Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pragmatisme Pendidikan

10 Juni 2021   06:04 Diperbarui: 10 Juni 2021   06:33 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, sehubungan dengan penalaran yang pertama tadi, pemerintah hendaknya memperhatikan trend perkembangan social-ekonomi bangsa dan dunia, serta tingkat kejenuhan lembaga dan lulusan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan yang tidak efektif atau tingginya pengangguran intelektual, merupakan akibat dari tidak pekanya pemerintah dalam memetakan kebutuhan dasar dan supply sumberdaya manusia lulusan pendidikan. Sejatinya, pemerintah dapat membuat koreksi terhadap lembaga pendidikan yang kurang efektif atau tidak memberikan efek pemberdayaan kepada lulusan pendidikan.

Ketiga, merujuk pada analisa tersebut maka pada saat ini merupakan momentum yang strategis bagi masyarakat untuk mengoreksi dunia pendidikan. Artinya, menyekolahkan anak ke dunia pendidikan itu bukan sekedar untuk meraih citra sosial dari lembaga pendidikan tersebut, melainkan lebih disebabkan karena adanya misi orang tua dalam memberdayakan potensi anak demi kehidupan di masa depannya.

Pendidikan adalah usaha sadar dalam membebaskan dan memberdayakan anak didik. Sementara menyekolahkan merupakan usaha sadar orang tua dalam memberikan fasilitas pemberdayaan anak. Kehilafan orang tua mendukung pilihan pendidikan dapat menyebabkan anak dan orangtua tersebut mendapatkan citra sosial belaka. Tidak salah memilih sekolah favorit, tetapi bila hal ini hanya dilandasi oleh citra sosial dan gengsi sosial, maka setelah lulus dari lembaga  pendidikan tersebut anak pun hanya akan mendapatkan citra sosial belaka, dan bukan jalan masa depan yang lempang.

Oleh karena itu, masa pendaftaran baik untuk jenjang pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi merupakan kebebasan orang tua dan anak untuk mengoreksi dunia pendidikan. Tunjukkan kebebasan diri dalam menentukan pilihan tempat untuk memberdayakan diri. Ingat, pilihan ini ibarat pemilu dalam politik. Janji politik pendidikan adalah sebuah janji. Hasil yang sesungguhnya adalah fakta sosial. Dan janji itu bukanlah fakta. Oleh karena itu, hati-hatilah dalam menentukan pilihan pendidikan.

Pragmatisme Pendidikan

Yang korban tetap anak bangsa. Inilah yang dapat dilihat dari peristiwa awal dan akhir pendidikan. Bila pada akhir pendidikan, beberapa minggu yang lalu dunia pendidikan sempat diramaikan dengan isu seputar Ujian Nasional (UN). Mulai dari keabsahan, validitas sasaran dan tujuan penilaian sampai pada isu permainan dibalik permukaan hasil-hasil ujian nasional. 

Tidak mengherankan, bila hasil dari UN itu kemudian mencengangkan --walaupun sungguh membahagiakan---karena ternyata hasil pendidikan anak bangsa itu mencapai rata-rata yang cukup tinggi bahkan tidak jarang ada anak yang mampu mencapai nilai UN mendekati angka sempurna.

Apapun dugaan orang terhadap perilaku aparatur pendidikan (atau oknum) yang melakukan 'rekayasa' terhadap nilai-nilai tersebut, hal ini menunjukkan bahwa ada sikap pragmatis dari kalangan tertentu terhadap masalah pendidikan. Hasil pendidikan seolah-olah dapat dinilai dari 'angka' dari hasil belajar anak didik. Hasil pendidikan seolah-olah dapat diselesaikan dengan 'prosentase' kelulusan dari lembaga pendidikan. Meminjam istilah Tibor R Machan (2006) sesungguhnya peristiwa ini dapat dimaknai sebagai salah satu bentuk 'penyelewengan gagasan'.

Konsep peningkatan kompetensi dan kualitas pendidikan, merupakan satu ide yang mulia dan sangat dibutuhkan oleh setiap insan di Indonesia. Kebutuhan untuk mencapai hal tersebut, merupakan bagian dari upaya dan kebutuhan bangsa dalam membangun daya saing bangsa di masa depan.

Kualitas lulusan atau peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan asset sosial yang sangat berharga dan strategis dalam membangun Indonesia masa depan. Namun sekali lagi, lagi-lagi kita harus bertanya dengan penuh ketulusan nurani, akankah tindakan di masa kemarin itu telah membangun citra pendidikan Indonesia semakin lebih baik atau lebih terpuruk.

Penyelewengan gagasan dengan memanipulasi kebutuhan peningkatan kualitas mutu dan lulusan pendidikan dengan indikator-indikator yang dangkal makna dan syarat sikap pragmatis hanyalah akan melahirkan pembusukan citra pendidikan dan keluhuran dunia pendidikan itu sendiri. Pada konteks inilah, akhir proses pendidikan Indonesia (terancam) warna pragmatisme pendidikan. Dan yang lucu lagi, pelaku sikap pragmatis pendidikan itu bukan anak didik melainkan para pelaku penyelenggara pendidikan dan atau birokrat pendidikan itu sendiri. Karena si anak didik itu sendiri, diam seribu basa dengan posisi sebagai pion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun