2. Kita bisa memilih mau menjalani kehidupan pernikahan monogami atau poligami sesuai dengan kapasitas dan keseimbangan hidup kita.
Jodoh adalah pasangan hidup. Pasangan hidup bisa terjadi dalam semua aspek kehidupan, baik itu di alam mikrokosmos maupun makrokosmos. Hampir semua hal di alam semesta ini berpasang-pasangan. Yang perlu kita pahami bahwa jodoh atau pasangan hidup itu tidak harus pasangan satu lawan satu. Seperti halnya molekul air, jodohnya 1 Oksigen (O) adalah 2 Hidrogen (H2), karena itu molekul air disebut H2O. Kadangkala jodoh kita seorang janda atau duda yang sudah memiliki putra/putri yang diamanatkan kepadanya. Atau kadangkala jodoh kita seorang suami yang sudah beristri dan punya anak. Ada beberapa motif seorang suami melakukan pernikahan poligami seperti istri tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat memberikan keturunan, mengembangkan keturunan yang soleh/soleha, menjaga masa depan anak-anak, menjaga dari fitnah dan kerusakan moral, perlindungan kepada wanita yang lemah, mengangkat harkat dan martabat wanita, mengoptimalkan kebaikan dan kebahagiaan lebih besar. Itupun dengan syarat dan batasan ketat suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka secara adil. Adil di sini adalah adil dalam arti lahiriah seperti nafkah, waktu dan kepemimpinan (leadership) dari sang suami. Karena bila dituntut untuk adil secara batiniah, manusia tidak akan mampu berlaku adil. Nabi Muhammad SAW sekalipun, secara batiniah yang paling dicintai adalah Siti Khadijah, istri pertamanya bahkan setelah Siti Khadijah meninggal sekian lamanya. Dari semua motif-motif poligami tersebut mengandung makna bahwa poligami itu bukan pernikahan main-main.Â
Poligami yang dijalani dengan benar berdasarkan syariat Islam dan hukum negara adalah salah satu bentuk pernikahan suci, tidak bisa hanya coba-coba. Dibalik poligami walaupun secara kasat mata tampak ada kenikmatan yang lebih besar namun yang perlu kita sadari ada tanggung jawab yang lebih besar. Nikmatnya memang lebih besar bila dijalani dengan bahagia, tapi beban tanggungjawabnya juga lebih besar. Manusia punya kapasitas dan keseimbangan hidupnya masing-masing yang tidak bisa disamakan. Orang yang kapasitas dan keseimbangan hidupnya memang cukup menjalani kehidupan pernikahan monogami tidak pantas menginginkan atau dituntut untuk menjalani kehidupan pernikahan poligami. Keinginan yang tidak sesuai kapasitas dan keseimbangan hidup inilah yang jadi sumber kehancuran dan penderitaan. Sebaliknya orang yang kapasitas dan keseimbangan hidupnya memang mampu menjalani kehidupan pernikahan poligami tidak boleh memamerkan atau menuntut orang untuk mengikuti jalan kehidupan pernikahan yang sama. Yang sering terjadi, poligami sebagai solusi sosial sebagaimana disebutkan di atas, lebih cenderung dijadikan alat untuk pamer dan membangga-banggakan diri sebagai pria hebat. Setiap orang punya jalan kehidupannya masing-masing sesuai kapasitas dirinya dan keseimbangan hidup terbaiknya.
3. Jangan mencintai dunia secara berlebihan/melekat, termasuk mencintai pasangan kita karena pasangan kita tetaplah manusia dengan banyak keterbatasan dan kelemahan yang tidak bisa selalu bisa kita andalkan serta bisa kapan saja mengecewakan.
Memang betul pada dasarnya manusia baik pria maupun wanita ingin dihormati, dimengerti dan dicintai. Pada dasarnya wanita seperti halnya pria, sama-sama makhluk yang layak untuk dimuliakan. Namun bukan berarti dicintai secara berlebihan hingga terjadi kemelekatan. Konsep kebahagiaan dalam Islam bukan menyandarkan kepada dunia ilusi yang banyak keterbatasan dan kelemahan yang tidak bisa selalu bisa kita andalkan serta bisa kapan saja mengecewakan. Kebahagiaan tertinggi justru ketika kondisi jiwa kita bisa terbebas dari kemelekatan terhadap ego duniawi.Â
Bila masih ada kemelekatan diri dengan kesenangan berbasis ego maka kecenderungan menggali kesenangan lebih dalam lagi akan terus terjadi tidak ada habisnya. Bila masih ada kemelekatan terhadap ego duniawi, istri lebih dari 4 (empat) sekalipun tidak akan pernah puas dan bahagia. Kalau dari diri sendiri tidak bahagia, mau menjalani pernikahan monogami atau poligamipun juga tidak akan bahagia. Akibatnya pernikahan baik itu monogami maupun poligami menjadi rapuh dan rumit serta tidak jarang berujung pada hancurnya pernikahan dan luka dalam keluarga. Yang menyedihkan adalah anak-anak yang seringkali jadi korban dari hancurnya pernikahan orangtuanya. Kebahagiaan sepenuhnya dari dalam diri tanggungjawab kita sepenuhnya apapun kondisinya. Bahagia di sini, sekarang juga. Bukan nanti atau esok. Bukan nanti kalau sudah menikah, baik itu monogami atau poligami. Bukan kalau istri sudah begini atau suami sudah begitu. Sepenuhnya kebahagiaan tergantung pada diri kita sendiri, tergantung kesadaran diri kita. Jangan pernah menggantungkan/menyandarkan/melekatkan/mensyaratkan kebahagiaan kita pada sesuatu di luar diri kita yang ilusi, fiksi dan terbatas. Kalau kita selalu mensyaratkan kebahagiaan kita, "aku bahagia kalau istri begini...aku bahagia kalau suami begitu...aku bahagia kalau mencapai ini itu". Maka kita akan sulit untuk bahagia. Kebahagiaan bukan sesuatu yang dikejar, kebahagiaan adalah side effect karena kita hadir penuh dalam kesadaran here and now.
4. Dalam suku, bangsa atau status sosial apapun tidak ada jaminan bahwa pernikahan kita akan selalu monogami atau langgeng bahagia selamanya. Mindset bahwa pernikahan itu adalah ego memiliki perlu kita kaji ulang.Â
Faktanya tidak ada pernikahan baik itu monogami maupun poligami yang selalu bahagia. Keinginan untuk selalu bahagia sepanjang pernikahan adalah tidak realistis, melawan hukum alam. Dukacita, sedih, pertemuan dan perpisahan dalam mengarungi biduk pernikahan adalah nature / fitrah nya kehidupan. Bukankah tidak ada bahagia bila tidak ada dukacita, sedih, susah? Seperti halnya tidak ada panjang bila tidak ada pendek, tidak ada besar bila tidak ada kecil, tidak ada kuat bila tidak ada lemah. Jangan takut menghadapi segala kenyataan kehidupan pernikahan apapun itu bentuknya. Kita harus siap dengan segala resikonya untuk segala kemungkinan baik dan buruk karena begitulah hidup. Dalam penelitian Brett Q Ford, orang yang mengejar kebahagiaan (termasuk mengejar kebahagiaan dalam pernikahan) justru paradoks mengalami sabaliknya yaitu ketidakbahagiaan. Mindset yang betul adalah kebahagiaan pernikahan baik itu monogami maupun poligami bukan dicari, kebahagiaan pernikahan adalah side effect karena kita hadir seutuhnya dalam kesadaran dan menjalani moment demi moment kehidupan pernikahan sebagai perayaan hidup.
Pernikahan sejatinya bukanlah ego memiliki (attachment/kemelekatan). You love them ... or are attached to them? Puncak tertinggi dari cinta adalah unconditional love.  Pernikahan sejatinya adalah detachment/melepaskan kemelekatan, suatu kesadaran penyerahan, penerimaan dan penyatuan bersama pasangan yang kita cintai. Lebur dan murni dalam penyatuan hingga menjadi cinta itu sendiri. Tidak ada rasa lain selain cinta. Suami full memberikan pengabdian, cinta, kelimpahan dan kebahagiaan kepada istri tanpa syarat apapun kondisinya. Sebaliknya istri memberikan pengabdian, penghormatan, pelayanan dan kebahagiaan kepada suaminya dengan baik tanpa syarat apapun kondisinya.Â
Yang menarik adalah mengapa Nabi Muhammad SAW lebih berkecenderungan monogami (25 tahun) daripada poligami (8 tahun) selama hidup beliau ? Artinya 75% kehidupan Nabi Muhammad SAW dijalani dengan monogami, hanya 25% yang dijalani dengan poligami
Bahkan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW itupun setelah meninggalnya istri pertama Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Khadijah. Bahkan ada jeda waktunya kurang lebih 4 tahun kemudian baru Beliau menikah kembali. Â Yang juga perlu disadari bahwa poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW lebih banyak karena perintah wahyu untuk menghindari keburukan (kemudharatan) atau meraih kebaikan (kemashlahatan) yang lebih besar, seperti darurat politik untuk menyatukan suku-suku yang berperang, membebaskan dari perbudakan di dunia, meletakkan pondasi syariat status anak angkat, pelestarian hadits, menyelamatkan kehidupan sosial yang lebih besar terutama masa depan anak-anak yatim yang tidak mempunyai ayah, mengangkat harkat dan martabat para janda dan perlindungan kepada wanita yang lemah.