“sekali lagi terima kasih, dan saya mohon diri, assalaamu alaikum”. Sambil salam ayah berlalu dari hadapan pak kaji Dahlan diikuti saya dari belakang.
Disepanjang jalan ayah tak henti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah, karena semua hutangnya telah lunas terbayarkan, sehingga tidak ada lagi sangkutan dengan orang lain.
Saya bangga dengan beliau, tanggungjawabnya besar ternyata ada pesan yang sampai sekarang saya ingat dan belum bisa terlaksana.
“Jangan hutang, sebutuh apapun kalau bisa jangan sampai hutang, kalau ada yang bisa dijual, jual saja, mending gak punya apa apa dari pada terlilit hutang. Ingat itu.” Begitulah pesan ayah.
Ayah, saya sangat rindu engkau, begitu sayangnya engkau kepada anak-anakmu, engkau tidak peduli terik maupun hujan demi memperjuangkan nasib keluargamu.
Ayah, engkau lelaki tangguh, sabar, penuh tanggungjawab, sayang ibu, penuh canda, engkau panutanku, engkaulah masinis yang akan membawa gerbong keluargamu ke syurga.
Yaa Allah Ampuni segala dosa dan khilaf kedua orangtua kami kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihi kami di waktu kecil. Amiin....
Setelah itu Mogal pun terdiam lama, dari matanya nampak jelas berkaca-kaca, wajahnya melukiskan penyesalan dan rasa bersalah yang sangat mendalam karena belum bisa membalas kebaikan orangtuanya. Ceritapun terputus, Mogal tak sanggup lagi meneruskannya, seisi kafe jadul juga terdiam teringat perjuangan ayah mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H