Seminggu kemudian, aku menerima surat lagi dari Karmila, yang dititipkan melalui Benyamin sahabatku.
Temanku Bram...
Aku sudah mencoba saranmu Bram, menanti dan bersabar, setiap hari aku selalu berharap pak pos berhenti didepan rumahku untuk mengantarkan surat.
Tapi sampai hari ini, nggak ada suara motor pak pos yang biasa lewat didepan rumaku, kamu bisa merasakan Bram, bagaimana bosannya menunggu.
Bram, bisakah kamu memahamiku...
Ada rasa takut dan putus asa, yang mulai menghinggapi perasaanku...
Setiap malam dikamar, aku menangis dan membenci diriku sendiri.
Aku merasa sudah nggak ada harga diri lagi...
Aku nggak kuat menanggung malu...
Aku berdosa terhadap kedua orang tuaku, karena telah mengabaikan nasehat-nasehat beliau...
Bram...ketahuilah Bram...
Firman telah meninggalkan titik merah pada diriku...
Iya Bram, aku hamil...
Sampai disini aku berhenti membaca surat Karmila, aku terkejut, aku merasa tertekan dan sedih, aku juga marah!
Aku langsung teringat, apa yang dulu pernah kubaca, cerita silat dari Kho Ping Hoo, tentang si Kumbang Merah, dengan julukan 'Jay Hwa Cat', alias Penjahat Pemetik Bunga.
Kalau pengakuan Karmila ini benar adanya, maka Firman memerankan si Kumbang Merah dengan sangat "Sempurna."
...Maaf Bram, dengan berat hati kuceritakan hal ini, karena aku sudah kehilangan pijakan untuk berjalan dibumi ini Bram.Â
Bram mengertilah...
Tidak ada lagi tempatku mengadu...
Yang sangat bersedih, temanmu Mila...
***
Seharian aku mengurung diri dikamar, darahku bergejolak, badan ini terasa panas, ini kuanggap sebagai tragedi yang menimpa Karmila.
Iya, Karmila yang dulu pertama kukenal di depan gerbang sekolah!
Seperti Puteri Khayangan yang turun ke Bumi. Gadis yang dulu pernah merasuk jiwaku.
Sekarang aku bukan hanya empati lagi terhadap masalah yang ditanggungnya.
Dalam hal ini, aku sudah sampai ketitik iba terhadap Karmila. Maka, aku harus mengambil keputusan...
***
Paginya aku kerumah Tigor, malam nanti aku ingin mengajak ngobrol serius di warung nasi goreng dekat rumahku.
Tapi sebelumnya, aku minta Tigor kerumah Benyamin untuk menyampaikan ajakan ini juga.
Mereka berdua kuharap bisa urun rembuk terhadap masalah ini.
***
Saat diwarung, aku memilih meja yang paling sudut, biar ngobrolnya lebih privasi.
Sambil menunggu pesanan nasi goreng, Tigor dan Ben's mendengarkan ceritaku dengan tenang dan prihatin.
Dari awal, tentang perhatianku terhadap  Karmila, saat pertama bertemu di depan gerbang sekolah, sampai isi surat terakhir yang kuterima dari Karmila.
Semua kubuka kepada sahabatku ini.
Karena aku berharap, agar cerita ini untuk bahan pertimbangan mereka berdua, walaupun sebenarnya, aku sudah punya keputusan sendiri terhadap Karmila.
Mendengar penuturanku, Tigor dan Ben's terdiam. Aku dapat merasakan mereka berdua sangat empati berat.
Ya, empati yang dalam terhadap musibah yang menimpa Karmila.
Tigor dan Benyamin sepertinya memahami, kemana arah pembicaraan-ku.
Aku-pun terdiam...
Dihadapanku, nasi goreng dan jeruk hangat yang kupesan, belum kusentuh samasekali.
Selera makanku hilang.
Seperti hilangnya Firman dari gelanggang...
Setelah menghabiskan nasi gorengnya, Tigor menanggapi dengan serius, "Sekarang aku tanya kau dulu, apakah perasaan kau dengan Mila, bisa kau tata kembali seperti dulu Bram?".
Aku terdiam...aku belum bisa menjawab pertanyaan Tigor...
Menata buku-buku yang berantakan untuk disusun kembali ke rak buku yang besar bukan hal mudah.
Apalagi buku tersebut belum ter-Kodifikasi samasekali, harus perlu bantuan seorang ahli Arsiparis. Agar buku-buku yang berhamburan diatas lantai, bisa ditata dan dirapikan kembali.
Lebih-lebih menata hati yang sudah pernah luka, perlu waktu dan obat penyembuh yang pas sebagai penyemangat jiwa ini.
Semoga Benyamin dan Tigor bisa mengerti...
Bersambung...
Penulis, Mohammad Topani S
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H