Mohon tunggu...
Mohammad Nurfatoni
Mohammad Nurfatoni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pekerja Swasta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Super Ringkih

24 November 2014   21:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:58 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spiderman, tokoh fiktif rekaan Stephen Ditko, mungkin pernah menyihir kita. Sosok superhero, seperti Batman, juga Superman. Mereka bukan saja hero, tapi juga citra manusia adidaya. Dan nyaris sempurna.

Citra manusia ideal? Manusia superkuat, yang selalu bisa mengatasi masalah. Tapi benarkah? Tiga sequel film Spiderman justru memberi jawaban yang antagonis. Di balik keperkasaan Spiderman, terselip sejumlah kekurangan. Rasa bimbang dan putus asa kerap menghantui tokoh yang digambarkan bisa menjelma bagai laba-laba hebat itu. Mirip dengan Superman yang tak kuasa oleh batu kryptonite.

Tapi, yang lebih menarik adalah bahwa adopsi sosok laba-laba (spider), juga kelelawar (bat), dalam diri manusia justru memperlihatkan sisi lain manusia—yang tidak bisa terbang seperti kelelawar, dan tidak bisa merayap atau menangkap mangsa dengan jaring layaknya laba-laba.

Dalam perspektif ini, rekaan sosok superhero tidak bisa dipandang sebagai citra manusia yang adidaya tapi malah sebagai penelanjangan atas diri manusia yang serba lemah dan ringkih.

Seorang supergagah semacam Ade Rai akan ambruk oleh gigitan nyamuk Aeides Aegepty yang membawa virus dengue (demam berdarah). Padahal lelukan-lekukan otot sang binaragawan sangat kekar dan tak sebanding dengan tubuh kecil nyamuk, apalagi virus yang berukuran mikro. Tapi di balik kekar ototnya, berjajar pori-pori yang bisa tembus oleh mulut nyamuk.

Begitulah manusia, di balik gagah tubuhnya, juga ayu parasnya, terselip bau busuk, maaf, kentutnya. Di balik citra diri yang kokoh, ternyata tersimpan potensi rapuh.

Saya jadi teringat cerita masa kecil di desa. Seorang maling—mungkin supermaling—dari tetangga desa bernama Sutopo. Konon, tubuhnya tak tembus oleh sabetan pedang. Dia jagoan. Berkali-kali dia mencuri tapi selalu selamat.

Nah, suatu kali Sutopo mencuri lagi, tapi kali ini nasib sial menimpanya. Ia tertangkap dan dikeroyok warga desa. Ia mencoba tetap gagah. Toh, pikirnya, tak akan ada luka di tubuhnya. Orang-orang pun memukul dan membacok dengan sedikit keraguan. Mungkin ada yang ingin membuktikan tubuh antibocor itu. Apa yang terjadi? Sutopo babak belur sebelum akhirnya mati dalam keroyokan massa. Lho kok? Konon, kesaktiannya antibacok bisa luntur hanya oleh sabetan lidi sapu.

Bukan tempatnya di sini untuk memperdepatkan kebenaran kesaktian dan segala aji-aji yang melingkupinya. Anggaplah itu tidak ada sejatinya. Tapi di balik cerita itu, tetap tersimpan simbol akan keringkihan manusia. Sutopo yang superjagoan, tersungkur oleh sebatang lidi.

###

Manusia yang cemerlang dengan karya-karya yang spektakuler, kadang lupa bahwa ada potensi ringkih dalam dirinya, juga dalam karya-karyanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun