Mercon  yang terbuat dari bambu disebut dengan mercon bumbung. Bahan peledaknya berasal dari karbit. Sedangkan mercon pendem terbuat dari timbunan tanah. Sistem kerjanya antara mercom bumbung dengan mercon pendem sama.
Kami membunyikan mercon kapan saja kami mau, siang sore hingga malam. Paling rame anak-anak membunyikan mercon saat sore menjelang berbuka dan setelah berbuka puasa. Kadang sebelum subuh ada juga yang membunyikan mercon, namun jarang. Puncak keramaian membunyikan mercon pada saat malam Lebaran. Saking banyaknya orang membunyikan mercon hingga jalan jalan dan pelataran penuh dengan kertas. Udaranya pun agak pekat seperti kabut hingga aromanya berbau obat peledak.
Lucunya kertas-kertas yang berserekan itu tidak segera disapu atau dibuang tapi dibiarkan begitu saja. Hal ini untuk membutikkan bahwa siempunya rumah membunyikan mercon. Semakin tebal sampah kertas menumpuk di halaman semakin meyakinkan orang yang melihatnya bahwa siempunya rumah membunyikan mercon banyak. Artinya banyak duitnya.
Kenangan berikutnya di masa kecil yang masih melekat di ingatan adalah saat aku dan Simbok sedang santap sahur pada suatu pagi dini hari. Waktu itu hanya aku berdua dengan Simbok yang berada di rumah. Tidak ada jam dinding, radio,tivi apalagi hape di rumah.Â
Saat Simbok bangun pagi itu tak tahu sudah jam berapa. Biasanya kami mengandalkan bunyi kentongan yang di tabuh oleh Marbot di Masjid Kampung. Kentong akan dibunyikan sesuai jam. Misal jam satu malam akan dibunyikan satu kali lalu dilanjutkan dengan pukulan banyak yang berirama. Misal pukul dua malam, maka bunyi kentongnya seperti ini," Tung ...., Tung ...., tungtungtungtungtungtungtungtung....tung ...,tung...tung...
Pagi dini hari malam itu Simbok sudah menyiapkan santap sahur. Kami duduk berdua di kursi panjang. Baru beberapa suap kami makan terdengar bunyi kentongan yang dilanjutkan bunyi bedug tanda waktu subuh tiba.Â
Suara itu berasal dari Masjid yang ada di kampung kami. Sontak makanan yang masih di mulut dikeluarkan oleh Simbok. Beliau juga memintaku untuk mengeluarkan semua makanan yang masih ada di mulut. Beliau melarangku untuk menelannya. Aku menuruti saja kata Simbok. Semua sisa makanan yang ada di mulut aku keluarkan.
Anehnya kami juga tidak minum setelah makan, karena waktu sahur sudah habis. Bisa dibayangkan rasanya makan tergesa-gesa yang tidak diikuti oleh glontoran air. Kayak gemana gitu ditenggorakan, ada yang nyangkut.Â
Kenangan berikutnya yaitu berburu takjil Kang Kasri. Dulu takjil yang membuat hanya wak Kaum seorang. Wak Kaum Membuat takjil slama bulan Ramadan penuh. Mulai dari awal Ramadan hingga akhir Ramadan.
Orang yang ditugasi untuk mebawa takjil tersebut bernama Kang Kasri. Takjil itu di bawa ke Masjid dengan cara dimasukan ke tenong lalu dipikul pakai mbatan. Tenong diikat pakai tali sabut kelapa, aku lupa istilahnya apa.Â
Takjil jaman dulu itu sederhana, hanya berupa rebusan telo, singkong, banten atau variasi olahan ketela pohon. Kadang digoreng atau direbus. Kadang juga dibuat lemet, combro, gethuk atau randa balen. Walaupun hanya berupa makanan kecil seperti itu, tapi bagi kami saat itu adalah makanan langka. Kami jarang menyantap makanan yang tadi disebutkan. Sehingga kami pun berebutan saat memintanya.Â