Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kita Sudah Merdeka Memang, tapi Kita Kadung Suka Diadu Domba

28 Maret 2019   10:39 Diperbarui: 28 Maret 2019   20:36 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto : Robi Bernardi/detiknews.com

Jawa tinggal separoh, maksudnya, orang-orangnya telah menjadi pemimpin atau pejabat, namun tega memakan keringat bangsa sendiri.

China dan Belanda tinggal sejodoh, maksudnya, mereka sama-sama menjajah. Yang satu menjajah secara ekonomi, satunya fisik.

Lantas, sudahkah kita merdeka hari ini?
Bukankah fakta-fakta dari renungan Jayabaya itu kini telah begitu gamblang kita saksikan?

Kita bisa kok mencari data terbaru mengenai berapa jumlah pejabat, baik di daerah maupun di pusat yang sudah terciduk KPK. Kita juga bisa kok menggali informasi terbaru tentang berapa banyak proyek yang dimodali China dengan beberapa syarat yang kudu dikabulkan pemerintah. Apa? Males? Sama. Hahaha.

Kita sudah merdeka, tentu saja. Renungan Jayabaya pun ternyata ada benarnya. Na'asnya, sisa-sisa agitasi penjajah, devide ed impera, ternyata masih lekat dengan kita. Tengoklah di media sosial! Bagaimana sahabat dan kerabat saling serang tersebab beda pilihan politik.

Dalam dua kali debat Capres, alih-alih saling adu ide dan gagasan-gagasan yang brilian demi kebaikan bangsa, kedua kubu malah sibuk membongkar borok lawan dan hal-hal yang tak terlalu substansial lainnya.

Pendukung kedua kubu lebih ngawur lagi, seperti yang ditulis olah Ahmad Khadafi dalam esainya di mojok.co tempo hari, mereka sibuk mengamati dan menghitung-hitung kesalahan diksi dan data lawan saat menyaksikan debat.

 Sebegitu besarnyakah pengaruh ajang idol-idolan di televisi bagi keseharian masyarakat? Sampai-sampai kedua pendukung dalam ajang sepenting Debat Capres, mereka telah berubah menjadi juri yang lebih menyebalkan dari Mas Anang.

Bahkan, ada kubu yang sampai menganggap perhelatan lima tahunan ini sebagai sebuah peperangan habis-habisan, meski bukan perang bersenjata, tapi suhu dan intensitasnya tak kalah tinggi. 

Buset. Dikira enak kali perang. Apa enggak puas perang sama Belanda 350 tahun, sama Jepang tiga setengah tahun? Buahahaha.

Sudah begitu, anggapan itu ditimpali pula oleh lawannya dengan puisi berisi doa Rasulullah dalam Perang Badar. Ya, Rabb. Rasanya saya pengen berbisik lembut di telinga pelantun tembang Nada Kasih itu, "Bu Nen, itu kubu sebelah isinya juga ulama-ulama betulan. Ada saudara Ibu juga, mungkin. Sahabat Ibu juga, boleh jadi. Yang jelas, mereka bukan gerombolannya Abu Jahal. Etdah, Bu, Bu!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun