPN 12%, berbagai aliansi masyarakat hingga tingkat buruh dan mahasiswa melakukan unjuk rasa menolak kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di depan Istana Merdeka, Jakarta (27/12/2024). Mahasiswa pun menilai bahwa kebutuhan hidup saat ini semakin mahal dan sangat merugikan semua elemen masyarakat. (Kompas, 27-12-2024)
Hal ini disoroti juga oleh pakar akademisi, Menurut Dr Ir Arman Hakim Nasution Meng dosen Departemen Manajemen Bisnis Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), menurutnya dengan kenaikan PPN ini, dapat diprediksikan nantinya daya beli masyarakat Indonesia akan menurun drastis, pun ketika diberlakukannya PPN 12% tersebut tentu akan memicu adanya inflasi di masa mendatang. (ITS, 28-12-2024)
Dalam hal ini, pajak merupakan salah satu sumber pemasukan negara dalam sistem Kapitalisme, karena itu pajak adalah keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis punggutan pajak. Maka dengan sendirinya rakyatlah yang menangung kebijakan ini, bukan saja sebagai pemakai fasilitas umum yang disediakan negara, tapi juga dipungguti pajak pada segala ranah. Jelas ini bukan memberikan ruang bebas bagi rakyat tapi malah menggigit rakyat.
Dimana ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai diri sendiri kebutuhannya akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat, tapi walhasil hanya memberikan beban berlebih kepada rakyat yang sejatinya penghasilan untuk kelas ekonomi dibawah tidak akan cukup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski pemerintah sendiri mengklaim bahwa kenaikan PPN 12% mengacu pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tentu dampaknya akan meluas ketika UU ini dijalankan meski hanya dikategorikan pada barang mewah.
Mengingat bahwa PPN ini dampaknya luas bukan hanya pada sektor ekonomi saja melainkan menyeluruh. Parahnya pemerintah sendiri tidak akan mampu menontrol pasar barang maupun jasa. Pertanyaanya apakah bisa mengontrolnya ?, Karena negara hari ini bebas dalam tata pengaturannya alias liberal pasarnya.
Meski hanya untuk barang mewah saja, namun para pelaku ekonomi di perusahaan tidak bisa menerjemahkannya, fakta dilapangan semua sektor naik harganya. Apakah ini sesuai dengan yang disampaikan oleh pemerintah. Karena pajak sendiri merupakan sinyal bagi peningkatan harga-harga barang maupun jasa. Ini tentu hal yang sensitif bagi rakyat.
Justru dengan pemberlakuan PPN 12% terhadap barang mewah sebenarnya tidak ada kepastian hukum, apalagi ini hanya sementara atau masa transisi untuk menerapkan kebijakan tersebut. Sebab meski pemerintah sendiri tidak menaikan barang dan jasa untuk pendapatan dibawah kategori mewah tidak menutup kemungkinan PPN 11% perlahan akan dialihkan kepada kategori mewah. Karena barang dan jasa mewah tidak diuraikan secara spesifik. Seperti halnya pajak penghasilan, yang sejatinya tidak berdampak pada barang dan jasa, tetapi jika PPN 12% ini menempel pada barang dan jasa, meski pemerintah membatasi hanya untuk barang mewah, apapun barang itu jika termasuk barang mewah pasti kena PPN.
Walhasil, PPN barang dan jasa yang terkategori mewah pastinya akan kena terhadap barang dan jasa dibawah kategorinya. Ini layaknya kucing dalam karung. Artinya tidak ada kejelasan terhadap penerapan PPN 12% pada barang dan jasa yang terkategori mewah.
Produk Kapitalis
Pajak dalam kapitalis sendiri adalah tulang punggung pendapatan negara sehingga penguasa akan terus memburu rakyat dengan berbagai punggutan. Maka selama mendatangkan pemasukan, kenaikan pajak dan aneka tarif akan menjadi kebijakan langganan bagi penguasa kapitalis. Berbagai kategori pajak dipunggut kepada rakyat, mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Dan dalam sistem kapitalisme negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, melayani kepentingan para pemilik modal, dan rakyat biasa akan terabaikan sampai rakyat menjadi sasaran berbagai punggutan negara yang bersifat "wajib" sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara. Alhasil rakyatlah yang paling banyak dirugikan ketika kebijakan kapitalis ini diterapkan.
Melihat fakta yang ada, ketika rakyat dijadikan tulang punggung dalam memasok pendapatan negara ialah melalui peningkatan pemasukan pajak yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. BPS melaporkan penerimaan pajak mencapai 82,4% dari total penerimaan. Dan pada tahun 2023, negara meraup keuntungan sebesar Rp2.634 triliun. Tahun 2024 menjadi tahun dengan penerimaan negara paling tinggi sepanjang sejarah karena mencapai Rp2.802,3 triliun. Dalam raman resmi kemenkeu, hingga oktober 2024 pendapatan negara mencapai Rp2.247,5 triliun atau 80,2% dari target APBN. (Mnews, 26-12-2024)
Wajar bila pajak merupakan kebijakan yang paling digenjot ketika membuat Undang-Undang, karena pendapatan dari pajak lumayan untuk bisa membayar hutang negara (itu jika pemerintah mau berpikir lebih dalam). Namun apa mau di kata ketika pajak sendiri merupakan alat untuk memeras rakyat dengan bahasa yang halus guna dipakai demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sedang kebijakan penguasa di sini bukan sebagai pelayan rakyat, tetapi hanya sebagai alat bagi para pemodal. Parahnya ketika para penguasa digaji dari hasil keringat rakyat karena tuntutan pajak, sedang kinerja untuk kepentingan rakyat masih jauh dari amanah dan adil.
Karenanya, punggutan pajak hanya untuk membuat rakyat menderita, karena punggutan yang ada tidak memandang kondisi rakyat, sehingga banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan pada para pengusaha, alias pro dengan para kapitalis dengan alasan guna meningkatkan investasi pengusaha bermodal besar. Padahal justru rakyatlah yang dikapitalisasi dan dikriminalisasi dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Pajak (Dharibah) dari Kacamata Islam
Dalam Islam, pajak disebut dengan dharibah. Dan dalam Islam hukum asal menarik pajak dari rakyat adalah haram. Akan tetapi, hukum Islam telah menetapkan kondisi tertentu yang memungkinkan pemerintah mengenakan pajak kepada warganya. Sebab Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi tertentu, dan hanya pada kalangan tertentu.
Ini sangat berbeda jauh dengan pajak yang diterapkan oleh negara kapitalis yang sejatinya hanya mendatangkan kesengsaraan bagi rakyat bukan kesejahteraan. Perbedaan dari kedua pajak ini pun bagaikan langit dan bumi.
Pertama, dharibah hanya ditarik dalam keadaan darurat oleh negara karena hukum asal pajak adalah haram. Keadaan ini dapat terjadi ketika harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat, atau karena negara tidak memiliki dana untuk mengatur urusan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kezaliman.
Kedua, dharibah ditarik secara selektif, tidak semua individu dikenakan punggutan. Dharibah hanya akan dikenakan pada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan (kaya). Ketiga, dharibah dianggap sebagai kontribusi tambahan dalam APBN negara Islam bukan sebagai kontribusi utama. Negara hanya akan memunggut dharibah jika terjadi keadaan darurat, yaitu ketika harta dharibah terbatas.
Beda lagi dengan pajak dalam negara kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Akibatnya banyak pungutan yang harus ditanggung sehingga beban pembiayaan masyarakat dan industri makin meningkat. Mirisnya dalam sistem kapitalis, pajak dikenakan atas semua barang, transaksi, dan jasa, dan ini diharamkan oleh oleh syariat Islam. Sebab punggutan seperti ini merupakan bentuk kekerasan dan penguasaan atas hak harta orang lain. Dan Islam sangat melarang seluruh bentuk kezaliman dan pelanggaran hak orang lain. (Mnews, 02-01-2025)
Islam juga menetapkan penguasa sebagai rain dan junnah, dan mengharamkan penguasa untuk menyentuh harta rakyat. Kewajiban penguasa mengelola harta rakyat untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai fasilitas umum dan layanan yang akan memudahkan hidup rakyat. Dalam sebuah hadist, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Imam itu adalah laksanakan penggembala dan dia akan dimintai pertangungjawabakan akan rakyatnya (yang digembalakannya)."
(HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.).
Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H