Kok bisa ? itulah, perlakuan kita terhadap profesi yang satu ini. Persoalan ini, sejatinya, harus menjadi perhatian seksama dari semua pihak, khususnya dari pemerintah yang membawahi layanan publik dalam bidang pendidikan.
O, iya, kembali pada masalah yang dibagian awal dituturkan, "mengapa gejala tadi terus berulang ?"
Salah satu jawabannya, bila dibolehkan, guru pun dapat memainkan prinsip-kerja dokter. Walaupun guru bukan tenaga medis, tetapi prinsip dokter itu perlu diterapkan. Misalnya, prinsip kejujuran. Artinya, seorang guru (seperti dokter), harus jujur pada diri sendiri, bila tidak mampu menyembuhkan penyakit siswa  (maaf, kebodohan dan kenakalan) yang menjadi pasien kita, maka hendaknya pasien itu dirujukkan ke tempat yang baru. Jangan dibiarkan di tempat perawatan kita.  Karena membiarkan pasien di tempat perawatan kita, padahal kita tidak bisa merawatnya, maka sama dengan membiarkan dia menderita sampai titik kematiannya perkembangannya.
Sehubungan hal itu maka adalah wajar, bila kemudian ada proses mutasi baik itu mutasi masuk maupun mutasi ke  luar. Artinya, proses mutasi, jika diartikan sebagai kejujuran dokter dalam perawatan, atau kejujuran orangtua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak (sebagai pasien), maka hal itu adalah wajar. Pun demikian adanya, adalah wajar jika pejabat sekolah menerima peserta didik (pasien) itu, dengan alasan yang tepat menerima pasien karena dianggap mampu menyembuhkan masalah yang dihadapi pasien, bukan sekedar alasan ekonomi atau pragmatis lainnya.
Demikian sebaliknya, bila memang kita memiliki kemampuan untuk merawatnya, maka rawatlah pasien itu sampai sembuh, dan kembalikan kepada orangtuanya setelah sehat....
sampai sini, kepikiran lagi, bisa gak begitu,.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H