Mohon tunggu...
mohamad bajuri
mohamad bajuri Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru bloger

Tenaga pendidik di MTsN 3 Kebumen Jateng

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Mengenang Masa Kecil Saat Ramadan Era 80-an

2 April 2023   21:02 Diperbarui: 2 April 2023   21:33 1627
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi. Sumber ilustrasi: UNSPLASH

Salam sejahtera dan bahagia selalu para pembaca budiman. Bagaimana kabar kalian hari ini? Semoga selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Amiin. 

Kali ini Aku akan bercerita tentang pengalaman Ramadan saat masih kecil.

Untuk memaparkan cerita ini aku harus berjalan mundur sejauh empat puluh tahunan. Yah masa-masa sekitar itu atau lebih tepatnya era 80-an. Berarti aku sudah tua dong he hehe. Empat tahun yang lalu.

Waktu itu aku hanya tinggal bersama Simbokku. Ayahku sudah meninggal saat umurku baru lima tahun. Sementara kakakku yang jumlahnya ada lima orang tidak tinggal bersama kami.  Dua kakak perempuanku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya. Kakak perempuanku yang satunya bekerja sebagai pembantu di kota Malang. Sementara dua kakak laki-lakiku tinggal di Pesantren.

Aku tinggal di kampung yang belum ada listrik. Penerangan malam hari di rumah menggunakan lampu teplok, dian atau sentir. Jadi suasana kampungku masih gelap. Kalau mau pergi ke luar rumah saat malam hari menggunakan seikat daun kelapa kering yang di bakar. Hanya beberapa orang saja yang memiliki lampu senter.

Ada kenangan manis saat menjelang berbuka puasa pada masa kanak-kanak. Saat berbuka adalah saat yang sangat ditunggu-tunggu oleh aku yang masih status anak-anak waktu itu. Biasanya anak-anak seusiaku akan mencari sesuatu yang bisa dimakan saat berbuka. 

Kami berkelompok berkelana ke pinggir sungai untuk menemukan buah-buahan yang bisa dipetik . Buah-buahan itu nantinya akan dijadikan takjil pada nanti saat berbuka. Dari hasil berburu buah kami biasanya menemukan buah karsen, jambu telampok dan jambu biji. Kadang kami juga mengambil jeruk yang jatuh dari pohon di sawah milik orang. 

Tidak setiap hari kami bisa mendapatkan buah-buahan itu. Karena pohon buah itu terbatas jumlahnya sementara kami berjumlah banyak. Jadi kami tidak makan buah. Persediaan di alam tidak sebanding dengan kebutuhan.

Kalau saat ini sepertinya tidak ada anak-anak yang pergi ke sawah atau ke pinggir kali hanya untuk bisa makan buah-buahan. Mestinya orang tua yang melarangnya dan  mereka sudah membelikan buah-buahan untuk dimakan. 

Kenangan berikutnya saat Ramadan tiba adalah membuat mercon. Anak-anak sesaat sebelum Ramadan tiba sudah membuat mercon untuk menyambut Ramadan. Mereka berpikir tidak ada mercon, Ramadan tidak ramai. Berbagai macam jenis mercon kami buat. Mercon dari kertas, bambu dan tanah liat.

Mercon kertas kami buat dari buku bekas yang digunting lalu digulung hingga berbentuk silinder. Diameter tempat obat disesuaikan dengan keinginan. Ada yang berukuran kecil, sedang , dan besar .  Mercon berukuran kecil sebesar jempol tangan, berukuran sedang sebesar jempol kaki orang dewasa. Mercon ukuran besar kurang lebih sebesar  kaleng susu bendera.

Mercon  yang terbuat dari bambu disebut dengan mercon bumbung. Bahan peledaknya berasal dari karbit. Sedangkan mercon pendem terbuat dari timbunan tanah. Sistem kerjanya antara mercom bumbung dengan mercon pendem sama.

Kami membunyikan mercon kapan saja kami mau, siang sore hingga malam. Paling rame anak-anak membunyikan mercon saat sore menjelang berbuka dan setelah berbuka puasa. Kadang sebelum subuh ada juga yang membunyikan mercon, namun jarang. Puncak keramaian membunyikan mercon pada saat malam Lebaran. Saking banyaknya orang membunyikan mercon hingga jalan jalan dan pelataran penuh dengan kertas. Udaranya pun agak pekat seperti kabut hingga aromanya berbau obat peledak.

Lucunya kertas-kertas yang berserekan itu tidak segera disapu atau dibuang tapi dibiarkan begitu saja. Hal ini untuk membutikkan bahwa siempunya rumah membunyikan mercon. Semakin tebal sampah kertas menumpuk di halaman semakin meyakinkan orang yang melihatnya bahwa siempunya rumah membunyikan mercon banyak. Artinya banyak duitnya.

Kenangan berikutnya di masa kecil yang masih melekat di ingatan adalah saat aku dan Simbok sedang santap sahur pada suatu pagi dini hari. Waktu itu hanya aku berdua dengan Simbok yang berada di rumah. Tidak ada jam dinding, radio,tivi apalagi hape di rumah. 

Saat Simbok bangun pagi itu tak tahu sudah jam berapa. Biasanya kami mengandalkan bunyi kentongan yang di tabuh oleh Marbot di Masjid Kampung. Kentong akan dibunyikan sesuai jam. Misal jam satu malam akan dibunyikan satu kali lalu dilanjutkan dengan pukulan banyak yang berirama. Misal pukul dua malam, maka bunyi kentongnya seperti ini," Tung ...., Tung ...., tungtungtungtungtungtungtungtung....tung ...,tung...tung...

Pagi dini hari malam itu Simbok sudah menyiapkan santap sahur. Kami duduk berdua di kursi panjang. Baru beberapa suap kami makan terdengar bunyi kentongan yang dilanjutkan bunyi bedug tanda waktu subuh tiba. 

Suara itu berasal dari Masjid yang ada di kampung kami. Sontak makanan yang masih di mulut dikeluarkan oleh Simbok. Beliau juga memintaku untuk mengeluarkan semua makanan yang masih ada di mulut. Beliau melarangku untuk menelannya. Aku menuruti saja kata Simbok. Semua sisa makanan yang ada di mulut aku keluarkan.

Anehnya kami juga tidak minum setelah makan, karena waktu sahur sudah habis. Bisa dibayangkan rasanya makan tergesa-gesa yang tidak diikuti oleh glontoran air. Kayak gemana gitu ditenggorakan, ada yang nyangkut. 

Kenangan berikutnya yaitu berburu takjil Kang Kasri. Dulu takjil yang membuat hanya wak Kaum seorang. Wak Kaum Membuat takjil slama bulan Ramadan penuh. Mulai dari awal Ramadan hingga akhir Ramadan.

Orang yang ditugasi untuk mebawa takjil tersebut bernama Kang Kasri. Takjil itu di bawa ke Masjid dengan cara dimasukan ke tenong lalu dipikul pakai mbatan. Tenong diikat pakai tali sabut kelapa, aku lupa istilahnya apa. 

Takjil jaman dulu itu sederhana, hanya berupa rebusan telo, singkong, banten atau variasi olahan ketela pohon. Kadang digoreng atau direbus. Kadang juga dibuat lemet, combro, gethuk atau randa balen. Walaupun hanya berupa makanan kecil seperti itu, tapi bagi kami saat itu adalah makanan langka. Kami jarang menyantap makanan yang tadi disebutkan. Sehingga kami pun berebutan saat memintanya. 

Sebetulnya takjil itu hanya diperuntukkan para jamaah dewasa (orang tua) yang mau beristirahat sejenak di Masjid setelah acara salat tarawih selesai. Anak-anak tidak dapat jatah takjil. Sebagai pelengkap hidangan takjil yaitu minuman teh manis kental yang masih panas. Minuman itu dituang di cangkir keramik warna putih yang bergagang. 

Mereka duduk melingkar bersandar di tembok Masjid. Takjil di tata di piring keramik. Slepen isi tembakau di buka. Klembak, menyan, cengkeh paduan nikmat untuk sebatang rokok tengwe. Asap mengepul di antara ramah ceria percakapan para jamaah, diselingi suara "Srubbbbbt" orang minum teh panas. Kadang juga terdengar suara decakan mulut saat menguyah makanan. 

Itu saja kenangan masa kecil saat Ramadan yang kali ini aku bagikan ke pembaca semoga bisa menambah wawasan pengalaman. Karena zaman berputar, maka kisah dari satu tahun ke tahun berikutnya juga berbeda. 

Bagaimana kisah Anda? Mungkin lebih seru dan mengasyikan.

Sekian dan selamat menunaikan ibadah puasa aku ucapkan untuk saudaraku umat Islam semoga doa dan harapan kita di tahun ini terkabulkan. Aamiin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun