IPK rendah bukan berarti bodoh, dia cerdas di bidang lain, tetapi ada kondisi yang membuatnya terpaksa berkuliah di salah satu program studi tersebut.
Hal yang terpenting bukan nilai IPK, melainkan bagaimana pola berpikirnya, dia cerdas tetapi tidak untuk program studinya.
Lantas, apakah IPK rendah bisa dikatakan bodoh, sementara yang terpenting adalah ilmu yang diamalkan atau etika yang baik?
Kultur paradigma kecerdasan diukur dari IPK bukan hanya mengakar di lingkungan sosial, sekarang juga menjalar di lapangan pekerjaan.
Para fresh graduate dengan IPK medioker atau kalangan bawah akan termarjinalkan oleh pemilik lapangan pekerjaan.
Mereka menganggap IPK tidak sesuai persyaratan akan menghambat kinerja karena stigma pemilik IPK rendah adalah bodoh.
Padahal, bekal yang dibutuhkan dalam pekerjaan adalah pengalaman atau kemauan kuat dalam bekerja.
Tidak selamanya teori yang dipelajari di bangku perkuliahan dapat untuk dipakai atau berjalan seluruhnya.
Ada yang harus diselesaikan dengan improvisasi karena teori yang digunakan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Biasanya, para senior menggunakan insting dan pengalaman untuk menyelesaikan masalah alih-alih teori akademis.
Maka dari itu, muncul istilah akademisi yang fokus pada teori dan praktisi yang pengalamannya dijadikan acuan dalam bekerja.