Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pragmatisme Pendidikan

10 Juni 2021   06:04 Diperbarui: 10 Juni 2021   06:33 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada saat ini, setiap penyelenggara pendidikan tengah berusaha mempromosikan dagangannya. Melalui spanduk, brosur, baligo atau layanan iklan di media elektronik mereka melakukan promosi pendidikan.

Mirip dengan kampanye politik di musim pemilihan umum. Di beberapa penjuru kota atau beberapa surat kabar dijejali dengan informasi mengenai lembaga pendidikan dan atau perguruan tinggi di kota dimaksud. 

Tidak tanggung-tanggung, bagi perguruan tinggi tertentu memberikan janji-janji pendidikan (atau lebih lebih tepatnya janji politik pendidikan) terhadap sesiapapun yang rela menjadikan lembaganya sebagai tempat belajar. Ada promosi yang diimbuhi dengan hadiah, waktu penempuhan pendidikan, kemudahan dalam melaksanakan budaya akademik atau dengan janji siap kerja di akhir masa studi.

Saatnya dikoreksi

Realitas sosial tersebut tidak jauh berbeda dengan dunia politik di masa kampanye. Bila kalangan elit politik berkampanye lima tahun sekali, maka kalangan penyelenggara pendidikan melakukan kampanye pendidikan untuk satu tahun sekali. 

Khusus untuk pendidikan sekolah kejuruan, pemerintah pun merasa bertanggungjawab dalam menarik minat dan partisipasi masyarakat untuk bisa bersekolah ke jenjang sekolah kejuruan. Maka dalam bulan-bulan terakhir tahun akademik 2006-2007 ini, ada layanan iklan pendidikan yang dilakukan pemerintah untuk menarik minat siswa bisa bersekolah ke sekolah kejuruan.

Dari sisi hakikat pendidikan adalah hak asasi manusia. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan layanan pendidikan. Atau dengan kata lain, setiap individu sesungguhnya butuh dan perlu mendapatkan pendidikan. Tidak mengherankan bila sosiolog Abad ke-13 yakni Ibnu Khaldun menyebut pendidikan sebagai salah satu pranata sosial-budaya yang universal bagi setiap masyarakat. Perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat berikutnya itu, yaitu pada tempat, waktu dan model penyelenggaraan pendidikan.

Dengan kata lain, kebutuhan akan pendidikan ini merupakan satu kebutuhan dasar manusia yang tidak akan pernah hilang dalam peradaban manusia. Kemungkinan yang akan terjadi itu, hanyalah pada sisi orientasi masyarakat terhadap dunia pendidikan. 

Untuk sekedar contoh, lima atau 10 tahun sebelum krisis 1997 di kota Bandung sempat diramaikan dengan munculnya beberapa sekolah tinggi ekonomi dan perbankan. Minat terhadap sekolah ini, bukan hanya karena banyaknya pemilik modal yang berminat menyelenggarakan lembaga pendidikan, namun karena adanya dugaan (hipotesis) bahwa pada masa itu merupakan era perbankan dan era ekonomi bagi bangsa Indonesia. 

Dengan promosi besar-besaran pula, naiknya prestise perbankan serta tumbuhnya ekonomi Indonesia pada waktu itu, menyebabkan masyarakat Indonesia berduyun-duyun menyekolahkan anak-anaknya ke lembaga perguruan tinggi dimaksud.

Pasca krisis ekonomi, sekolah berorientasi pada ekonomi dan perbankan mulai ditinggalkan masyarakat. Sebab-sebab masyarakat meninggalkan lembaga pendidikan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak hal, salah satu di antaranya adalah melemahnya masalah ekonomi dan banyaknya perbankan yang dilikuidasi atau collapse (runtuh). Namun demikian, bila mau dikatakan krisis ekonomi dan melorotnya citra perbankan tersebut merupakan bagian dari penyebab berakhirnya masa kejayaan sekolah tinggi ekonomi dan perbankan (atau jurusan perbankan) di Indonesia. 

