Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru adalah Dokter Bukan Medis

16 Januari 2024   05:25 Diperbarui: 16 Januari 2024   05:33 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasien dihadapan perawat (sumber : pribadi, image creator, bing.com) 

Setiap awal semester, bagi teman-teman pendidik kerap kali dikagetkan oleh kejadian yang rutin terjadi, tahunan. Kejadian yang dimaksudkan itu,  menjadi menu tahunan, yang sebenarnya biasa terjadi di tengah-tengah dunia pendidikan. Seperti yang juga terjadi pada hari-hari ini.

Pertama, kedatangan orangtua siswa, yang bermaksud untuk mutasi masuk. Mereka datang ke sekolah atau madrasah kita, dengan maksud dan harapannya untuk menemukan peluang masuk dari kuota peserta didik yang tidak terisi di tempat kita. Sudah tentu, tidak mudah prosesnya. Seorang pejabat sekolah akan memberikan sejumlah argumen dan alasan, baik teknis maupun nonteknis dalam proses mutasi tersebut. Bila kemudian dipandang perlu, dan dibutuhkan, maka diterimalah peserta didik mutasi tersebut. 

Kedua, proses mutasi dari dalam. Hal ini merupakan kebalikan dari gejala yang pertama. Karena ada alasan tertentu, seorang peserta didik didampingi orangtuanya, atau sebaliknya orangtuanya didampingi peserta didiknya, mengajukan mutasi ke luar. Dia pun, sama dengan mutasi ke dalam, memberikan sejumlah argumen dengan maksud dan harapan kebutuhan administrasinya dapat diproses dengan baik, dan perpindahannya ke sekolah lain pun, dapat berjalan dengan lancar.

Sekali lagi. Untuk kasus yang seperti ini pun, seorang pejabat sekolah akan memberikan argument dan alasan, baik teknis maupun nonteknis mengenai kelayakan untuk pindahnya. Setidaknya, pejabat sekolah memberikan gambaran manis dan pahitnya mutasi, dengan harapan si peserta didik dan atau orangtuanya dapat menimbang-nimbang kembali niatnya. Namun, karena alasan yang kuat dan tekad yang bulat, maka proses perizinan pun, umumnya dapat dibantu dengan baik.

Fenomena ketiga, yang kerap kali menjadi bahan pergunjingan tenaga pendidik adalah hadirnya peserta didik di semester lanjutan, padahal dalam sejumlah argumentasi dan alasan di semester sebelumnya, dipandang memiliki banyak masalah. Masalah tersebut, bisa terkait dengan  perilaku, kebiasaan belajar, tindak kriminal remaja, atau masalah yang erat kaitannya dengan pembelajaran.  Dalam pergunjingan beberapa tenaga pendidik, adanya pandangan perlunya pembinaan lebih lanjut, namun pada kenyataan tidak ada pernyataan yang lebih terkait peserta didik tersebut.

Berkaitan dengan masalah ini, muncul tuh pertanyaan, mengapa demikian ?

Pengalaman sebagai tenaga pendidik selama ini, rasa-rasanya, masalah serupa itu, seringkali menjadi bahan perbincangan pelik, baik di internal sekolah, ataupun dalam rapat orangtua. Andai orangtuanya mau menerima keputusan sekolah, tidak jadi masalah. Tetapi, bila orangtua siswa tidak menerima keputusan sekolah, maka pembicaraan serupa ini, kerap kali berbuntut panjang, dan bahkan, panjang sekali..

"pusing.. dan memusingkan..." ungkap beberapa teman yang biasa menghadapi masalah seperti ini.

Sehubungan hal ini, apa yang harus dilakukan dan dikomunikasikan kepada orang lain, termasuk para orangtua ?

Di sini, saya suka teringat profesi dokter, profesi di tetangga kita, yang tetap mendapat kemuliaan dihati dan mata masyarakat. Padahal, jika kita berobat kepadanya, pun, tidak serta merta kita dapat sembuh kembali. Ada yang pernah mengalami, berulang-ulang berobat, namun tetap tak kunjung sembuh. Namun uniknya, profesi itu, tidak pernah mendapat hardikan, omelan atau cacian dari orangtua pasien. Andaipun ada kekecewaan, sekedar 'pindah dokter dari satu dokter ke dokter lainnya..". cukup dengan tindakan seperti itu.

Berbeda dengan profesi guru. Salah sedikit, bukan hanya orangtuanya, anaknya pun kadang 'melawan'. Tidak jarang, ada guru yang mendapat perlakuan kasar dari peserta didiknya, bahkan ada juga dari orangtua siswanya.

Kok bisa ? itulah, perlakuan kita terhadap profesi yang satu ini. Persoalan ini, sejatinya, harus menjadi perhatian seksama dari semua pihak, khususnya dari pemerintah yang membawahi layanan publik dalam bidang pendidikan.

O, iya, kembali pada masalah yang dibagian awal dituturkan, "mengapa gejala tadi terus berulang ?"

Salah satu jawabannya, bila dibolehkan, guru pun dapat memainkan prinsip-kerja dokter. Walaupun guru bukan tenaga medis, tetapi prinsip dokter itu perlu diterapkan. Misalnya, prinsip kejujuran. Artinya, seorang guru (seperti dokter), harus jujur pada diri sendiri, bila tidak mampu menyembuhkan penyakit siswa  (maaf, kebodohan dan kenakalan) yang menjadi pasien kita, maka hendaknya pasien itu dirujukkan ke tempat yang baru. Jangan dibiarkan di tempat perawatan kita.  Karena membiarkan pasien di tempat perawatan kita, padahal kita tidak bisa merawatnya, maka sama dengan membiarkan dia menderita sampai titik kematiannya perkembangannya.

Sehubungan hal itu maka adalah wajar, bila kemudian ada proses mutasi baik itu mutasi masuk maupun mutasi ke  luar. Artinya, proses mutasi, jika diartikan sebagai kejujuran dokter dalam perawatan, atau kejujuran orangtua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (sebagai pasien), maka hal itu adalah wajar. Pun demikian adanya, adalah wajar jika pejabat sekolah menerima peserta didik (pasien) itu, dengan alasan yang tepat menerima pasien karena dianggap mampu menyembuhkan masalah yang dihadapi pasien, bukan sekedar alasan ekonomi atau pragmatis lainnya.

Demikian sebaliknya, bila memang kita memiliki kemampuan untuk merawatnya, maka rawatlah pasien itu sampai sembuh, dan kembalikan kepada orangtuanya setelah sehat....

sampai sini, kepikiran lagi, bisa gak begitu,.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun