Padahal dalam agama yang kuyakini, dikitab suci disebutkan, "Dan bergaulah dengan para istri secara patut...maka jika kamu tidak menyukainya, bersabarlah, bisa jadi dengan itu, Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."
Kebaikan yang dimaksud bukan secara instan didapat, tapi harus melalui proses, bahkan proses yang panjang, dan proses ini bisa berjalan baik apabila dibarengi dengan kesabaran, maksudnya kedua suami istri harus bijak menerima keadaan tersebut.
Karena manusia itu mempunyai batas ambang toleransi, maka akhiranya terjadilah apa yang harus terjadi...
Aku kabur dari suami, dengan tidak membawa apapun, kecuali beberapa helai baju dan uang pas-pasan. Aku sadar hal ini menyalahi aturan, baik aturan Agama maupun norma budaya yang ada.
Tapi keputusanku sudah bulat, aku harus keluar dari cengkramannya. Dari tindakan yang tidak pantas, perlakuan yang kuterima sudah diluar batas kemampuan untuk terus bersabar.
Bukan hanya kata-kata kasar yang kuterima, tapi kekerasan fisikpun kerap kudapat.
Tapi semua kututupi dengan tameng kesabaran, karena aku berharap nanti pasti ada perubahan pada sikap suamiku itu.
Waktu itu, begitulah cara berfikirku.
Ternyata diksi itu keliru besar.
***
Di kota Jakarta aku mulai mencari impianku, sebagai seorang perempuan yang bebas, bebas menentukan pilihan hidup, bebas menentukan pekerjaan.
Setahuku pula, 'Perempuan' itu bukanlah pilihan kata sembarangan, maksudnya, per-empu-an diambil dari kata Empu, yang dalam kamus kbbi artinya, bisa memuliakan, bisa juga menghormati.