Persoalan lain yang timbul sebagai akibat dari perbedaan di atas, ketika peserta didik lulusan SMP dan MTs melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Satuan pendidikan tempat peserta didik menerima kedua lulusan tersebut dihadapkan pada suatu fakta kesenjangan penguasaan CP awal yang berasal dari SMP dan MTs. Lulusan SMP baru saja menuntaskan Fase D, sementara lulusan MTs sudah menapaki separuh CP Fase E. Perbedaan penguasaan capaian pembelajaran dalam satu fase tentu sangat berbeda penanganannya dalam pembelajaran dengan perbedaan penguasaan capaian pembelajaran antar fase. Perbedaan penguasaan CP antar fase sulit ditangani dengan pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi sekalipun. Salah satu solusi yang mungkin dilakukan sebelum pembelajaran dimulai dengan cara pelaksanaan asesmen yang akurat untuk menentukan level penguasaan peserta didik terhadap capaian pembelajaran pada jenjang pendidikan sebelumnya. Asesmen ini memungkinkan pendidik mengetahui sampai mana tahap perkembangan dan capaian belajar peserta didik. Selanjutnya pendidik dalam pelaksanaan pembelajaran diharuskan menerapkan konsep TaRL (teaching at the right level). Konsep pendekatan pembelajaran yang tidak mengacu pada tingkat kelas, melainkan mengacu pada tingkat kemampuan peserta didik.
Perbedaan peruntukan Fase capaian pembelajaran dalam kedua keputusan menteri yang berbeda tentu menuai beberapa pertanyaan. Apakah tidak ada koordinasi antar kementerian yang sama-sama menangani pendidikan ketika mendalami suatu kajian akademik yang akan dijadikan kebijakan? Apakah Kementerian Agama sebagai salah satu kementerian yang juga menangani pendidikan tidak dilibatkan dalam hal kebijakan pendidikan yang akan akan diberlakukan secara nasional? Apakah Kementerian Agama tidak mengkaji dan atau tidak menjadikan referensi berbagai regulasi yang diterbitkan Kemendikbudristek sebagai leading sektor pendidikan sebelum menerbitkan kebijakan pendidikan di wilayah binaannya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini wajar muncul di benak publik yang hidup dalam suasana dan iklim yang demokratis.
Persoalan lain yaitu terbitnya Kepdirjen Pendis Nomor 3211 Tahun 2022 tentang Capaian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab Kurikulum Merdeka pada Madrasah. Kepdirjen Pendis tersebut peruntukan Capaian Pembelajarannya tidak merujuk pada KMA Nomor 347 Tahun 2022 tapi justru merujuk pada Kepmendikbudristek Nomo56/M/2022. Ketidak-harmonisan, ketidak-selarasan dan ketidak-satunafasan antara Kepdirjen Pendis di atas dengan regulasi di atasnya yaitu KMA Nomor 347 Tahun 2022 merupakan sesuatu yang harus diatasi sesegera mungkin. Disamping menghindari ambiguitas pengelola madrasah, ketidaksinkronan regulasi secara hierarkis (berjenjang) dalam satu instansi merupakan “kecelakaan” yang sepatutnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa kenyataan di atas, pemangku kebijakan harus secepatnya meninjau kembali atau setidaknya memberikan “tambahan” penjelasan agar terjadi sinkronisasi, keselarasan, keharmonisan diantara beberapa regulasi yang ada. Substansi yang diinginkan sebenarnya agar pihak madrasah terhindar dari ambiguitas (ketidakjelasan) pemahaman terhadap peraturan yang dimaksud sehingga isi peraturan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Wallahu a’lam bish shawabi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H