Marak terjadi kasus penipuan yang mirip korupsi kecil-kecilan. Bahkan pada lingkup terkecil semisal kehidupan bertetangga. Korbannya tentu saja yang dianggap lemah. Contohnya teman-teman disabilitas.
Sudah pekerjaanku sebagai jurnalis, untuk mengungkap kasus ini lewat investigasi. Beginilah caraku menyambung hidup sebagai mahasiswa kampus. Jika dimuat, maka aku akan dapat tambahan uang jajan. Biarpun tak banyak jumlahnya, tapi bagiku yang penting halal.
Aku mewawancarai sebuah komunitas disabilitas di kotaku. Tak susah mencari mereka sekarang. Soalnya komunitas seperti ini, biasanya sudah melek media sosial. Maka aku pun menemui anggota salah satu komunitas.
Rumahnya tepat berada di muka sebuah gang. Dari kejauhan, kulihat bapak-bapak tua sedang duduk. Perawakannya agak gemuk. Mungkin usianya tak berbeda jauh dari ayah.
Dia mengenakan peci berwarna hitam. Aku mendekati bapak itu perlahan. Tak kuduga bapak malah tersenyum manis. Seakan tahu kedatanganku.
“Silahkan duduk, Nak. Sudah ditunggu dari tadi, “ Bapak itu mempersilahkan. Setelah memperkenalkan diri, aku pun menyampaikan maksud dan tujuan untuk mewawancarainya. Kukatakan pada beliau kalau aku dari tim jurnalis kampus. Bapak itu kembali tersenyum ramah.
“Apakah Bapak pernah mengalami penipuan?” tanyaku memulai wawancara. Mendengarnya beliau malah tertawa terbahak-bahak. Rata-rata dari mereka, para disabilitas netra, sering menjadi korban penipuan.
“Ya, pastilah mbak. Namanya juga orang buta, “ jawab bapak itu. Dia bernama Pak Mamad, seorang disabilitas netra yang sakit katarak. Sudah beberapa tahun ini, beliau tidak bisa melihat lagi.
“Dulu pas masih awal-awal buta, bapak pernah ditipu sama ojol.” cerita Pak Mamad. Karena baru mengalami kebutaan, Pak Mamad mengaku sulit untuk berpergian. Dirinya pun memesan ojol untuk pulang ke rumah.
Dikatakan sesudah dia diantar pulang, supir ojol meminta uang ongkosnya. Pak Mamad langsung menyerahkan dompet. Meminta si supir untuk mengambil sendiri uang dari sana. Ternyata si supir mengambil ongkos lebih dari yang seharusnya. Pak Mamad ingat betul jumlah ongkosnya hanya Rp. 14.000. Tapi supir ojolnya mengambil uang Rp. 30.000.
“Emang salah sendiri kalau begitu, “ kata Pak Mamad dengan nada enteng. Tadinya dia sudah memisahkan uang kecil dan uang besar dalam dompet. Ada uang sepuluh ribuan, dua puluh ribuan, dan lima lembar dua ribuan. Seharusnya dia sendiri yang menyerahkannya pada sang pengemudi ojol.
Di tengah percakapan, seorang wanita muda masuk membawakan minuman. Wajah dan posturnya sedikit mirip Pak Mamad. Matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat dengan jelas. Dia mengalami gangguan penglihatan lemah. Hanya bisa melihat objek dari jarak yang sangat dekat.
“Kalau mau membaca sesuatu, saya menempelkan benda tersebut tepat di depan mata, “ katanya ketika kutanyai mengenai hambatan disabilitas yang dia rasakan. Perempuan itu bernama Uniek. Gadis manis itu merupakan putri dari Pak Mamad. Logat bicaranya medok. Tapi karena aku kurang pandai berbahasa Jawa, maka Uniek pun berbicara denganku pakai Bahasa Indonesia.
“Saya juga pernah mengalami penipuan, “ kata Uniek tiba-tiba. Rupanya dia diam-diam mendengarkan percakapan kami. Meskipun matanya tak melihat, disabilitas netra terkadang memiliki pendengaran yang sensitif. Uniek memiliki kemampuan itu. Dia bisa mendengar dan mengikuti pembicaraan orang-orang yang ada di sekitarnya. Bahkan sembari beraktivitas sekali pun.
Uniek pun mulai bercerita. Tentang pengalamannya ditipu seseorang yang tak kalah miris. Saat itu dia sedang berbelanja di sebuah toko kelontong. Sesudahnya, Uniek pun pergi ke kasir. Dia menyerahkan selembar uang lima puluh ribu dengan dua pasang garis timbul.
Semestinya pegawai kasir itu memberikan kembalian Rp. 19.000. Tapi perempuan itu hanya memberikan Rp. 14.000 saja. Terdiri dari satu lembar uang sepuluh ribu dan dua lembar dua ribuan rupiah. Uniek tahu karena dia dapat meraba blind code pada masing-masing sisi uang tersebut. Gadis itu mencoba protes pada perempuan penjaga kasir yang mungkin saja umurnya lebih tua. Uniek menerka-nerka usia perempuan itu dari suaranya.
“Nggak, kok. Ini udah Rp. 19.000. “ celoteh ibu penjaga kasir.
“Tapi Bu, saya bisa meraba uangnya, “ tolak Uniek. Dia merasa benar.
Uniek menambahkan, kalau dia meraba satu buah uang dengan empat pasang garis timbul dan dua buah uang dengan enam pasang garis timbul. Itu artinya masing-masing uang memiliki nominal pecahan Rp. 10.000 dan Rp. 2.000.
Mendengarnya, ibu penjaga kasir itu pun lantas meninggikan suaranya. “Kamu aja yang nggak bisa melihat, “ sergahnya. Uniek mengaku syok mendengar hal tersebut.
“Lantas apa yang kamu lakukan, Niek?” tanyaku. Uniek membalas kalau dia orangnya malas berdebat. Gadis itu meninggalkan toko kelontong tersebut dengan perasaan kecewa.
Walau begitu, Uniek masih bersyukur dengan keadaan dirinya. “Ya, setidaknya saya buta mata. Bukan buta hati. ” ujarnya sambil tersenyum getir.
“Tapi tentunya masih banyak orang baik di sini. “ jelas Pak Mamad. Dia bercerita kalau beberapa hari setelah kejadian, si supir ojol mengetuk pintu rumahnya. Pemuda itu seusia Uniek. Melihat Pak Mamad, dia sesenggukan menyesali perbuatannya. Pengemudi ojol itu mengembalikan uang yang telah dicurinya, lalu meminta maaf. Tanpa bertanya lebih jauh, Pak Mamad menepuk-nepuk bahu pemuda itu.
“Terkadang orang melakukan hal buruk, karena terpaksa. “ Pak Mamad bijak sembari tersenyum simpul. Suasana haru seketika menyelimuti kami bertiga. Semoga makin banyak orang yang bertobat karena pernah berbuat ketidakjujuran, doaku dalam hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H