Kendati tidak mematikan eksistensi lembaga pendidikan terkait, namun dinamika sosial-ekonomi bangsa dan Negara, merupakan salah satu pengoreksi kehadiran lembaga pendidikan. Dan pada sisi lain, dinamika sosial-ekonomi bangsa dan Negara  merupakan informasi pendukung dalam menumbuh kembangkan minat atau keinginan masyarakat untuk menentukan pilihan pendidikannya. Tekanan ekonomi yang kuat dan atau harapan untuk mengikuti proses pendidikan yang efektif, menjadi bagian dari argument pendukung bagi masyarakat untuk menentukan pilihan lembaga pendidikan  anak-anaknya.

Kendati mahal, misalnya, bagi orangtua yang mampu akan berusaha keras meraih kesempatan pendidikan di jurusan (lembaga) pada lembaga pendidikan tersebut. Sebut sajalah jurusan pendidikan kedokteran. Lembaga pendidikan ini, dianggap sebagai program pendidikan yang efektif. 

Dalam konteks ini, yang di sebut pendidikan yang efektif yaitu bila waktu pendidikan dan biaya pendidikan dianggap masuk akal dan dapat dipercaya dan pasti dalam memberikan masa depan anaknya. Sementara yang dimaksud dengan lembaga pendidikan yang tidak efektif yaitu tidak adanya kejelasan atau kepastian masa depan lulusan pendidikan setelah mereka menghabiskan waktu dan biaya pendidikan.

Maraknya media massa (elektronik maupun cetak) telah mengangkat citra jurusan komunikasi sebagai lembaga pendidikan yang diasumsikan akan lebih efektif dibandingkan dengan jurusan lainnya. 

Demikian pula dengan jurusan pendidikan computer. Untuk program pendidikan keguruan ada trend yang menarik, kendatipun tidak pernah menyebabkan booming, namun memiliki pasar yang jelas dan stabil. Sehingga lembaga pendidikan keguruan ini mampu bertahan dari badai krisis ekonomi. Selain memiliki lapangan kerja yang jelas, juga didukung oleh menguatnya perhatian pemerintah pada dunia pendidikan.

Berdasarkan analisa tersebut, ada dua hal menarik yang dapat dikemukakan pada saat ini.

Pertama, citra lembaga pendidikan dipengaruhi oleh trend perkembangan sosial-ekonomi masyarakat. Simpulan ini, walaupun penulis belum memiliki data hasil riset--- dapat dilihat dari adanya fluktuasi lembaga pendidikan yang ada selama penerimaan siswa/mahasiswa baru.

Untuk tingkat pendidikan menengah atas, sekolah kejuruan mulai banyak diminat. Pada tahun 2004-2005 penulis sempat merasakan sebagai orang yang berusaha membangun sekolah kejuruan bidang kajian computer. 

Kendatipun hanya bertugas sebentar (sekitar 3 semester) namun animo masyarakat terhadap sekolah kejuruan ini sangat tinggi. Terbukti pada tahun berikutnya, jumlah siswa di sekolah tersebut naik 125 % dari sebelumnya. Jumlah siswa pada awal penyelenggaraan, ada 17 siswa dan pada saat penulis keluar dari lembaga pendidikan itu karena pindah tugas ke sekolah umum, sekolah ini memiliki siswa 73 orang  untuk jenjang kelas X (dulu disebutnya kelas 1).

Selain sekolah menengah kejuruan computer, sekolah menengah kejuruan yang lain pun mulai marak kembali. Terlebih lagi, setelah adanya promosi pendidikan yang dilakukan pemerintah mengenai keunggulan sekolah kejuruan. Bukan hal yang mustahil, dalam tahun ini dan tahun-tahun mendatang sekolah kejuruan ini akan semakin meningkat.

Fenomena ini pun akan terjadi pula dalam dunia pendidikan tinggi. Sekolah-sekolah yang dianggap efektif, akan menjadi sekolah yang menjadi favorit bagi masyarakat. Terlebih lagi, biaya pendidikan di  perguruan tinggi negeri tidak jauh berbeda dengan perguruan tinggi swasta.

