Mohon tunggu...
MASE
MASE Mohon Tunggu... Lainnya - Mochammad Hamid Aszhar

Manusia pembelajar. Pemimpin bisnis. Membangun kesejahteraan masyarakat melalui pendidikan dan kewirausahaan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Samudera Kesadaran : Monogami dan Poligami

31 Januari 2021   11:11 Diperbarui: 18 Agustus 2024   13:48 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pernikahan bentuknya bisa monogami atau poligami. Hukum dasar pernikahan baik itu monogami maupun poligami adalah boleh/netral (mubah). Namun situasi dan kondisi tertentu bisa membuat hukum pernikahan baik itu monogami maupun poligami itu menjadi wajib, sunnah, makruh bahkan haram. Contoh bila ada seorang pria sudah memenuhi syarat untuk menikah dan bila tidak menikah maka sangat berpotensi besar terjerumus dalam hubungan seks bebas yang rentan terhadap kerusakan hidup secara psikologis, biologis dan sosial maka hukum menikah bagi pria dengan situasi dan kondisi tersebut adalah wajib. Dan contoh sebaliknya bila ada seorang wanita tujuan menikah adalah melakukan manipulasi dan pemerasan maka hukum menikah bagi wanita dengan situasi dan kondisi tersebut adalah haram. Hukum menikah menjadi sunnah (lebih utama) bila kebaikan (maslahah) lebih banyak dari keburukan (mudharat). Hukum menikah menjadi makruh (tidak disukai) bila keburukan (mudharat) lebih banyak dari kebaikan (maslahah).

Monogami dan poligami seringkali dipertentangkan. Pro dan kontra, antara monogami dan poligami seringkali mirip pro dan kontra dalam anekdot "the alephant in the dark room". Mereka yang pro poligami sering terjebak menggunakan dalih syariat Islam sebagai kedok untuk memenuhi ego dengan justifikasi itu "Sunnah Rasul". Mereka yang kontra poligami, melakukan justifikasi-justifikasi pembenaran yang tidak didasari pemahaman secara utuh dan lengkap tentang poligami yang diatur dalam syariat Islam. Pemahaman baru parsial, baru denger-denger, atau dari katanya-katanya. Kita tidak bisa memegang suatu pedoman hidup hanya berdasarkan pemahaman yang parsial, baru denger-denger, atau hanya katanya-katanya. Bila kita memahami sejatinya pernikahan baik monogami dan poligami maka kita akan menyadari bahwa monogami dan poligami tidak perlu dipertentangkan. Monogami maupun poligami adalah jalan hidup manusia yang saling melengkapi dalam sistem sosial.

Menarik penelitian yang dilakukan oleh Shelby B. Scott dkk dari University of Denver, USA tentang 5 penyebab utama perceraian dalam pernikahan yaitu perselingkungan, konflik, lemahnya komitmen, kurang kedewasaan, dan kondisi keuangan. Dari semua penyebab perceraian itu, akar permasalahannya bukan karena monogami atau poligami, namun lebih kepada sikap dan behavior. Berapa banyak monogami yang tidak bahagia, berantakan dan berujung pada perceraian? Dan tidak sedikit poligami yang bahagia, rukun dan saling menguatkan bila benar menjalaninya. Faktanya poligami setelah dijalani dengan benar dan suami mampu bersikap adil secara lahiriah, sebagian besar permasalahan hanya berkisar pada kecemburuan istri-istri dan salah paham. Ini wajar karena mereka manusia yang mencintai suaminya dan masih memiliki ego. Para istri-istri itu bukan malaikat. Hal ini bisa diselesaikan dengan mudah, bila suami memiliki integritas, kepemimpinan (leadership) yang kuat, komunikasi yang baik serta kedewasaan dalam bersikap. 

Fakta yang disampaikan Shelby B. Scott dkk dari University of Denver, USA dalam penelitiannya tentang penyebab perceraian di antara 5 penyebab utama perceraian disampaikan tersebut diatas sebagian besar disebabkan oleh perselingkuhan. Dan salah satu bentuk perselingkuhan yang dampaknya sangat merusak dan mengerikan adalah "jajan"/membeli wanita di tempat prostitusi atau tempat yang lain. Poligami dan perselingkuhan adalah hal yang sangat berbeda. Poligami adalah salah satu bentuk hubungan pernikahan yang bertanggungjawab. Sedangkan perselingkuhan adalah hubungan yang tidak bertanggungjawab. Pria yang suka berselingkuh ketika ditawari untuk menjalani pernikahan poligami secara halal dan syah menurut syariat Islam maupun hukum negara tidak akan mau. Karena pria yang suka berselingkuh itu memang tidak gentle dan tidak bertanggungjawab. Kalaupun pria yang suka berselingkuh diberikan jalan berpoligami akan tetap memiliki hasrat berselingkuh bila behaviornya memang suka berselingkuh, bahkan ketika sudah memiliki 4 (empat) istri sekalipun. 

Poligami adalah solusi sosial manusia sesuai kapasitas, situasi dan kondisi tertentu, sedangkan perselingkuhan adalah penyakit jiwa individu yang harus diselesaikan oleh individu itu sendiri. Pernikahan yang dijalani dengan baik secara monogami maupun poligami membuat pikiran, emosi, tubuh dan energi tenteram, kitapun akan jadi lebih mampu mengoptimalkan potensi diri kita lebih powerfull dan produktif. Dalam riset yang dipublikasikan City Journal oleh Manhattan Institute for Policy Research (MI) tentang "Why Marriage Is Good For You" disampaikan bahwa pernikahan bisa meningkatkan kesetiaan seksual. Pria yang tidak menikah dan menjalani kehidupan "kumpul kebo", empat kali lebih mungkin untuk selingkuh daripada suami yang sudah beristri baik itu dengan monogami maupun poligami. 

Dunia modern telah banyak mengubah wanita menjadi mandiri dalam segala hal. Kesetaraan sering dipahami secara salah sebagai kesamaan. Faktanya sifat biologis wanita dan pria tidak sama. Secara biologis walaupun pria sudah diatas umur 40 tahun masih memiliki hormon testosteron yang tinggi sementara wanita bila umur diatas 40 tahun mengalami penurunan hormon estrogen. Dalam antropologi dikenal istilah female hypergamy. Bahwa ada kebutuhan wanita dilindungi pria. Pria adalah pengayom wanita. Inilah makna arrijala qawwamuna 'alan nisa (QS 4 : 34). Kesetaraan yang sering dipahami secara salah sebagai kesamaan hanya menghasilkan fenomena jumlah "jomblo" yang melonjak, tingkat perceraian yang semakin banyak bahkan kehidupan single parents yang semakin meningkat. Hal ini berdampak kepada perselingkuhan yang semakin merebak serta bencana demografi. Yang sangat menyedihkan prostitusi, penyakit jiwa, penderitaan keluarga terutama anak-anak, infeksi penyakit menular seksual (PMS) dan human trafficking juga ikut merebak. 

Riset Euromonitor Interational Research menunjukkan bahwa jumlah wanita yang tidak memperoleh pasangan atau jodoh alias jomblo hingga usia yang semakin lanjut di dunia modern ini mengungkap fakta yang mencengangkan. Tahun 1996, jumlah jomblo di dunia sekitar 153 juta orang. Setelah 15 tahun menjadi 277 juta atau naik sekitar 55% . Di Indonesia sendiri, berdasarkan data BPS sebagaimana dilansir oleh CNBC Indonesia Research, jumlah perempuan Indonesia tetap single hingga menjelang umur 40 tahun naik tiga kali lipat dalam periode 1970 hingga 2010. Pada 1970, hanya 1.4%, pada 2000, naik menjadi 3,5% dan naik tipis ke 3,8% pada 2010. Hal yang sama terjadi pada lelaki yang juga mengalami kenaikan, dari 10,02% pada tahun 2000 menjadi 11,58% pada tahun 2010. Hasil survei General Social Survey AS, yang dipublikasikan oleh Institute for Family Studies (IFS) pada 2018 menunjukkan bahwa laki-laki yang berselingkuh sekitar 20% dan perempuan yang berselingkuh sekitar 13 %. Namun riset tersebut menunjukkan pola baru bahwa pada rentang usia 18-29, perempuan yang sudah menikah dan melakukan perselingkuhan (sekitar 11 persen) lebih banyak daripada laki-laki yang sudah menikah dan melakukan perselingkuhan (sekitar 10 persen). Bahkan Esther Perel, seorang psychoanalyst dalam 'State of Affairs: Rethinking Infidelity' yang dipublikasikan pada 2017, menyampaikan bahwa jumlah perempuan yang sudah menikah dan berselingkuh kini telah meningkat hingga 40 persen bila dibandingkan dengan tahun 1990. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa kesetaraan antara pria dan wanita bukanlah kesamaan, namun hubungan yang saling melengkapi dan menguatkan dengan kelebihan masing-masing. Persepsi kesamaan itu menabrak sifat wanita dan pria yang secara biologis berbeda. Secara antropologi antara pria dan wanita juga berbeda. Upaya menyamakan pria dan wanita dengan kedok kesetaraan gender mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan dengan semakin naiknya tingkat perceraian, perselingkuhan, prostitusi berikut turunannya. 

Poligami dalam Islam, bila kita memahami maqoshidus syariah (maksud/tujuan dibentuknya hukum) maka kita akan memahami keagungan syariat Islam tentang poligami, tidak seperti yang banyak disalahpahami aktivitis emansipasi wanita dan kesetaraan gender. Poligami adalah salah satu jalan pernikahan yang gentle dan bertanggungjawab. Karena itu walaupun secara aturan (syariah) suami boleh menikah lagi tanpa ijin istri, namun nilai, norma dan etika dari pernikahan Islam baik itu monogami maupun poligami itu harus jujur dan terbuka, tidak ada dusta. Karena poligami itu adalah salah satu jalan pernikahan yang bertanggungjawab yang pertanggungjawabannya tidak hanya di hadapan pasangan, namun juga di hadapan orangtua, keluarga besar dan masyarakat. Tatanan Islam tidak hanya aturan (syariah) saja namun ada nilai, norma dan etika (akhlak). Pernikahan harus dimusyawarahkan secara terbuka dan jujur dengan istri pertama/istri lainnya bila berniat menikah lagi. Bila ada dusta maka istri bisa menuntut melanjutkan atau memutuskan pernikahan (khiyar) atau membatalkan pernikahan (fasikh) [Cek HR. Muslim, no. 2607]. 

Poligami tidak sama dengan selingkuh yang mana selingkuh adalah bagian dari pengkhianatan. Atau salah besar bila dikatakan bahwa prostitusi lebih baik dari poligami. Wanita yang menjadi istri kedua, ketiga dan keempat juga tidak bisa dituduh pelakor (perebut laki orang) karena mereka tidak merampok dan mau bersama-sama berjuang untuk kebahagiaan dan kebaikan yang lebih besar. Poligami bukanlah transaksi bisnis yang memperlakukan wanita sebagai komoditas untuk dieksploitasi seks dan kecantikannya tanpa dinikahi secara syah, gentle dan bertanggungjawab baik secara syariat Islam dan hukum negara dihadapan istri pertama, keluarga dan masyarakat. Selingkuh dan prostitusi justru merendahkan wanita dengan merenggut kehormatannya tanpa bertanggungjawab menikahinya serta merusak kehidupan sosial, terutama keluarga. Selingkuh dan prostitusi mengeksploitasi wanita dan tidak gentle bertanggungjawab di hadapan keluarga dan masyarakat. Kerusakan kehidupan sosial akibat perselingkuhan atau prostitusi justru sangat dahsyat dan menghancurkan. Banyak hasil riset menunjukkan kerusakan kehidupan sosial karena perselingkungan atau prostitusi seperti penyebaran penyakit kelamin, hancurnya keluarga, hancurnya masa depan anak-anak, hancurnya integritas seseorang secara biologis, psikologis dan sosial. 

Poligami yang dilakukan dengan baik sesuai syariat Islam, adalah terhormat, gentle, bersih, suci dan bertanggungjawab, sehat secara biologis, psikologis dan sosial selama mendapat restu (ridha) dari istrinya. Sedangkan selingkuh apalagi "jajan"/membeli wanita di tempat prostitusi atau tempat yang lain adalah perbuatan kotor yang penuh dengan penyakit menular seksual (PMS), hina, pengecut dan tidak bertanggung-jawab serta penuh dengan toxic secara biologis, psikologis dan sosial. Poligami yang dilakukan dengan baik sesuai syariat Islam, pantang untuk merenggut kehormatan wanita yang paling intim tanpa secara gentle dan bertanggungjawab untuk menjadikannya istri syah dan memberikan nafkah baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Tidak hanya bertanggungjawab terhadap wanita yang dinikahi sebagai istri namun juga bertanggungjawab terhadap anak-anak yang dilahirkan oleh para istri, bertanggungjawab terhadap orangtua istri, bertanggungjawab terhadap keluarga besar istri serta bertanggungjawab pada kelangsungan kehidupan masyarakat lebih luas.

Tafsir QS 4 : 3, 129

Pertentangan pendapat antara monogami dan poligami sering karena tafsir atas QS 4 : 3, 129 yang dipahami berbeda-beda. Cara paling mudah dan valid menafsirkan QS 4 : 3, 129 yang sering dijadikan dasar poligami  adalah mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW. Menafsirkan al-Qur’an dengan mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah) adalah salah satu cara penafsiran yang digunakan dalam metode tafsir bi al-maʻstūr. Tafsir bi al-maʻstūr adalah salah satu metode penafsiran al-Qur’an yang paling kuat dan diakui keabsahannya, yaitu metode menafsirkan nash-nash al-Qur’an dengan menggunakan nash-nash al-Qur’an itu sendiri atau mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW (al-Sunnah). Pada saat al-Qur’an diturunkan, Nabi Muhammad SAW adalah satu-satunya manusia yang paling memahami wahyu dari satu yang sejati, absolute - infinite dan menjadi substansi dan manifestasi semua di alam semesta. Nabi Muhammad SAW juga  paling sempurna mempraktekan wahyu tersebut. Karena itu Nabi Muhammad SAW sering dijuluki Al Quran berjalan.

Bila kita mengkaji sejarah, poligami sudah berlangsung sejak zaman kuno. Kondisi sosial dan alam yang ekstrim seperti cuaca, iklim dan sering terjadinya peperangan antara suku bangsa memunculkan ketergantungan yang luar biasa dari wanita kepada pria untuk memenuhi kebutuhan perlindungan, bertahan hidup dan reproduksi mempertahankan spesiesnya. Karena kondisi sosial dan alam yang ekstrim ini poligami menjadi solusi sosial dan budaya di masyarakat. Di Yunani, Mesir, Romawi, China, Persia, India, Arab bahkan Nusantara sudah biasa seorang pria yang sangat kuat dan berpengaruh seperti raja-raja dan bangsawan-bangsawan memiliki istri puluhan sampai ratusan. Bila kita cermati konteks sejarah  (asbabun nuzul) diturunkan QS 4 : 3, 129, spiritnya adalah mengurangi jumlah istri bukan menambah jumlah istri. Dari sebelumnya memiliki istrinya puluhan sampai ratusan, dibatasi cukup sampai 4 maksimal dalam satu waktu. Tafsir lain dibatasi cukup sampai 9 maksimal dalam satu waktu. Karena "wau athaf" dalam ayat "fankihuu maa thaaba lakum minannisaa-i matsnaa wa tsulaatsa wa rubaa', fa in khiftum allaa ta'diluu fa waahidatan" itu tidak hanya bermakna "atau" yang memiliki makna pilihan (tahyir atau ibahah) namun juga bermakna "dan" yang memiliki makna penjumlahan ma’thuf alaih dengan ma’thuf. Sehingga secara logika matematika "wau athaf" bisa artinya pilihan 2 istri, 3 istri atau 4 istri. Namun bisa juga artinya penjumlahan 2+3+4 = 9, sehingga tafsir lain dibatasi maksimal 9 istri dalam satu waktu. Ini juga yang menjadi dasar istri Nabi Muhammad SAW dalam satu waktu berjumlah 9. Namun sangat jarang atau hampir tidak ada pria di dunia ini yang memiliki integritas, kapasitas, karakter, kompetensi, kepemimpinan dan kemampuan bersikap adil seperti Nabi Muhammad SAW.

Bila kita mengkaji kehidupan Nabi Muhammad SAW, dalam keseluruhan kehidupan pernikahan Beliau selama kurang lebih 33 tahun, selama 25 tahun Beliau monogami dan kurang lebih hanya 8 tahun Beliau poligami. Dan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itupun setelah meninggalnya istri pertama Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Khadijah. Bahkan ada jeda waktunya kurang lebih 4 tahun kemudian baru Beliau menikah kembali.  Yang juga perlu disadari bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW lebih banyak karena perintah wahyu untuk menghindari keburukan (kemudharatan) atau meraih kebaikan (kemashlahatan) yang lebih besar, seperti darurat politik untuk menyatukan suku-suku yang berperang, membebaskan dari perbudakan di dunia, meletakkan pondasi syariat status anak angkat, pelestarian hadits, menyelamatkan kehidupan sosial yang lebih besar terutama masa depan anak-anak yatim yang tidak mempunyai ayah, mengangkat harkat dan martabat para janda dan perlindungan kepada wanita yang lemah. 

Fakta tersebut menyadarkan kita bahwa monogami dan poligami bukanlah suatu konsep sosial yang harus dipertentangkan. Keduanya adalah konsep sosial yang diperlukan dalam kehidupan manusia dan saling melengkapi. Fakta tersebut menyadarkan kita bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW bukan semata-mata memenuhi hawa nafsunya. Namun juga bukan berarti tidak ada hawa nafsu. Artinya poligami karena memenuhi kebutuhan seks secara syah dalam ikatan pernikahan diperbolehkan secara syariat. Nabi Muhammad SAW tetaplah juga manusia dengan sifat-sifat manusiawinya. Mengatakan bahwa semua istri Nabi Muhammad SAW adalah janda-janda dan nenek-nenek tua tidaklah benar. Ada istri Nabi Muhammad SAW  yakni Siti Aisyah dan Maria Al Qibtiyah berstatus gadis. Yang janda-jandapun kebanyakan usianya dibawah Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu usia Nabi Muhammad SAW sudah diatas 54 tahun. Hanya ada satu janda yang bisa disebut nenek yang usianya sekitar 55 tahun saat dinikahi Nabi Muhammad SAW yaitu Saudah binti Zama'ah. Dan di masa setelah Nabi Muhammad SAW meninggal, Siti Aisyah banyak berkontribusi besar pada pelestarian hadits. Pernikahannya dengan Maria Al Qibtiyah menjadi tinta emas sejarah tentang semangat Islam menghapuskan perbudakan di tengah-tengah masyarakat yang arogan, eksploitatif, merendahkan derajat wanita dan melegitimasi perbudakan.

Mindset yang Benar

1. Pernikahan baik itu monogami maupun poligami adalah hubungan pernikahan yang syah dan bertanggungjawab sesuai kapasitasnya masing-masing untuk saling berbagi kebahagiaan, saling berbagi keberlimpahan dan cinta, saling melengkapi dan saling menyempurnakan dalam suatu sistem sosial yang diatur dalam Islam dengan batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu. 

Wanita jangan berlebihan dengan kata-kata negatif bahkan antipati terhadap poligami. Hati-hati bila kata-kata negatif itu jadi bumerang. Siapapun kita bisa diuji. Bagaimana kalau kita sebagai istri "kena" atau benar-benar diuji karena satu atau lain hal tidak ada pilihan lain harus menjalani kehidupan poligami? Berapa banyak dari para istri yang terlalu posesif memiliki suami justru akhirnya lepas bercerai? Yang jadi korban seringkali anak-anak, hanya demi memperturutkan ego orangtuanya yang tidak bisa dikendalikan. Sebaliknya pria juga jangan berlebihan dengan menganggap wanita yang masih belum siap suaminya poligami, sebagai wanita tidak sholihahAdalah manusiawi jika sebagian besar hati manusia baik pria maupun wanita tidak rela dirinya diduakanKarena dalam diri manusia ada egoKonsep yang benar dalam pernikahan baik itu monogami atau poligami itu bukan membagi cinta. Cinta sesungguhnya tidak bisa dibagi. Konsep yang benar adalah cinta yang bertambah. Analogi sederhana seperti kita mencintai seluruh anak-anak kita full 100% baik cinta kita bagi ke anak pertama, anak kedua, anak ketiga dan anak seterusnya. Sama seperti halnya bila kita poligami cinta kita ke istri pertama full 100%, cinta kita ke istri kedua full 100%, cinta kita ke istri ketiga full 100% dan seterusnya. Lebih luas lagi cinta kita kepada seluruh semesta, semuanya mendapatkan full 100%. Dalam dimensi cinta tidak ada keterpisahan.

Bila kita cermati lebih dalam sebagian besar wanita justru bukan menolak syariat poligami, tapi justru lebih meragukan niat, kejujuran, akhlak/syakhsiyah dan kapasitas suami. Kebanyakan istri meragukan kemampuan dan kepantasan suami untuk memberikan nafkah yang layak, serta menerapkan kepemimpinan (leadership) yang adil serta membawa kebahagiaan bagi istri-istrinya dan keluarganya. Akhlak/syakhsiyah yang buruk, kondisi finansial yang kurang untuk memberikan nafkah serta kemampuan kepemimpinan (leadership) dari seorang pria yang rendah inilah yang seringkali gagal meyakinkan para istri/wanita bahwa poligami yang dilakukan akan adil, bijaksana, bertanggungjawab dan membawa kebahagiaan. 

Yang perlu kita sadari adalah pernikahan bukanlah pancaran dari kekurangan akut (scarcity). Pernikahan bukanlah mengharap, meminta dan menuntut pasangan kita harus begini, harus begitu (needy). Pernikahan bukan tempat penghakiman atau ruang jaksa yang berisi tuntutan kepada pasangan harus begini harus begitu. Pernikahan sejatinya bukan cari pasangan yang melengkapi diri kita. Yang melengkapi diri kita adalah tugas kita sendiri bukan tugas orang lain. Hubungan yang kuat dan bahagia dalam pernikahan memerlukan orang-orang yang kuat dan bahagia. Hubungan yang berkelimpahan dan penuh cinta dalam pernikahan memerlukan orang-orang yang berkelimpahan dan penuh cinta. Dan itu tanggungjawab kita sendiri untuk jadi kuat dan bahagia. Tanggungjawab kita sendiri untuk hidup berkelimpahan dan penuh cinta. Sama sekali bukan tanggungjawab orang lain atau pasangan kita. Diri kita sendiri yang harus membangun beliefs dan values, membangun mindset dan behaviour, membangun habits, membangun nasib diri sendiri. Itulah kepemimpinan diri. Bila kita tidak bisa memimpin diri sendiri bagaimana kita bisa memimpin kebahagiaan istri-istri, anak-anak dan keluarga kita?

Pernikahan sejatinya adalah saling menerima , saling menghormati/menghargai, saling care, saling melengkapi, saling melindungi, saling menyempurnakan. Al Quran mengilustrasikan bahwa istrimu adalah pakaian bagimu dan sebaliknya suamimu adalah pakaian bagimu. (QS 2 : 187). Fungsi dasar pakaian adalah melindungi diri kita, menjaga kehormatan kita, menyempurnakan kita. Hakikatnya pernikahan adalah banyak memberi, memberi dan memberi. Rahasianya adalah ketika kita memiliki kesadaran keberlimpahan (abundance) seperti ini maka yang terjadi adalah kita banyak menerima, menerima dan menerima. Karena sejatinya ketika kita memberi yang menerima pertama kali adalah diri kita sendiri sebelum mengalirkannya pada orang lain. Kita sudah damai dengan pikiran kita maka kita memberikan kedamaian bagi pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin damai. Kita sudah fulfilment dengan cinta maka kita berbagi cinta bagi pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin fulfilment dengan cinta. Secara fisik dan energi kita sudah sehat dan kuat maka kita mensejahterakan pasangan kita, anak-anak kita, keluarga kita. Kitapun semakin sehat, kuat dan sejahtera. Inilah kebahagiaan sejati dalam pernikahan. Efeknya adalah merasa cukup, kesetiaan, ketenangan hidup dan kebahagiaan lahir dan batin. Cinta tidak datang kepada mereka yang mencarinya, tetapi kepada mereka yang memberikan cinta.

2. Kita bisa memilih mau menjalani kehidupan pernikahan monogami atau poligami sesuai dengan kapasitas dan keseimbangan hidup kita.

