Kita sudah merdeka, tentu saja. Renungan Jayabaya pun ternyata ada benarnya. Na'asnya, sisa-sisa agitasi penjajah, devide ed impera, ternyata masih lekat dengan kita.
"Jalan masih becek aje." Kate kong Salim, engkongnya si Dul.
"Tau, kapan rapinye nih jalan." Neneknya Dul menimpali.
"Entar, kalo udeh merdeka!" Jawab si engkong.
"Kapan merdekanye?" Si nenek masih nyerocos sembari ngunyah sirih.
"Entar, kalo Jawa udeh tinggal separoh, China ame Belanda tinggal sejodoh." Jawab engkongnya Dul seolah ngasal.
"Lha kalo Jawa tinggal separoh, China ame Belanda tinggal sejodoh, Betawi tinggal ape?" Si nenek makin bingung.
"Tau deh, tinggal si Dul, kali, ame si Banteng (kambing kesayangan si Engkong)." Jawab si engkong lebih ngasal lagi.
Sekelumit dialog di atas saya comot dari film Si Doel Anak Betawi, besutan Syumanjaya. Film itu diangkat dari novel dengan judul yang sama, yang ditulis oleh Aman Datuk Madjoindo.
Jawaban Kong Salim yang terdengar ngasal itu, sepertinya dikutip si penulis dari renungan Jayabaya.
Jawa tinggal separoh, maksudnya, orang-orangnya telah menjadi pemimpin atau pejabat, namun tega memakan keringat bangsa sendiri.
China dan Belanda tinggal sejodoh, maksudnya, mereka sama-sama menjajah. Yang satu menjajah secara ekonomi, satunya fisik.
Lantas, sudahkah kita merdeka hari ini?
Bukankah fakta-fakta dari renungan Jayabaya itu kini telah begitu gamblang kita saksikan?
Kita bisa kok mencari data terbaru mengenai berapa jumlah pejabat, baik di daerah maupun di pusat yang sudah terciduk KPK. Kita juga bisa kok menggali informasi terbaru tentang berapa banyak proyek yang dimodali China dengan beberapa syarat yang kudu dikabulkan pemerintah. Apa? Males? Sama. Hahaha.
Kita sudah merdeka, tentu saja. Renungan Jayabaya pun ternyata ada benarnya. Na'asnya, sisa-sisa agitasi penjajah, devide ed impera, ternyata masih lekat dengan kita. Tengoklah di media sosial! Bagaimana sahabat dan kerabat saling serang tersebab beda pilihan politik.
Dalam dua kali debat Capres, alih-alih saling adu ide dan gagasan-gagasan yang brilian demi kebaikan bangsa, kedua kubu malah sibuk membongkar borok lawan dan hal-hal yang tak terlalu substansial lainnya.
Pendukung kedua kubu lebih ngawur lagi, seperti yang ditulis olah Ahmad Khadafi dalam esainya di mojok.co tempo hari, mereka sibuk mengamati dan menghitung-hitung kesalahan diksi dan data lawan saat menyaksikan debat.
 Sebegitu besarnyakah pengaruh ajang idol-idolan di televisi bagi keseharian masyarakat? Sampai-sampai kedua pendukung dalam ajang sepenting Debat Capres, mereka telah berubah menjadi juri yang lebih menyebalkan dari Mas Anang.
Bahkan, ada kubu yang sampai menganggap perhelatan lima tahunan ini sebagai sebuah peperangan habis-habisan, meski bukan perang bersenjata, tapi suhu dan intensitasnya tak kalah tinggi.Â
Buset. Dikira enak kali perang. Apa enggak puas perang sama Belanda 350 tahun, sama Jepang tiga setengah tahun? Buahahaha.
Sudah begitu, anggapan itu ditimpali pula oleh lawannya dengan puisi berisi doa Rasulullah dalam Perang Badar. Ya, Rabb. Rasanya saya pengen berbisik lembut di telinga pelantun tembang Nada Kasih itu, "Bu Nen, itu kubu sebelah isinya juga ulama-ulama betulan. Ada saudara Ibu juga, mungkin. Sahabat Ibu juga, boleh jadi. Yang jelas, mereka bukan gerombolannya Abu Jahal. Etdah, Bu, Bu!"
Baru-baru ini saya membaca tulisan seorang Pakar Politik dari UGM, Dr Abdul Gaffar Karim, beliau menyarankan kita agar banyak-banyak beristighfar selama masa menunggu hari pencoblosan Pilpres yang tinggal hitungan hari lagi, apa sebab?
Pasalnya, menurut Pakar Politik itu, siapapun yang akan kita coblos nanti, bisa dipastikan, mereka disokong oleh dana dari lintah-lintah raksasa yang telah menyedot sumber daya alam kita habis-habisan. Dan kemenangan capres manapun, itu turut dimungkinkan oleh pemiskinan yang terjadi pada kita dan anak cucu kita.
Nah, khaan! Ribet enggak tuh? Yakin, mau bela mati-matian? Udah deh, berkompetisinya yang cakep. Yang elegan. Tunjukkan kalau kita bangsa yang dewasa. Keluarin semua kemampuan, kecerdasan, dan strategi yang ciamik. Sudah itu, serahkan semua hasil pada takdir yang Tuhan tetapkan, kepada siapa amanah kepemimpinan itu Tuhan berikan. Percaya, deh, menang dengan cara ksatria jauh lebih baik daripada kalah dengan cara yang gak ksatria. Tul, gak?
Terakhir, mari sama-sama kita resapi sebuah wisdom dari G Elliot yang saya temukan dalam buku Leiden karya Dea Tantyo,
"Keberanian adalah berjuang sepenuh tenaga untuk satu visi atau tujuan, bahkan meski akhirnya kalah. Tapi perhatikanlah kehidupan, bahwa ada banyak kemenangan yang lebih buruk dari kekalahan."
Gimana? Masih mau lanjut gelutnya? Apa? Masih?
Bukan maen, ente! Tambeng kok istiqomah banget!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H