Selama seminggu aku tak keluar rumah hingga ujian selesai. Setiap hari kuhabiskan waktuku membaca semua buku dan materi dari dosenku. Di posisiku yang sudah semester enam ini, aku ingin nilai-nilaiku semuanya tinggi.
Aku tinggal di Yogyakarta, kota yang istimewa bagiku. Di sana aku lahir dan kuliah, menuntut ilmu selama empat tahun hingga waktunya lulus. Aku ingin bahagiakan orang tuaku, berfoto bersama dengan toga yang menempel di kepala adalah impianku sejak dulu.
Hari Senin, dua pekan sebelum ujian akhir semester, aku pergi ke kampus untuk meminjam beberapa buku di perpustakaan.
Kukayuh sepedaku melewati jalanan kota di pagi hari yang macet dengan kendaraan hingga mengular sepanjang 5 km jauhnya. Mobil dan motor yang memenuhi jalanan pagi itu seperti mengepungku di tengah keramaian.
Dengan secepat kilat, aku mengayuh sepedaku meliuk-liuk seperti ular di tengah padatnya jalanan oleh banyaknya kendaraan. Aku pun sampai di kampus 20 menit kemudian, lebih lama dari dugaanku.
Aku langsung ke perpustakaan, mencari buku yang kucari untuk membantuku mengerjakan ujian, dan setelah kudapatkan, aku pulang masih dengan sepedaku.
Di tengah perjalanan pulang, aku melihat keramaian di depan salah satu mal yang kulewati. Karena penasaran, aku mendekat dan melihat apa yang terjadi.
Aku terkejut, melihat dua wanita berpakaian seksi yang memperlihatkan lekuk tubuhnya seperti gitar Spanyol sedang mempromosikan salah satu merek mobil keluaran terbaru.
Hanya sejenak melihat, aku langsung melanjutkan perjalanan hingga sampai rumah.
Ibuku sudah tidak bekerja, sakit kepalanya yang terkadang kambuh memaksanya harus pensiun dini sebagai seorang guru. Sementara ayahku masih banting tulang untuk menafkahi kami. Pekerjaannya sebagai karyawan di perusahaan minyak, membuatnya sering dikirim ke berbagai daerah.
Hari itu ayahku tidak di rumah, dua hari yang lalu dia berangkat ke Riau, perusahaan tempatnya bekerja mengirimnya ke sana untuk segera menyelesaikan pengeboran sumur minyak baru.
Pagi itu aku membantu ibuku yang berada di taman. Menyirami aneka tanaman hiasnya yang menyegarkan mata dan memotong deretan tanaman pucuk merah agar terlihat rapi jika dipandang.
Sebelum sinar mentari menyengat di atas kepala, kami sudah menyelesaikan kegiatan kami di taman pagi itu.
Hari demi hari kujalani hariku seperti biasa, setiap Jumat aku mengantarkan pesanan katering ibuku. Dan setiap Sabtu, bersama dengan adikku jalan-jalan menyusuri kota, menikmati suasana Kota Pelajar di malam hari.
Suatu hari saat kami makan siang, gawaiku berdering dari dalam kamar. Setelah kulihat, ternyata ayahku, dia berpesan akan mengajakku ke rumah nenek di Surabaya setelah ujianku selesai.
Siang hari yang menyebalkan! Saat aku belajar untuk mempersiapkan ujianku, suara-suara burung peliharaan tetanggaku mengganggu konsentrasiku. Begitu terganggunya aku karena burung itu terus bernyanyi tiada henti.
"Lebih baik aku tidur saja, berharap nanti sore burung-burung itu sudah tidak lagi bernyanyi," ucapku dalam hati.
Dua jam aku tidur hingga sore hari. Lalu aku dibangunkan oleh aroma masakan gudeg yang menyebar seisi rumah. Aku melihat ibuku sedang memasak di dapur dengan celemek biru pemberianku dua bulan lalu.
"Sedap sekali aromanya," ujarku kepada ibuku.
"Iya dong, namanya juga gudeg." Balas ibuku.
"Sana mandi dulu, setelah itu baru cicipi," tambahnya.
Aku pun langsung mandi, dan selesai mandi aku langsung menuju ke meja makan. Dan lagi, ibuku kembali memerintahku.
"Panggil adikmu dulu yang ada di kamar, suruh dia ke sini, kita makan bersama." Ucap ibuku.
"Memangnya Nada hari ini tidak les?" aku bertanya.
"Ini hari apa? Kan masih Minggu, lesnya besok Senin." Ucap ibuku.
"Loh?" ucapku dengan keheranan. Aku langsung mengecek kamar Nada, memastikan dia ada di kamarnya. Aku terkejut saat melihat dia sedang asyik menonton film Parasite di kamarnya.
"Loh, kamu tidak les hari ini?" tanyaku padanya.
"Enggaklah, lupa ya? Hahahaha." Ujarnya disertai gelak tawa.
"Sialan, aku benar-benar lupa." Balasku.
"Cepat ke sana, kamu dipanggil Ibu," tambahku.
Kami berkumpul menikmati makan sore kami. Hujan yang tiba-tiba datang tanpa memberikan kabar menemani makan sore kami. Suasana menjadi sejuk karena air hujan yang turun menghunjam tanah begitu deras.
"Kata Mas Riko, kamu hari ini les." Ujar ibuku kepada Nada.
"Padahal enggak," jawab Nada.
"Ya maaf, namanya juga lupa." Aku menyahut.
Di meja makan, kami larut dalam kenikmatan masakan gudeg buatan ibuku yang rasanya enak sekali.
"Kamu kapan ujiannya?" tanya ibuku.
"Besok sudah mulai, Bu." Jawabku.
"Setelah ujian, kita jadi ke Surabaya kan?" lanjut aku bertanya.
"Iya, jadi." Jawab ibuku.
Malam akhirnya datang, kami tidur di tengah malam yang terang. Aku melihat purnama menyinarkan sinarnya menerangi gelapnya malam, tidak seperti hari lalu.
Aku terbangun di pagi hari pukul 06.00. Dengan mata kepalaku, aku melihat lalu lintas pagi itu ramai oleh para pedagang yang mau ke pasar.
Aku berangkat ke kampus dengan sepedaku, seperti hari-hariku sebelumnya. Aku berjanji pada diriku, selama satu minggu ujian akhir semester berlangsung, aku tidak akan keluar rumah sebelum semuanya selesai.
Pagi itu aku berangkat dengan penuh keyakinan bisa mengerjakan soal-soal yang akan membuat kepalaku berputar karena sulitnya.
Hari demi hari aku lalui, hari terakhir ujian pun tiba. Seperti sebelumnya, hari itu aku berhasil mengerjakan semua soal.
Penantian untuk liburan ke rumah nenek sudah ada di depan mata. Di ruang keluarga, aku bersama Nada dan ibuku duduk di sofa menonton tv. Terdengar suara telepon berdering, ternyata dari ayahku, dia mengatakan akan tiba di rumah besok pagi.
Pada malam hari, Nada memarahiku. Mempertanyakan hal yang tidak aku tahu.
"Mas, novelku yang kemarin aku beli ada di mana?" dia bertanya.
"Ya aku tidak tahu. Kan itu punyamu." Jawabku.
"Ayolah, kasih tahu aku. Kamu kan sering baca novel," ujarnya.
"Sudah kubilang, aku tidak tahu! Kalau aku sering baca novel, bukan berarti aku ambil novel kamu juga!" jawabku dengan nada tinggi.
Ibuku yang mendengar suara keributan dari kamarku, lalu menghampiri kami. "Sudah jangan ribut. Besok Ayah pulang," ujar ibuku.
Pada pagi hari, aku melihat banyak tas besar di ruang keluarga, setelah kulihat dan kuperiksa satu per satu, ternyata itu tas milik ayahku. Rupanya ayahku sudah tiba di pagi yang masih buta.
Kami semua berkumpul di ruang keluarga, berbagi cerita dengan ayah. Ayah berkata bahwa besok kita akan berangkat ke Surabaya dengan menggunakan mobil. Sungguh, pasti itu sangat melelahkan, aku tidak bisa membayangkan perjalanan panjang itu.
Hari itu kami gunakan untuk mempersiapkan semua pakaian kami untuk besok ke Surabaya. Aku tidak lupa membawa beberapa koleksi novelku untuk menemaniku selama perjalanan.
Pada pagi harinya, tepat pukul 07.00, kami berangkat dari tempat tinggal kami menuju Surabaya. Perjalanan sejauh 324 km itu akan kami tempuh selama enam jam lamanya.
Sudah lama aku tidak melihat wajah nenekku, pertemuan terakhirku dengannya terjadi saat aku masih SMA. Sementara kakekku, aku belum pernah satu kali pun melihat wajahnya.
Kami melaju sangat cepat seperti cheetah yang sedang berlari berburu mangsa. Dari jendela mobil di sisi kiri, aku melihat tiang lampu pinggir jalan seperti mengejar kami, beradu kecepatan dengan kami. Langit terlihat cerah, seperti tidak akan menurunkan hujannya di hari itu.
Sudah tiga jam perjalanan, kami berhenti untuk rehat sejenak. Tidak lupa kami mengisi perut dengan makanan dan minuman yang membuat perut kami membesar dan sedikit mengantuk.
Kami pun melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang. Sudah tiga jam lagi kami melaju, akhirnya kami sampai di Kota Pahlawan.
Aku melihat dari kaca mobil, nenekku masih sehat, di umurnya yang sudah kepala tujuh, dia masih bisa berjalan dengan bantuan tongkat di tangan kanannya. Kucium tangan nenekku dan kupeluk erat dia. Kurasakan rinduku padanya.
Aku bahagia waktu itu, menikmati liburanku usai ujian yang sempat membuat otakku menjadi beku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H