Kedua, sehubungan dengan penalaran yang pertama tadi, pemerintah hendaknya memperhatikan trend perkembangan social-ekonomi bangsa dan dunia, serta tingkat kejenuhan lembaga dan lulusan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang tidak efektif atau tingginya pengangguran intelektual, merupakan akibat dari tidak pekanya pemerintah dalam memetakan kebutuhan dasar dan supply sumberdaya manusia lulusan pendidikan. Sejatinya, pemerintah dapat membuat koreksi terhadap lembaga pendidikan yang kurang efektif atau tidak memberikan efek pemberdayaan kepada lulusan pendidikan.

Ketiga, merujuk pada analisa tersebut maka pada saat ini merupakan momentum yang strategis bagi masyarakat untuk mengoreksi dunia pendidikan. Artinya, menyekolahkan anak ke dunia pendidikan itu bukan sekedar untuk meraih citra sosial dari lembaga pendidikan tersebut, melainkan lebih disebabkan karena adanya misi orang tua dalam memberdayakan potensi anak demi kehidupan di masa depannya.

Pendidikan adalah usaha sadar dalam membebaskan dan memberdayakan anak didik. Sementara menyekolahkan merupakan usaha sadar orang tua dalam memberikan fasilitas pemberdayaan anak. Kehilafan orang tua mendukung pilihan pendidikan dapat menyebabkan anak dan orangtua tersebut mendapatkan citra sosial belaka. Tidak salah memilih sekolah favorit, tetapi bila hal ini hanya dilandasi oleh citra sosial dan gengsi sosial, maka setelah lulus dari lembaga  pendidikan tersebut anak pun hanya akan mendapatkan citra sosial belaka, dan bukan jalan masa depan yang lempang.

Oleh karena itu, masa pendaftaran baik untuk jenjang pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi merupakan kebebasan orang tua dan anak untuk mengoreksi dunia pendidikan. Tunjukkan kebebasan diri dalam menentukan pilihan tempat untuk memberdayakan diri. Ingat, pilihan ini ibarat pemilu dalam politik. Janji politik pendidikan adalah sebuah janji. Hasil yang sesungguhnya adalah fakta sosial. Dan janji itu bukanlah fakta. Oleh karena itu, hati-hatilah dalam menentukan pilihan pendidikan.

Pragmatisme Pendidikan

Yang korban tetap anak bangsa. Inilah yang dapat dilihat dari peristiwa awal dan akhir pendidikan. Bila pada akhir pendidikan, beberapa minggu yang lalu dunia pendidikan sempat diramaikan dengan isu seputar Ujian Nasional (UN). Mulai dari keabsahan, validitas sasaran dan tujuan penilaian sampai pada isu permainan dibalik permukaan hasil-hasil ujian nasional. 

Tidak mengherankan, bila hasil dari UN itu kemudian mencengangkan --walaupun sungguh membahagiakan---karena ternyata hasil pendidikan anak bangsa itu mencapai rata-rata yang cukup tinggi bahkan tidak jarang ada anak yang mampu mencapai nilai UN mendekati angka sempurna.

Apapun dugaan orang terhadap perilaku aparatur pendidikan (atau oknum) yang melakukan 'rekayasa' terhadap nilai-nilai tersebut, hal ini menunjukkan bahwa ada sikap pragmatis dari kalangan tertentu terhadap masalah pendidikan. Hasil pendidikan seolah-olah dapat dinilai dari 'angka' dari hasil belajar anak didik. Hasil pendidikan seolah-olah dapat diselesaikan dengan 'prosentase' kelulusan dari lembaga pendidikan. Meminjam istilah Tibor R Machan (2006) sesungguhnya peristiwa ini dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk 'penyelewengan gagasan'.

Konsep peningkatan kompetensi dan kualitas pendidikan, merupakan satu ide yang mulia dan sangat dibutuhkan oleh setiap insan di Indonesia. Kebutuhan untuk mencapai hal tersebut, merupakan bagian dari upaya dan kebutuhan bangsa dalam membangun daya saing bangsa di masa depan.

Kualitas lulusan atau peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan asset sosial yang sangat berharga dan strategis dalam membangun Indonesia masa depan. Namun sekali lagi, lagi-lagi kita harus bertanya dengan penuh ketulusan nurani, akankah tindakan di masa kemarin itu telah membangun citra pendidikan Indonesia semakin lebih baik atau lebih terpuruk.

Penyelewengan gagasan dengan memanipulasi kebutuhan peningkatan kualitas mutu dan lulusan pendidikan dengan indikator-indikator yang dangkal makna dan syarat sikap pragmatis hanyalah akan melahirkan pembusukan citra pendidikan dan keluhuran dunia pendidikan itu sendiri. Pada konteks inilah, akhir proses pendidikan Indonesia (terancam) warna pragmatisme pendidikan. Dan yang lucu lagi, pelaku sikap pragmatis pendidikan itu bukan anak didik melainkan para pelaku penyelenggara pendidikan dan atau birokrat pendidikan itu sendiri. Karena si anak didik itu sendiri, diam seribu basa dengan posisi sebagai pion.

Bagaimana dengan awal kegiatan proses pendidikan?

Entah ini sebuah kasus atau juga warna yang seragam (homogen) untuk berbagai proses rekruitmen peserta didik (siswa atau mahasiswa) oleh penyelenggara pendidikan.  Pada sore itu, ada seorang purnawirawan mengeluhkan kejadian yang menimpa dirinya ketika diperlakukan kurang 'etis' oleh seorang panitia penyelenggara pendidikan.

Pada mulanya, sang purnawirawan itu merasa tidak mengerti terhadap apa yang sedang terjadi. Entah pura-pura tidak paham atau memang komunikasi dari panitia penyelenggara yang bersayap sehingga dapat disalahpahami oleh orang yang diajak bicaranya. 

Singkat kisah, nasib kelulusan cucu purnawirawan pada sekolah lanjutan pertama tersebut menjadi tidak jelas. Kendati membawa surat keterangan dari Kecamatan mengenai status domisili sang cucu yang mestinya mendapat perhatian lebih dari pihak sekolah, namun pada dialog tersebut menjadi sangat tidak jelas. 

Selidik punya selidik, setelah berkomunikasi dengan orang tua peserta lain, bapak purnawirawan itu baru nyadar "ngeuh" bahwa yang menjadi masalah itu adalah ketidakjelasan dari dirinya terhadap nilai sumbangan pembangunan kepada sekolah, di luar yang ditetapkan panitia.

Bapak purnawirawan itu menyimpulkan, masuk sekolah itu sebenarnya murah yang mahal itu adalah meyakinkan diri bahwa anak kita dapat masuk ke sekolah tertentu itulah yang mahal. Biaya untuk membawa keyakinan bahwa cucunya (atau anaknya) dapat diterima pada sekolah yang diidamkannya, menjadi penyebab awal mahalnya  pendidikan di Indonesia (minimalnya di daerah bapak Purnawirawan tersebut).

Merujuk pada kajian tersebut tadi, ada bebepara simpulan pemikiran yang dapat dijadikan perenungan bagi semua pihak, khususnya para penyelenggara pendidikan di Indonesia.

Pertama, proses pendidikan di Indonesia cenderung diwarnai oleh sikap pragmatisme orang di luar peserta didik itu sendiri. Bila diakhir masa pendidikan, pragmatisme ditunjukkan oleh penyelenggara pendidikan dan birokrat pendidikan, maka di awal penyelenggaraan pendidikan (penerimaan siswa baru) sikap pragmatisme ini dilakukan (lebih tepatnya didukung) oleh orang tua dan penyelenggara pendidikan.  

Tidak mengherankan, bila orangtua banyak yang dipusingkan dengan puluhan (atau mungkin ratusan) biaya pendidikan yang harus dikeluarkan untuk memasukkan anaknya pada sebuah jurusan di perguruan tinggi.  Untuk masuk ke sekolah pendidikan pertama atau sekolah menengah atas (SMA) pun biaya masuk sekolah itu bisa mencapai belasan atau puluhan juta.

Tanpa harus memperhatikan kemampuan akademik, minat bakat anak, atau tahapan perkembangan psikologi anak, orang tua berlomba-lomba untuk mengejar citra keluarga dengan menyekolahkan anaknya ke sekolah favorit tertentu. Bila dicermati dengan seksama, kejadian ini tidak jauh berbeda dengan mengorbankan minat bakat anak dan hakekat pendidikan, oleh pengejaran citra sosial oleh kalangan orang tua dan pragmatisme ekonomi di kalangan penyelenggara pendidikan.

Kedua, ketiga pihak yang terlibat dalam tindakan tersebut (orangtua, penyelenggara pendidikan dan birokrat pendidikan) adalah oknum-oknum yang telah memperkosa hakikat pendidikan sekaligus (khusus untuk penyelenggara dan birokrat pendidikan) melanggar tujuan pendidikan di Indonesia.

Dalam Pasal 31 UUD 1945 termaktub sebuah dictum pemerataan, persamaan akses dan hak asasi warga Indonesia yakni semua anak bangsa memperolah pendidikan yang layak.  Pasal ini menjadi ruh asasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Namun pada  kenyataannya, semangat dasar UUD 1945 ini ditutup oleh mekanisme 'internal' lembaga penyelenggara pendidikannya dengan aturan-aturan konvensional yang  menjadi selector terhadap warga Negara.

Lebih mengerikan lagi alat seleksinya (selector) tersebut, bukan sesuatu hal yang bisa ditunjukkan secara bersama oleh seluruh warga Negara (kompetensi individu) melainkan oleh variable ekonomi. Pada konteks inilah ruh penyelenggaraan pendidikan telah ditenggelamkan oleh kebijakan konvensional para penyelenggara pendidikan.

Terakhir, kejadian ini memang tidak serta merta muncul ke permukaan. Fenomena ini muncul dan berkembang di Indonesia seiring dengan adanya permintaan dari masyarakat. Berdasarkan teori ekonomi, transaksi dapat dilaksanakan bila ada kesepahaman antara penawaran dan permintaan. Penawaran akan muncul bila ada permintaan. 

Sikap pragmatisme di lingkungan pendidikan memang merupakan satu misteri yang masih membutuhkan riset yang mendalam.  Artinya sikap pragmatis dalam dunia pendidikan ini, (a) apakah diawali oleh para penyelenggara pendidikan, (b) sikap orang tua yang semakin pragmatis, (c) atau birokrat pendidikan yang telah terbiasa dengan budaya pragmatis. 

Namun demikian, simpulan yang dapat dengan mudah diterima nalar saat  ini, sikap pragmatis terjadi karena ada kemauan, kesepahaman dan tujuan khusus antara pelaku untuk melakukan praktek-praktek dimaksud.

Mencermati fenomena tersebut, akankah penyelenggaraan pendidikan di Indonesia akan melahirkan proses belajar mengajar yang bermutu dan berkualitas, bila di awal dan akhir penyelenggaraan pendidikan itu diwarnai oleh penyelewengan gagasan pendidikan yang mulia? akankah Indonesia mampu menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas, bila di awal dan akhir penyelenggaraan pendidikan itu diwarnai oleh sikap pragmatisme (lebih tepatnya nalar ekonomi) di luar kebutuhan anak didik itu sendiri?

Khusus untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SLTP), kiranya pemerintah harus turun tangan dalam menertibkan trend atau kecenderungan ini. Karena bila hal ini tidak disikapi dengan baik oleh pemerintah, maka rendahnya partisipasi pendidikan di Indonesia bukan disebabkan oleh rendahnya minat masyarakat untuk mengakses layanan pendidikan, namun oleh budaya awal dan akhir pendidikan para penyelenggara yang tidak mampu diikuti oleh kemampuan masyarakat.  Bila pemerintah tidak memperhatikan fenomena ini, maka jangan salahkan, bila masyarakat skeptis terhadap dunia pendidikan.

Bila kondisi ini dibiarkan, proses pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan "gendang". Di muka ditutup rapat, di belakang tertutup rapat. Sementara di tengah-tengahnya kosong melompong tak berisi. Awal masuk pendidikan sangat sulit, dan keluar pendidikannya pun dipersulit. Sementara di tengah proses pendidikannya biasa saja. Akibat dari sikap pragmatis ini, yang korban tetap cuma satu orang, yaitu peserta didik atau anak bangsa itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun