Spiderman, tokoh fiktif rekaan Stephen Ditko, mungkin pernah menyihir kita. Sosok superhero, seperti Batman, juga Superman. Mereka bukan saja hero, tapi juga citra manusia adidaya. Dan nyaris sempurna.
Citra manusia ideal? Manusia superkuat, yang selalu bisa mengatasi masalah. Tapi benarkah? Tiga sequel film Spiderman justru memberi jawaban yang antagonis. Di balik keperkasaan Spiderman, terselip sejumlah kekurangan. Rasa bimbang dan putus asa kerap menghantui tokoh yang digambarkan bisa menjelma bagai laba-laba hebat itu. Mirip dengan Superman yang tak kuasa oleh batu kryptonite.
Tapi, yang lebih menarik adalah bahwa adopsi sosok laba-laba (spider), juga kelelawar (bat), dalam diri manusia justru memperlihatkan sisi lain manusia—yang tidak bisa terbang seperti kelelawar, dan tidak bisa merayap atau menangkap mangsa dengan jaring layaknya laba-laba.
Dalam perspektif ini, rekaan sosok superhero tidak bisa dipandang sebagai citra manusia yang adidaya tapi malah sebagai penelanjangan atas diri manusia yang serba lemah dan ringkih.
Seorang supergagah semacam Ade Rai akan ambruk oleh gigitan nyamuk Aeides Aegepty yang membawa virus dengue (demam berdarah). Padahal lelukan-lekukan otot sang binaragawan sangat kekar dan tak sebanding dengan tubuh kecil nyamuk, apalagi virus yang berukuran mikro. Tapi di balik kekar ototnya, berjajar pori-pori yang bisa tembus oleh mulut nyamuk.
Begitulah manusia, di balik gagah tubuhnya, juga ayu parasnya, terselip bau busuk, maaf, kentutnya. Di balik citra diri yang kokoh, ternyata tersimpan potensi rapuh.
Saya jadi teringat cerita masa kecil di desa. Seorang maling—mungkin supermaling—dari tetangga desa bernama Sutopo. Konon, tubuhnya tak tembus oleh sabetan pedang. Dia jagoan. Berkali-kali dia mencuri tapi selalu selamat.
Nah, suatu kali Sutopo mencuri lagi, tapi kali ini nasib sial menimpanya. Ia tertangkap dan dikeroyok warga desa. Ia mencoba tetap gagah. Toh, pikirnya, tak akan ada luka di tubuhnya. Orang-orang pun memukul dan membacok dengan sedikit keraguan. Mungkin ada yang ingin membuktikan tubuh antibocor itu. Apa yang terjadi? Sutopo babak belur sebelum akhirnya mati dalam keroyokan massa. Lho kok? Konon, kesaktiannya antibacok bisa luntur hanya oleh sabetan lidi sapu.
Bukan tempatnya di sini untuk memperdepatkan kebenaran kesaktian dan segala aji-aji yang melingkupinya. Anggaplah itu tidak ada sejatinya. Tapi di balik cerita itu, tetap tersimpan simbol akan keringkihan manusia. Sutopo yang superjagoan, tersungkur oleh sebatang lidi.
###
Manusia yang cemerlang dengan karya-karya yang spektakuler, kadang lupa bahwa ada potensi ringkih dalam dirinya, juga dalam karya-karyanya.
Pesawat terbang yang jadi representasi kecemerlangan manusia untuk mengatasi kelemahaan tak bisa terbang, bukan tanpa cela. Pesawat Boeing yang gagah itu berkali-kali jatuh tersudut. Juga kapal karam dan kereta api bertabarakan. Human error? Ketidakdisiplinan penggunanya? Justru jawaban yang juga mengarah akan kelemahan manusia.
Tapi, taruhlah Amerika yang superpower itu. Ternyata bangunan rumah- kokohnya juga rapuh oleh sapuan badai Tornado, juga badai Katrina yang memorakporandakan kawasan New Orleans, di negara bagian Louisiana.
Jadi, adakah supermanusia? Superhero? Superpower? Supermaling? Supergagah? Ada dalam imajinasi liar kita. Tapi sesungguhnya yang ada superringkih! Kita memang ringkih. Sebutir debu cukup membuat mata kita kesakitan. Sebulir batu membuat ginjal tergelepar. Sebiji paku karat menyebabkan sekarat.
Maka, dalam dzikir-dzikir kita, selalu terucap “tiada daya dan kekuatan, kecuali dari Allah” Laa haulaa walaa quwwata illa billaahi. Tanpa Dia kita bukan apa-apa, juga bukan siapa-siapa. Seperti saat lahir, kita tidak bisa apa-apa. Cair dalam aliran ibu. Saat mati pun tidak mampu berbuat apa-apa. Beku, membiru dan membisu.*
Sidojangkung, Maret 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H