Kembali ke masalah IPK, ini sangat berbanding terbalik dengan syarat lowongan kerja "memiliki pengalaman kerja".
Syarat tersebut hanya mencari yang sudah berpengalaman meski syarat ini juga menyebalkan, bukan memiliki segudang teori.
Terlebih lagi lapangan pekerjaannya umum, sangat tidak logis jika menggunakan syarat IPK pada lowongannya.
Sebagai contoh, lowongan menjadi jurnalis dengan "IPK minimal 3,00 di setiap jurusan", padahal yang ideal adalah yang berpengalaman atau berminat.
Kasihan jika ada yang berkuliah di Program Studi Teknik Sipil harus menguburkan mimpi menjadi jurnalis karena IPK-nya 2,50, misalnya.
Mengubah paradigma
Indonesia masih dikuasai oleh generasi boomer yang sebagian besar masih menganggap nilai adalah di atas segalanya.
Padahal, tidak selamanya mahasiswa tersebut memiliki kecerdasan yang rendah dan yang terpenting adalah etika dan memiliki kemauan kuat untuk bekerja.
Kuliah di perguruan tinggi hanya mengembangkan pola pikir meski dicampur dengan aspek akademik.
Selebihnya, lapangan yang menempanya menjadi apa dan bagaimana, bukan stigma yang berdasarkan pada IPK.
Para generasi milenial, X, hingga Z yang membantu meyakinkan mereka bahwa nilai bukan segalanya.