Jodoh adalah pasangan hidup. Pasangan hidup bisa terjadi dalam semua aspek kehidupan, baik itu di alam mikrokosmos maupun makrokosmos. Hampir semua hal di alam semesta ini berpasang-pasangan. Yang perlu kita pahami bahwa jodoh atau pasangan hidup itu tidak harus pasangan satu lawan satu. Seperti halnya molekul air, jodohnya 1 Oksigen (O) adalah 2 Hidrogen (H2), karena itu molekul air disebut H2O. Kadangkala jodoh kita seorang janda atau duda yang sudah memiliki putra/putri yang diamanatkan kepadanya. Atau kadangkala jodoh kita seorang suami yang sudah beristri dan punya anak. Ada beberapa motif seorang suami melakukan pernikahan poligami seperti istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat memberikan keturunan, mengembangkan keturunan yang soleh/soleha, menjaga masa depan anak-anak, menjaga dari fitnah dan kerusakan moral, perlindungan kepada wanita yang lemah, mengangkat harkat dan martabat wanita, mengoptimalkan kebaikan dan kebahagiaan lebih besar. Itupun dengan syarat dan batasan ketat suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka secara adil. Adil di sini adalah adil dalam arti lahiriah seperti nafkah, waktu dan kepemimpinan (leadership) dari sang suami. Karena bila dituntut untuk adil secara batiniah, manusia tidak akan mampu berlaku adil. Nabi Muhammad SAW sekalipun, secara batiniah yang paling dicintai adalah Siti Khadijah, istri pertamanya bahkan setelah Siti Khadijah meninggal sekian lamanya. Dari semua motif-motif poligami tersebut mengandung makna bahwa poligami itu bukan pernikahan main-main. 

Poligami yang dijalani dengan benar berdasarkan syariat Islam dan hukum negara adalah salah satu bentuk pernikahan suci, tidak bisa hanya coba-coba. Dibalik poligami walaupun secara kasat mata tampak ada kenikmatan yang lebih besar namun yang perlu kita sadari ada tanggung jawab yang lebih besar. Nikmatnya memang lebih besar bila dijalani dengan bahagia, tapi beban tanggungjawabnya juga lebih besar. Manusia punya kapasitas dan keseimbangan hidupnya masing-masing yang tidak bisa disamakan. Orang yang kapasitas dan keseimbangan hidupnya memang cukup menjalani kehidupan pernikahan monogami tidak pantas menginginkan atau dituntut untuk menjalani kehidupan pernikahan poligami. Keinginan yang tidak sesuai kapasitas dan keseimbangan hidup inilah yang jadi sumber kehancuran dan penderitaan. Sebaliknya orang yang kapasitas dan keseimbangan hidupnya memang mampu menjalani kehidupan pernikahan poligami tidak boleh memamerkan atau menuntut orang untuk mengikuti jalan kehidupan pernikahan yang sama. Yang sering terjadi, poligami sebagai solusi sosial sebagaimana disebutkan di atas, lebih cenderung dijadikan alat untuk pamer dan membangga-banggakan diri sebagai pria hebat. Setiap orang punya jalan kehidupannya masing-masing sesuai kapasitas dirinya dan keseimbangan hidup terbaiknya.

3. Jangan mencintai dunia secara berlebihan/melekat, termasuk mencintai pasangan kita karena pasangan kita tetaplah manusia dengan banyak keterbatasan dan kelemahan yang tidak bisa selalu bisa kita andalkan serta bisa kapan saja mengecewakan.

Memang betul pada dasarnya manusia baik pria maupun wanita ingin dihormati, dimengerti dan dicintai. Pada dasarnya wanita seperti halnya pria, sama-sama makhluk yang layak untuk dimuliakan. Namun bukan berarti dicintai secara berlebihan hingga terjadi kemelekatan. Konsep kebahagiaan dalam Islam bukan menyandarkan kepada dunia ilusi yang banyak keterbatasan dan kelemahan yang tidak bisa selalu bisa kita andalkan serta bisa kapan saja mengecewakan. Kebahagiaan tertinggi justru ketika kondisi jiwa kita bisa terbebas dari kemelekatan terhadap ego duniawi. 

Bila masih ada kemelekatan diri dengan kesenangan berbasis ego maka kecenderungan menggali kesenangan lebih dalam lagi akan terus terjadi tidak ada habisnya. Bila masih ada kemelekatan terhadap ego duniawi, istri lebih dari 4 (empat) sekalipun tidak akan pernah puas dan bahagia. Kalau dari diri sendiri tidak bahagia, mau menjalani pernikahan monogami atau poligamipun juga tidak akan bahagia. Akibatnya pernikahan baik itu monogami maupun poligami menjadi rapuh dan rumit serta tidak jarang berujung pada hancurnya pernikahan dan luka dalam keluarga. Yang menyedihkan adalah anak-anak yang seringkali jadi korban dari hancurnya pernikahan orangtuanya. Kebahagiaan sepenuhnya dari dalam diri tanggungjawab kita sepenuhnya apapun kondisinya. Bahagia di sini, sekarang juga. Bukan nanti atau esok. Bukan nanti kalau sudah menikah, baik itu monogami atau poligami. Bukan kalau istri sudah begini atau suami sudah begitu. Sepenuhnya kebahagiaan tergantung pada diri kita sendiri, tergantung kesadaran diri kita. Jangan pernah menggantungkan/menyandarkan/melekatkan/mensyaratkan kebahagiaan kita pada sesuatu di luar diri kita yang ilusi, fiksi dan terbatas. Kalau kita selalu mensyaratkan kebahagiaan kita, "aku bahagia kalau istri begini...aku bahagia kalau suami begitu...aku bahagia kalau mencapai ini itu". Maka kita akan sulit untuk bahagia. Kebahagiaan bukan sesuatu yang dikejar, kebahagiaan adalah side effect karena kita hadir penuh dalam kesadaran here and now.

4. Dalam suku, bangsa atau status sosial apapun tidak ada jaminan bahwa pernikahan kita akan selalu monogami atau langgeng bahagia selamanya. Mindset bahwa pernikahan itu adalah ego memiliki perlu kita kaji ulang

Faktanya tidak ada pernikahan baik itu monogami maupun poligami yang selalu bahagia. Keinginan untuk selalu bahagia sepanjang pernikahan adalah tidak realistis, melawan hukum alam. Dukacita, sedih, pertemuan dan perpisahan dalam mengarungi biduk pernikahan adalah nature / fitrah nya kehidupan. Bukankah tidak ada bahagia bila tidak ada dukacita, sedih, susah? Seperti halnya tidak ada panjang bila tidak ada pendek, tidak ada besar bila tidak ada kecil, tidak ada kuat bila tidak ada lemah. Jangan takut menghadapi segala kenyataan kehidupan pernikahan apapun itu bentuknya. Kita harus siap dengan segala resikonya untuk segala kemungkinan baik dan buruk karena begitulah hidup. Dalam penelitian Brett Q Ford, orang yang mengejar kebahagiaan (termasuk mengejar kebahagiaan dalam pernikahan) justru paradoks mengalami sabaliknya yaitu ketidakbahagiaan. Mindset yang betul adalah kebahagiaan pernikahan baik itu monogami maupun poligami bukan dicari, kebahagiaan pernikahan adalah side effect karena kita hadir seutuhnya dalam kesadaran dan menjalani moment demi moment kehidupan pernikahan sebagai perayaan hidup.

Pernikahan sejatinya bukanlah ego memiliki (attachment/kemelekatan). You love them ... or are attached to them? Puncak tertinggi dari cinta adalah unconditional love.  Pernikahan sejatinya adalah detachment/melepaskan kemelekatan, suatu kesadaran penyerahan, penerimaan dan penyatuan bersama pasangan yang kita cintai. Lebur dan murni dalam penyatuan hingga menjadi cinta itu sendiri. Tidak ada rasa lain selain cinta. Suami full memberikan pengabdian, cinta, kelimpahan dan kebahagiaan kepada istri tanpa syarat apapun kondisinya. Sebaliknya istri memberikan pengabdian, penghormatan, pelayanan dan kebahagiaan kepada suaminya dengan baik tanpa syarat apapun kondisinya. 

Yang menarik adalah mengapa Nabi Muhammad SAW lebih berkecenderungan monogami (25 tahun) daripada poligami (8 tahun) selama hidup beliau ? Artinya 75% kehidupan Nabi Muhammad SAW dijalani dengan monogami, hanya 25% yang dijalani dengan poligami

Bahkan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itupun setelah meninggalnya istri pertama Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Khadijah. Bahkan ada jeda waktunya kurang lebih 4 tahun kemudian baru Beliau menikah kembali.  Yang juga perlu disadari bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW lebih banyak karena perintah wahyu untuk menghindari keburukan (kemudharatan) atau meraih kebaikan (kemashlahatan) yang lebih besar, seperti darurat politik untuk menyatukan suku-suku yang berperang, membebaskan dari perbudakan di dunia, meletakkan pondasi syariat status anak angkat, pelestarian hadits, menyelamatkan kehidupan sosial yang lebih besar terutama masa depan anak-anak yatim yang tidak mempunyai ayah, mengangkat harkat dan martabat para janda dan perlindungan kepada wanita yang lemah.

Kecenderungan Nabi Muhammad SAW tersebut secara tersirat (mutasyabihat) memberi tanda atas tafsir QS 4 : 3, 129 bahwa spirit ayat tentang poligami tersebut membatasi jumlah istri dari sebelumnya yang memiliki istrinya puluhan sampai ratusan, untuk menjamin untuk terjaminnya kedamaian pikiran, energi murni, cinta kasih, kebutuhan biologis, kecukupan nafkah, penghormatan, pengabdian, cinta dan kebahagiaan serta keadilan dengan baik tidak hanya untuk suami atau istri namun juga anak-anak. Kembali kepada sejatinya tujuan pernikahan yaitu kebahagiaan suami, istri, anak-anak, orangtua, keluarga bahkan bisa lebih luas lagi. Bila poligami justru membuat perceraian, keluarga berantakan atau dengan kata lain keburukan (mudharat) lebih besar daripada kebaikan (maslahah), maka sebaiknya ditunda/dihindari. Artinya situasi, kondisi, kapasitas dan keseimbangan hidup orang mau berpoligami tersebut belum mencukupi/pantas. Kembali ke dasar. Untuk apa kita hidup? Untuk apa kita menikah? 

Dikisahkan karena suatu situasi dan kondisi tertentu Nabi Muhammad SAW melarang Sayyidina Ali bin Abi Thalib menikah lagi (poligami) saat masih menjadi suami Siti Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW. Saat itu  Sayyidina Ali bin Abi Thalib berencana menikahi Juwairiyah putri Abu Jahal. Karena situasi dan kondisi tertentu, kapasitas dan keseimbangan hidup saat itu baik Sayyidina Ali bin Abi Thalib maupun Siti Fatimah belum layak/siap untuk menjalani pernikahan poligami. Pada saat itu keburukan (mafsadah) nya lebih besar daripada kebaikan (maslahah) nya. Sejarah ini memberi kita pelajaran bahwa pernikahan poligami perlu dipersiapkan dengan matang sehingga kapasitas dan keseimbangan hidup memang layak/pantas. Pasca meninggalnya Siti Fatimah, Sayyidina Ali bin Abi Thalib menjalani pernikahan poligami. Dipersilahkan menjalani pernikahan poligami bila kapasitas diri dan keseimbangan hidup kita memang mampu/pantas serta situasi dan kondisi memang layak untuk itu. Tidak hanya keseimbangan hidup dalam konteks individual namun juga dalam konteks sosial masyarakat. Islam menyediakan jalan keluarnya untuk itu. Ingat pernikahan adalah wadah suami istri untuk bersama-sama memancarkan kelimpahan dan cinta bersama. Ukuran kesempurnaan pernikahan bukanlah monogami atau poligami. Ukuran kesempurnaan pernikahan adalah ketika suami istri bisa saling menyadari, saling merelakan (ridha) dan saling menerima dalam proses merayakan hidup moment demi moment.

Kecenderungan Nabi Muhammad SAW monogami (25 tahun) dibanding poligami (8 tahun) tersebut juga memberi kita pelajaran pada kita bahwa Nabi Muhammad SAW banyak menempa diri, mengoptimalkan segala potensi dan memfokuskan hidupnya untuk membangun peradaban. Energi seksnya tidak dihambur-hamburkan/dibocorkan tanpa tujuan bermakna namun energi seks yang sangat besar tersebut ditransmutasikan (sexual energy transmutation) menjadi energi untuk membangun umat, membangun sumber daya manusia, membangun peradaban. Karena itu Nabi Muhammad SAW seumur hidupnya jarang sakit. Nabi Muhammad SAW bukan lelaki hidung belang yang banyak berpikir tentang perempuan serta perhatian, energi dan waktunya habis bermain perempuan. Selama menikah dengan Siti Khadijah, Nabi Muhammad SAW tidak pernah berpikir poligami dan terjebak pada halusinasi tentang hedonisme punya banyak istri. Namun Beliau juga tidak memaksakan diri untuk tidak menikah atau monogami. Semua terjadi secara natural. Bahkan bila wahyu memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menjalani hidup selibat tanpa pernikahan sekalipun Beliau sangat mampu. Namun Nabi Muhammad SAW adalah musyari' dimana kehidupannya bukan kehidupan tingkat tinggi yang tidak bisa dijangkau/diteladani oleh orang awam kebanyakan. Semua kehidupan Beliau mengalir secara secara natural dan bisa dijadikan teladan bagi banyak orang bahkan orang awam sekalipun. 

Kita tidak tahu masa depan kita seperti apa. Fakus saja mengingkatkan kapasitas diri, jadilah pria dan wanita yang setia dan bertanggungjawab, membangun kepemimpinan diri, memberikan yang terbaik untuk semesta. Maka semesta akan memberikan yang terbaik bagi kita. Saat situasi dan kondisi tertentu pria yang memang pantas (relevance) menjalani pernikahan poligami maka alam semesta akan mendukung untuk poligami dan pria yang pantasnya (relevance) menjalani pernikahan monogami maka alam semesta akan mendukung untuk monogami. Hidup ini jadi ruwet dan berantakan ketika kita menginginkan apa yang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Analogi sederhana seperti kita mengendarai mobil namun belum punya kapasitas untuk bisa mengendarai mobil atau kapasitas baru bisa mengendarai motor. Lalu kita menabrakkan mobil tersebut sehingga hancur berantakan. Logical fallacy, bila kita menyalahkan mobil karena kesalahan bukan di mobilnya tapi kapasitas kita yang masih belum mampu mengendarai mobil. Poligami hanyalah alat/kendaraan. Bukan syariat poligaminya yang salah, namun kapasitas orang yang menjalani syariat poligami tersebut yang masih belum mencukupi sehingga banyak syarat dan batasan syariat yang dilanggar yang mengakibatkan hancurnya pernikahan. Bila kapasitas kita baru bisa mengendarai pernikahan monogami, lalu mencoba menjalani pernikahan poligami, lalu pernikahan poligami hancur berantakan, maka kesalahan bukan di bentuk pernikahan poligaminya tapi kapasitas kita yang masih belum mampu menjalani pernikahan poligami.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa :

Pertama; Nabi Muhammad SAW adalah musyari', artinya semua yang dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah pengejahwantahan dasar-dasar dari syariat dari Al Quran yang "membumi" yang bisa ditauladani dan dilakukan oleh semua manusia biasa sesuai kapasitas dirinya dan keseimbangan hidupnya masing-masing

Monogami ada dasar syariatnya, poligami pun juga ada dasar syariatnya. Fakta monogami dan poligami Nabi Muhammad SAW tersebut menyadarkan kita bahwa poligami itu tidak bisa disamaratakan kepada semua pria dan wanita. Yang perlu dipahami bahwa keseimbangan hidup manusia tidaklah sama sesuai dengan kapasitas dirinya masing-masing serta kondisi yang ada di suatu waktu. Ada yang pada kondisi dan waktu tertentu keseimbangan dan kapasitas hidupnya dengan menjalani pernikahan poligami. Ada yang pada kondisi dan waktu tertentu keseimbangan dan kapasitas hidupnya cukup dengan menjalani pernikahan monogami. Tidak bisa disamaratakan bahwa semua pria harus poligami. Dan sebaliknya, tidak bisa dituntut bahwa semua pria harus monogami. Nabi Muhammad SAW menjalani kehidupan pernikahan dengan monogami bahagia dan bisa membahagiakan istrinya. Menjalani kehidupan pernikahan dengan poligami pun juga bahagia dan bisa membahagiakan istri-istrinya. Jadi kebahagiaan ada di dalam diri kita sendiri, bukan karean monogami atau poligaminya. Ini yang disebut unconditional happiness. Tetap bahagia apapun kondisinya tanpa syarat baik pernikahannya monogami maupun poligami. Kebahagiaan itu memancar dan menjadi keberkahan ke lingkungan sekitar (blessing). Kita yang memang benar-benar mau meneladani Nabi Muhammad SAW, bila kondisi dan waktu tertentu sehingga keseimbangan dan kapasitas hidup harus menjalani pernikahan monogami, maka sadari, relakan (ridha) dan terima kondisi itu. Dengan cara full memberikan penghormatan, pengertian, cinta, komunikasi yang baik, keberlimpahan, nafkah, pendidikan dan kebahagiaan kepada istri dan anak-anak. Sebaliknya kita yang memang benar-benar mau meneladani Nabi Muhammad SAW, bila kondisi dan waktu tertentu sehingga keseimbangan dan kapasitas hidup  harus menjalani pernikahan poligami, juga sadari, relakan (ridha) dan terima kondisi itu.  Dengan tetap memberikan secara full penghormatan, pengertian, cinta, komunikasi yang baik, keberlimpahan, nafkah, pendidikan dan kebahagiaan kepada istri-istri kita secara adil dan bijaksana.

Kedua;  Ada sesuatu yang jauh lebih indah dan membahagiakan dalam pernikahan. Sesuatu itu adalah kesadaran, ketulusan cinta dan terbebasnya diri dari identitas dan perilaku yang berbasis ego.

Konsep kebahagiaan dalam Islam bukanlah akumulasi dari kesenangan-kesenangan dari luar (hedonism) dengan sederet daftar keinginan yang harus terpenuhi, termasuk mengakumulasi kesenangan lewat banyak istri dengan justifikasi poligami. Ada sesuatu yang jauh lebih indah dan membahagiakan daripada akumulasi kesenangan-kesenangan yang cenderung tidak ada habisnya. Sesuatu itu adalah kesadaran, ketulusan cinta dan terbebasnya diri dari identitas dan perilaku yang berbasis ego. Sesuatu yang lebih indah dan membahagiakan itu adalah bebasnya diri dari ketakutan atas kekurangan dan kepedihan serta bebasnya diri dari keinginan atas kelimpahan dan kenikmatan dalam mengarungi kehidupan pernikahan dengan pasangan karena ketakutan dan keinginan itu sebenarnya adalah ego. Bersama-sama menyatu dengan pasangan dalam kesadaran dan ketulusan cinta. Tidak menggantungkan/menyandarkan kebahagiaan kepada sesuatu di luar diri termasuk menggantungkan/menyadarkan kebahagiaan kepada pasangan yang up and down. Namun mengalami kebahagiaan yang berbasis kesadaran dan ketulusan cinta dari dalam diri sejati. Pernikahan adalah wadah untuk saling berbagi, saling mengisi, saling melengkapi dan saling menguatkan dalam ketulusan cinta dan kelimpahan. 

Bila kita pelajari kisah-kisahnya Nabi Muhammad SAW dalam Siroh Nabawiyah, dalam pernikahannya Beliau dengan Siti Khadijah selama 25 tahun dengan monogami dan 8 tahun dengan poligami, adalah cerita hidup tentang kesadaran, ketulusan cinta dan terbebasnya diri dari identitas dan perilaku yang berbasis ego. Istri yang paling dicintai Nabi Muhammad SAW adalah istri pertamanya yakni Siti Khadijah. Cinta dan pengabdian sepasang suami istri ini sudah dibangun mulai dari nol. Siti Khadijah adalah wanita yang menemani hidup Nabi Muhammad SAW dalam suka dan duka terutama di masa-masa awal memperjuangkan Islam yang mana harus mempertaruhkan segalanya termasuk kedudukan, harta, bahkan nyawa. Dalam suatu hadits shahih yang diriwayatkan al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435, kecenderungan hati Nabi Muhammad SAW kepada Siti Khadijah sampai mengundang kecemburuan Siti Aisyah walaupun saat sudah menikah dengan Siti Aisyah, Siti Khadijah sudah meninggal beberapa tahun lamanya. Satu contoh kisah indah pengabdian Siti Khadijah kepada suaminya yang diabadikan dalam Al Quran adalah menyelimuti Nabi Muhammad SAW dengan penuh kasih sayang. Saat itu Nabi Muhammad SAW kedinginan menerima wahyu pertama lewat Malaikat Jibril (QS 73 : 1). Siti Khadijah tidak hanya memberikan kepada Nabi Muhammad SAW ketulusan cinta bahkan ego diri sudah tidak ada. Semuanya jiwa raga, harta benda, reputasi dan segala yang dimiliki Siti Khadijah diberikan kepada Nabi Muhammad SAW (QS 93 : 6-8).

Siti Khadijah sebagai istri tidak pernah mati di hati Nabi Muhammad SAW. Tapi di zaman sekarang banyak istri-istri dan suami-suami yang mati di hati suaminya atau istrinya. Ibarat lampu sudah tidak menyala lagi. Sehingga kehilangan kesadaran, ketulusan cinta dan menjalani kehidupan pernikahan berbasis ego. Dari sini paham ? Sebaliknya Nabi Muhammad SAW pun sebagai suami tidak pernah mati di hati Siti Khadijah, full memberikan penghormatan, pengabdian, ketulusan cinta dan keberlimpahan kepada Siti Khadijah. Sehingga tetap penuh gairah, keintiman dan komitmen. Efeknya adalah merasa fulfilment, hidup tenang dan kesetiaan satu sama lain. Adanya Siti Khadijah sudah cukup menyempurnakan Nabi Muhammad SAW. Dan sebaliknya adanya Nabi Muhammad SAW sudah cukup menyempurnakan Siti Khadijah. Pancaran kesadaran, ketulusan cinta dan terbebasnya diri dari identitas dan perilaku yang berbasis ego dari Nabi Muhammad SAW ini tidak hanya ketika Beliau menjalani 25 tahun pernikahan monogami namun juga ketika menjalani 8 tahun pernikahan poligami. 

Referensi :

Ibn Katsir, Ismail  (774 H) "Tafsir Alquran al-Adziim", Dar Alamiah (QS 4 : 3; QS 73 : 1; QS 96 : 1-5)

Romer, David (2011). Endogenous Growth. Advanced Macroeconomics (Fourth ed.). New York: McGraw-Hill

Scott, Shelby B., Galena K. Rhoades, Scott M. Stanley, Elizabeth S. Allen, and Howard J. Markman , Reasons for Divorce and Recollections of Premarital Intervention: Implications for Improving Relationship Education, Couple Family Psychol. 2013 Jun; 2(2): 131–145 

https://www.city-journal.org/

https://bjs.ojp.gov/data-collection/ncvs

https://www.euromonitor.com/article

https://www.cnbcindonesia.com/research

Al-‘Ak, Khalid Abdul al-Rahman, Ushul al-Tafsir wa Qawaiduhu,  Beirut: Dar al-Nakhais, 1986.  

Al-Mubarakfuri, Syaikh Shafiyyurrahman, "Ar Rahiq Al Makhtum" Darussalam, 1421 H/2001 M

Lings, Martin (Abu Bakr Siraj Al Din), Muhammad : His Life Based on the Earliest Sources, The Islamic Text Society, Cetakan IV, 1991

Al-Khushanī, Muṣʻab ibn Muḥammad Abū Dharr, Sharḥ al-Sīrah al-Nabawīyah (v.1 & v.2): Riwāyat Ibn Hishām, University of California Libraries (January 1, 1923) 

Evelyn Schneider-Mark, Pineal Gland - A 360 Analysis : Review on How to Desclae, Purify, Detoxify and Activated the Third Eye, Expertengruppe Verlag, 11 Juli 2020

Ford, B. Q. & Mauss, I. B. (2014). The paradoxical effects of pursuing positive emotion: When and why wanting to feel happy backfires. In J. Gruber and J. Moskowitz (Eds.) Positive Emotion: Integrating the Light Sides and Dark Sides (pp. 363-381). Oxford University Press

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun