Mohon tunggu...
Mohamad Gozali
Mohamad Gozali Mohon Tunggu... -

Bergerak dan terus berkarya tanpa nanti tanpa tapi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sosok Ayah Tangguh

29 Mei 2017   15:28 Diperbarui: 30 Mei 2017   06:47 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Gedubrak! Saya terkejut ketika sepeda yang kukayuh tiba-tiba oleng ke kanan dan kiri, terasa enteng layaknya tak ada beban. Seketika itu sepeda kuhentikan, ternyata dibelakang nampak sesosok lelaki tua terjatuh dari atas boncengan sepedaku.

Dia adalah ayahku, tanpa pikir panjang, kulepaskan tangan dari pegangan stang untuk kemudian kurengkuh badan ayah yang sudah merasa kepayahan”. Mogal mengawali cerita kepada teman-temanya di kafe jadul milik Klungce sambil sesekali menyeruput teh poci gula batu.

“ayah.. kalau sementara gak usah sholat jum’at dulu gimana? kan masih bisa diganti sholat dhuhur, apalagi kondisi ayah lagi kurang mendukung”. Sedikit menyarankan saya berujar sambil mengangkat badan yang sudah renta, dalam hati sedih melihat kondisi ayah yang seperti ini sampai tak kuasa air mataku menetes tanpa sadar dari indera penglihatanku yang agak merah karena begadang semalaman nungguin ayah karena beliau sedang sakit.

“Emang ayah kamu sakit apa kang?” tanya Wanoreh sambil memegang dan memainkan hp samsul android kesayanganya.

Mogal memberikan penjelasan kepada Wanoreh. “ayah sakit nafas, tapi yang saya sesalkan beliau masih saja merokok. Padahal kami sekeluarga sudah cape mengingatkan.”

“Kemaren beliau juga ke rumahku minta korek api buat menyulut rokoknya dan dihisap di dalam rumahku, beliau bilang biar gak ketahuan ngrokok.” Ujar Ertene.

“Ya begitulah, oke saya lanjutkan ceritanya”. Mogal kembali melanjutkan cerita.

“Sudahlah ayo kita lanjutkan, ayah gak apa-apa, lagian udah deket ini.” Sahut ayah

Ternyata ayah tetap saja bersikukuh untuk melanjutkan perjalanan untuk menunaikan sholat jum’at di masjid At Taqwa Pekarangan Kebondalem sebuah desa yang terletak dijantung kota Pemalang Jawa Tengah.

Begitulah ayahku, beliau adalah sosok disiplin dalam hal ibadah, tidak ada alasan untuk tidak sholat karena repot, sakit atau alasan - alasan lainnya.

Kepada anak-anaknya beliau tidak pernah bosan mengajak sholat ke musholla untuk sholat berjamaah, kebetulan musholla dekat dengan rumah, yaitu musholla Baitus Syakirin. Banyak sekali cerita yang muncul dari musholla, kalau saya bilang itu musholla keramat, walaupun sekarang sudah hilang suasana musholla Baitus Syakirin yang dulu karena telah direnovasi, sehingga hilang bentuk bangunan aslinya.

“Gal, sini nak ayah minta tolong!”

“Ya ayah ada apa?” sayapun berhenti mengayuh mesin jahit kebetulan diberi tugas ayah untuk jahit celana kolor buat dijual para petani di daerah Bantarbolang.

Perlu diketahui bahwa ayah adalah pedagang pakaian di daerah punggung kecamatan Bantarbolang dengan jarak 1 jam perjalanan dengan mobil angkutan, tepatnya di pasar “mbolang” kalau orang Pemalang bilang, sebuah pasar kecil dipinggir hutan jati yang ramainya hanya sebatas sampai jam sembilanan saja, sedangkan jam keatas pasar sudah mulai sepi.

“Tolong anterin ayah keliling - keliling.” 

“Emang keliling kemana ?” tanyaku penasaran

“Sudah pokoknya ikuti  saja apa kata ayah”. Sahut ayah yang sudah rapi, siap untuk pergi.

Sepeda saya keluarkan siap untuk mengantar ayah, walaupun dengan seribu tanya hinggap dibenakku, saya turuti ayah.

Seperti biasa ayah saya boncengin, kemana akan pergi? Saya sendiri juga belum tahu, pokoknya ayo sajalah! Sepeda kukayuh, walaupun usia sepeda sudah tua masih sangat kuat untuk digunakan, bahkan sering juga ayah menggunakannya untuk mengangkut dagangannya sampai ke pasar mbolang.

Tak terasa ternyata telah sampai di alun-alun kota Pemalang terlihat ditengah-tengahnya patung yang sedikit angkuh dengan selempang sarung dan membawa bambu runcing sementara tangan kirinya menantang desa Pelutan.

“ke timur terus Gal”. Intruksi ayah

Tanpa banyak Tanya ini itu kukayuh sepeda dengan laju sedikit pelan karena beban dua orang yang agak berat, menelusuri jalan Jenderal Sudirman Pemalang yang rame hilir mudik kendaraan dari yang besar hingga kendaraan kecil. Akhirnya sampailah sepeda kami di pasar pagi, sebuah pasar kota yang besar beda jauh dengan pasar mbolang, pasar yang dipenuhi dengan orang dari berbagai penjuru kota bahkan banyak dari kabupaten tetangga yang bertransaksi perdagangan di pasar pagi Pemalang.

Di sana ayah menemui salah satu pedagang, terjadilah obrolan antara ayah dengan pedagang pakaian tersebut, apa yang dibicarakan? Dari kejauhan tentu saya tidak tahu. saya hanya menunggu di tempat parkiran sambil istirahat dan mengatur nafas yang agak kacau karena kelelahan.

Ternyata tidak lama ayah sudah selesai dengan urusannya, perjalanan dilanjutkan kembali, kali ini ayah bilang balik arah, masih tetap menelusuri jalan Jenderal Sudirman yang ramai dengan mobil serta motor yang semakin menjamur saja.

“nanti kalau sudah sampai didepan shoping centre berhenti ya”. Ayah mengingatkanku

“shoping centre yang mana yah?” tanyaku

“di toko bahan kain Pribumi” jawab ayah

kukayuh sepeda sambil melihat ke pertokoan yang berderet laksana gerbong yang sangat panjang dengan judul gerbong yang bermacam macam sesuai dengan isi gerbong tersebut.

Sampailah mata tertuju pada tulisan besar berbunyi “TOKO PRIBUMI” terpampang di sebuah bangunan besar yang berisi bahan pakaian yang begitu lengkap dengan pelayan yang cukup banyak. Kayuhan sepeda kuhentikan seketika dan saya parkirkan dihalaman toko pinggir jalan Jenderal Sudirman.

Seperti pada saat di pasar pagi, sayapun menunggu di tempat parkiran, tetapi ayah mengajakku untuk masuk ke toko tersebut, disitu terjadi sebuah percakapan.

“Pak Kaji Dahlan, saya kesini ingin menyampaikan sesuatu kepada panjenengan.” ayah mengawali pembicaraan setelah sebelumnya mengucap salam terlebih dahulu.

“oya memangnya ada apa pak Madi?” begitu pak Kaji dahlan memanggil nama ayahku.

“Begini, pertama saya kesini tujuannya adalah silaturrahmi, untuk menyambung persaudaraan. Kemudian kedua kalinya saya minta maaf kepada pak kaji atas khilaf dan salah saya”. Begitulah ayah menyampaikan ucapannya kepada pak kaji Dahlan.

“terima kasih, ternyata masih ada saja orang yang mau menganggap saya sebagai saudara, terus memangnya panjenengan punya salah sama saya apa?, sepertinya gak ada”.

“saya pernah pinjam uang kepada pak kaji, itu sudah sangat lama, dan hari ini uang akan saya kembalikan, mohon untuk diterima”. Sambil berkata ayah menyodorkan amplop kepada kaji Dahlan.

“oh begitu ya, wah saya sampai gak inget kalau ente punya hutang ke saya”.

“maka dari itu saya merasa bersalah karena sudah lalai memenuhi kewajibanku membayar hutang”.

“ ah.. gak apa-apa, ini saya terima jadi syah pak Casmadi tidak lagi memilki sangkutpaut dengan saya, tetapi saya ada permintaan.”

“apa itu pak kaji?” Tanya ayah penasaran

“apakah pak Casmadi mau membantu saya mencarikan pahala buat saya?” Kaji Dahlan malah balik bertanya kepada ayah.

“mau, terus dengan cara apa?” Tanya ayah semakin penasaran.

“tolong terima uang ini buat panjenengan, mudah mudahan menjadi pahala buat saya, kalau pak Casmadi menerima uang ini berarti telah menolong mencarikan pahala buat saya”. Jawab pak kaji Dahlan sambil menyodorkan kembali amplop ayah yang baru saja diterima pak kaji Dahlan.

Tanpa bisa menolak ayah pun menerima kembali amlpop tersebut sambil menetes air mata beliau berujar, “terima kasih pak kaji sungguh mulia akhlakmu, tapi hutang saya tetap syah kan pak kaji? Tanya ayahku penuh ragu.

Dengan senyum ramah beliau berkata, “syah!”

“sekali lagi terima kasih, dan saya mohon diri, assalaamu alaikum”. Sambil salam ayah berlalu dari hadapan pak kaji Dahlan diikuti saya dari belakang.

Disepanjang jalan ayah tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah, karena semua hutangnya telah lunas terbayarkan, sehingga tidak ada lagi sangkutan dengan orang lain.

Saya bangga dengan beliau, tanggungjawabnya besar ternyata ada pesan yang sampai sekarang saya ingat dan belum bisa terlaksana.

“Jangan hutang, sebutuh apapun kalau bisa jangan sampai hutang, kalau ada yang bisa dijual, jual saja, mending gak punya apa apa dari pada terlilit hutang. Ingat itu.” Begitulah pesan ayah.

Ayah, saya sangat rindu engkau, begitu sayangnya engkau kepada anak-anakmu, engkau tidak peduli terik maupun hujan demi memperjuangkan nasib keluargamu.

Ayah, engkau lelaki tangguh, sabar, penuh tanggungjawab, sayang ibu, penuh canda, engkau panutanku, engkaulah masinis yang akan membawa gerbong keluargamu ke syurga.

Yaa Allah Ampuni segala dosa dan khilaf kedua orangtua kami kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil. Amiin....

Setelah itu Mogal pun terdiam lama, dari matanya nampak jelas berkaca-kaca, wajahnya melukiskan penyesalan dan rasa bersalah yang sangat mendalam karena belum bisa membalas kebaikan orangtuanya. Ceritapun terputus, Mogal tak sanggup lagi meneruskannya, seisi kafe jadul juga terdiam teringat perjuangan ayah mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun