Semarak Merdeka Belajar: "Episode" Baru Pendidikan Indonesia?
"Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani." (Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia).
Hari ini, dunia bergerak begitu cepat dan dinamis. Tak terkecuali dengan dunia pendidikan. Jika beberapa abad yang lalu, ketinggalan zaman mungkin terjadi dalam waktu yang relatif lama, kini akibat dari arus globalisasi, ketinggalan zaman dapat dirasakan hanya dalam beberapa tahun, hitungan bulan, minggu dan seterusnya. Arah dan kebijakan-kebijakan pendidikan karenanya harus sesuai dengan semangat zaman.
Persoalan kemajuan dunia dan relevansinya terhadap dunia pendidikan ini pada dasarnya telah banyak ditulis oleh para ilmuwan. Analisis dari Yuval Noah Harari, misalnya, menjelaskan bahwa pada abad 21, umat manusia sedang mengalami revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Manusia dibanjiri oleh terlalu banyak informasi, dan pendidikan dijejali terlalu banyak materi. Di abad modern ini menurutnya, anak-anak yang bersekolah di negara-negara berkembang sebaiknya tidak terlalu menggantungkan dirinya kepada orang dewasa. Sebab sebagian besar dari orang dewasa mungkin baik, tetapi mereka tidak terlalu mengerti tentang dunia. Di masa lalu, bergantung kepada orang dewasa mungkin relatif benar, karena mereka mengenal dunia dengan cukup baik, dan dunia berubah perlahan. Tetapi di abad 21 ini berbeda. Perubahan berjalan begitu cepat sehingga anak-anak sekolah tidak bisa memastikan apakah yang dikatakan oleh orang dewasa adalah kebiksanaan abadi atau bias yang ketinggalan zaman.
Dalam kenyataan lain, arus besar globalisasi juga telah mengikis berbagai tembok pemisah yang selama ini membatasi aspek-aspek kehidupan. Sehingga efek perubahan tatanan sosial-ekonomi, digital-teknologi, politik-pembangunan dan berbagai poros kehidupan lain, meniscayakan keterlibatan aktif dunia pendidikan di dalamnya tak bisa dihindari. Akibatnya, pendidikan harus senantiasa survive agar selalu relevan dengan kebutuhan zaman.
Lalu, bagaimana dengan dunia pendidikan Indonesia? Apakah ia punya arah yang jelas?
Pendidikan Indonesia Quo Vadis?
Hendak dibawa ke mana sebenarnya Pendidikan Nasional kita?
Barangkali pertanyaan semacam ini terlalu sering diulang-ulang dalam momentum-momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahunan. Sebuah pertanyaan reflektif dan proyektif sekaligus dalam membaca kompas pendidikan nasional kita.
Pada konteks Indonesia, tantangan-tantangan di dunia pendidikan harus diakui belum seratus persen berhasil diselesaikan. Di antaranya seperti; masalah putus sekolah, angka buta huruf, fasilitas perpustakaan atau ruang baca, dan lain sebagainya. Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan masalah anak putus sekolah di Indonesia berjalan fluktuatif dalam 3 tahun terakhir. Di tingkat SD/Sederajat, persentase anak putus sekolah meningkat dari 0,62% pada tahun 2020, menjadi 0,65% di tahun 2021, dan sebesar 0,71% di tahun 2022. Di tingkat SMA/Sederajat, persentase siswa putus sekolah relatif naik-turun, yakni 22,31% tahun 2020, menurun 21,47 di tahun 2021, dan meningkat 22,52 di tahun 2022.
Sementara itu soal Perpustakaan yang Terakreditasi, data BPS tahun 2021 mencatat sebanyak 10.794 unit perpustakaan telah terakreditasi di Indonesia, dan jumlah ini turun 22,05% menjadi 8.414 unit pada tahun 2022. Belum lagi dengan rendahnya minat baca masyarakat secara umum. Inilah sederet tantangan dunia pendidikan kita. Masalah-masalah di atas tentu hanya sebagian dari seambrek PR dunia pendidikan kita yang menuntut untuk segera diselesaikan bersama.
Berdasarkan hal tersebut, apa yang telah diinisiasi oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), melalui 24 Episode program Merdeka Belajar yang telah diluncurkan tidak lain adalah sebentuk jawaban dari tantangan-tantangan tersebut. Pada momentum Hardiknas kemarin (02/05/2023), Nadiem Makarim meyakinkan bahwa 24 episode program Merdeka Belajar ini membawa pendidikan kita selangkah lebih dekat dengan cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara.
Pidato yang disampaikan Menteri Pendikbud Ristek di atas tentu saja bukan sekadar kata-kata. Pada kenyataannya pendidikan di Indonesia memang mengalami perubahan signifikan dalam tiga tahun terakhir.
Program Merdeka Belajar hingga kini telah diimplementasikan di lebih dari 350.000 sekolah. Guru-guru dapat menyesuaikan kurikulumnya sendiri dan anak-anak dapat menikmati proses belajar yang menyenangkan. Proses pembelajaran ini juga didukung oleh platform digital yang menghubungkan sebanyak 2,6 juta tenaga pendidik yang memungkinkan mereka dapat saling bertemu dan belajar satu sama lain. Ini sejalan dengan 4 pokok isu utama tentang akses dan teknologi pendidikan yang dibicarakan G20 kemarin.
Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi, Kemendikbud Ristek berupaya mewujudkan pendidikan yang berkeadilan dan merata melalui Program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Program yang tertuang dalam episode 9 ini memungkinkan pendidikan tinggi dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat berprestasi khususnya bagi keluarga kurang mampu. Sehingga opini-opini yang mengatakan "Pendidikan hanya untuk orang kaya" jelas salah besar.
Komitmen pemerintah di dalam hal ini terlihat dari berbagai aspek sejak pertama kali Episode 9 diluncurkan tahun 2021. Misalnya biaya bantuan yang semakin besar daripada sebelumnya, yakni 1,3 triliun pada tahun 2020 meningkat menjadi 2,5 triliun. KIP Kuliah juga akan diberikan kepada 200 ribu mahasiswa baru baik di perguruan tinggi negeri (PTN) maupun swasta (PTS). Belum lagi program ini didukung oleh dana LPDP (episode 10 & 21) yang terus diperluas sasarannya. Tak kurang dari 70,1 triliun anggaran telah digelontorkan. Buah dari upaya ini adalah meningkatnya rasio Angka Partisipasi Kasar (APK) di perguruan tinggi dalam tiga tahun terakhir. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka partisipasi anak-anak Indonesia di perguruan tinggi sebesar 109,01% di tahun 2020, meningkat menjadi 115,26% di tahun 2021, dan 116,04 di tahun 2022. Program buku bacaan bermutu (Episode 23), juga terbukti turut menekan angka buta huruf di Indonesia.
 Ada banyak program-program luar biasa lain yang menjadi fokus kerja pemerintah dalam seluruh 24 Episode yang diluncurkan, seperti; revitalisasi bahasa daerah, kampus merdeka vokasi, praktisi mengajar, dan lain-lain. Kemendikbudristek juga terus berupaya mengenalkan program ini kepada masyarakat agar daya serap dan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh semua.
Nampaknya, kompas pendidikan Indonesia saat ini benar-benar sudah jelas. Secara futuristis ia selaras dengan perkembangan isu-isu internasional. Sedang secara historis ia juga mewarisi cita-cita Founding Fathers untuk mengantarkan rakyat Indonesia menjadi manusia yang merdeka.
Cetak Biru Episode 2
Di antara 24 Episode yang lain, Episode 2 Kampus Merdeka adalah program yang paling favorit, setidaknya menurut penulis sendiri. Sebagai mahasiswa, penulis merasakan secara langsung terobosan program Kampus Merdeka tersebut.
Salah satu program dari Kampus Merdeka adalah program Kampus Mengajar. Melalui program ini, penulis berkesempatan menjadi mitra tenaga pendidik di salah satu sekolah menengah pertama di dekat rumah. Di dalam kesempatan ini penulis akhirnya merasakan secara langsung bagaimana menjadi guru, turut berkontribusi, berdedikasi, serta belajar menyusun strategi pembelajaran yang efektif dan menyenangkan bagi para siswa.
Apa yang penulis rasakan saat itu benar-benar menjadi suatu hal baru yang tidak pernah didapatkan di bangku kuliah. Jika pengalaman adalah guru terbaik. Maka pengalaman menjadi guru adalah sesuatu yang jauh lebih baik. Ya, ilmu yang penulis dapatkan selama kuliah benar-benar terasa menemukan manfaatnya.
Selain Program Kampus Mengajar, terdapat 9 Program unggulan lain yang juga ditawarkan di dalam episode 2. Di antaranya, Magang, Studi Independen, Pertukaran Mahasiswa Merdeka, Wirausaha Merdeka, Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), Praktisi Mengajar, Bangkit by Google GoTo and Traveloka (BANGKIT), dan Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (GERILYA).
Program-program ini tentu menjadi stimulasi bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk mencapai taraf internasioanl (world class university). Sebagaimana diketahui, menjadi world class university (WCU) adalah cita-cita seluruh kampus di dunia. Bahkan secara ektrem ia telah menjadi semacam "ideologi akademik" yang senantiasa diimpi-impikan. Jika program-program ini dapat diimplementasikan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi role model pendidikan dunia. Semoga!
Dengan ini barangkali tidak berlebihan jika dikatakan 24 episode gagasan Kemedikbud Ristek adalah revolusi besar dalam sejarah kemajuan pendidikan Indonesia. Ia merupakan "episode" baru yang menuntun perkembangan pendidikan Indonesia kepada arah, jalan dan tujuannya yang jelas sebagaimana tertuang dalam UUD Dasar 1945 dan semangat para pendiri bangsa.
Penjelasan lengkap mengenai 24 episode bisa dilihat di Website resmi Mendikbudristek, atau klik di sini.
Saksikan juga kilasan kebijakan Merdeka Belajar dalam video berikut:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H