Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kampoeng Baca Pelangi Narmada, Anak-anak Punk dan Hikmah di Balik Gempa

30 Januari 2025   10:38 Diperbarui: 31 Januari 2025   08:16 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 25 Januari 2025, saya dan beberapa guru mendampingi sekitar 40-an orang siswa untuk melakukan kunjungan ke sebuah tempat yang dikenal dengan Kampoeng Baca Pelangi (KBP). KBP merupakan semacam pusat belajar masyarakat yang terletak di Dusun Merca Timur, Desa Selat, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, NTB. 

Pagi menjelang siang, dua unit mini bus yang membawa anak-anak tiba di lokasi Kampoeng Baca Pelangi. Melewati salah satu pintu masuk Dusun Merca Timur akan terlihat tembok pembatas pekarangan warga dengan lukisan mural. “Kampoeng Baca”, demikian sebuah tulisan dengan ejaan Soewandi menghiasi sisi sebuah dinding.

Masih pada dinding yang sama, di sudut lengkungnya terlihat jelas lukisan seorang anak tengah duduk di atas tumpukan buku. Anak itu diilustrasikan sedang membaca dengan wajah serius. 

Pada sisi lain dinding dalam bingkai yang sama, tertera kata “BACA” yang ditulis dengan huruf kapital. Dimensi huruf dibuat dengan skala jumbo sehingga mendominasi permukaan dinding. Mural itu digenapkan dengan lukisan seorang tokoh besar dalam sejarah yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.

Berjarak beberapa puluh meter dari mural itu terlihat rumah dengan tembok halaman yang juga penuh dengan mural dengan pesan pendidikan. Rumah yang menjadi pusat kegiatan KBP itu merupakan milik seorang ayah muda dengan tiga anak kembar. Dia adalah Taufik Mawardi, sehari-hari  berprofesi sebagai dosen pada sebuah perguruan tinggi di Mataram.

Taufik (Opik panggilan akrabnya) menyulap sisi depan rumah kecilnya menjadi sebuah perpustakaan terbuka. Di perpustakaan itu terdapat ribuan koleksi buku tersusun rapi pada rak-rak yang tersedia. Buku itu sebagian besar terdiri dari bacaan anak-anak.

Di teras kecil itulah anak-anak setempat bermain dengan buku, mendengarkan dongeng, bercerita, berpuisi, menggambar, atau bernyanyi.

Sesekali di teras kecil atau di tempat lain Opik melakukan diskusi serius bersama “warga” kampung kecilnya tentang seni, bahasa, sastra, budaya, dan tema-tema lainnya.

Kedatangan kami disambut Opik bersama beberapa temannya dengan wajah sumringah. Ayah muda dengan rambut agak gondrong itu menunjukkan kesan yang ramah dan bersahabat.

Dalam kunjungan itu siswa diberikan kebebasan untuk memilih dan membaca buku-buku yang tersedia di perpustakaan Kampoeng Baca Pelangi (KBP).

Dua orang gadis kecil yang masih duduk di bangku TK setempat datang dengan pakaian bermain. Rupanya mereka pengunjung setia perpustakaan KBP.

Sekitar 25 sampai 30 menit Opik menyempatkan diri membersamai anak-anak. Dia mengajak mereka berdialog, berbagi cerita, dan memberikan motivasi kepada anak-anak agar rajin belajar dan membaca. Opik juga menyediakan hadiah kecil kepada anak-anak yang dapat menceritakan kembali isi bacaan dan menjawab pertanyaannya. 

Bermula dari Nongkrong dan Gempa

Sebelum membersamai anak-anak, Opik menemani kami berbincang sejenak di bawah gazebo halaman rumahnya dan bercerita tentang KBP. Berdasarkan informasi dari perbincangan itu dan film pendek yang diunggah pada akun instagram dan chanel YouTube KBP, perjalanan Opik cukup panjang untuk sampai pada pencapaian KBP saat ini. 

Kehadiran KBP sebenarnya bermula dari tongkrongan anak-anak muda Mataram di sebuah kedai kopi. Mereka merupakan sekelompok anak-anak muda yang diikat oleh selera yang sama. Anak-anak muda penuh energi itu melabeli dirinya dengan nama East Warrior, sebuah komunitas musik berskala lokal di kota Mataram. Komunitas ini terdiri dari anak-anak muda penggemar genre musik punk, salah satu kategori musik dengan ciri tempo cepat dan hentakan drum yang terdengar berantakan.

Atas ajakan temannya, Opik mulai ikut nongkrong dan berkenalan dengan anak-anak East Warrior. Dalam komunitas itu Opik merasakan semacam kenyamanan, setidaknya karena dua hal, suka pada warna musik yang sama dan rasa persaudaraan anak-anak punk itu.

Pada umumnya perspektif kebanyakan orang terhadap anak-anak punk seperti East Warrior identik dengan penampilan kumuh, kumal, dan urakan. Akan tetapi, di tengah cara pandang masyarakat yang menilai kualitas hidup seseorang berdasarkan penampilan, Opik melihat sesuatu yang berbeda dalam kehidupan East Warrior. Anak-anak punk East Warrior ternyata memegang teguh nilai-nilai humanisme yang ditunjukkan dengan kejujuran, rasa kebersamaan, setia kawan, dan sikap empati kepada sesama. 

Bertahun-tahun Opik melebur dalam lingkaran anak-anak East Warrior. Bersama mereka Opik mendengar dan bermain musik, mengadakan konser kecil (gig), membuat lagu, melakukan aksi sosial, atau sekadar menikmati kopi bersama, dan berbagai aktivitas lain yang mengikat mereka dalam persaudaraan. Opik menikmati pergaulan itu.

Dalam perjalanan waktu, tahun 2018 gempa dahsyat melantakkan  sebagian wilayah daratan Lombok, Pulau Seribu Masjid. Dusun Merce, Desa Selat, lokasi KBP dimana Opik lahir dan tumbuh besar, menjadi salah satu tempat yang cukup berdampak. Gempa itu mengakibatkan kerusakan fisik dan meninggalkan trauma mendalam bagi warga terutama anak-anak. 

Saya sendiri masih ingat kala itu bagaimana bayangan menakutkan akibat gempa dirasakan oleh semua orang sehingga memaksa semua keluarga mengungsi ke tenda-tenda yang dibangun di halaman rumah dan tanah lapang.

East Warrior berinisiatif menggalang dana untuk memberikan bantuan untuk korban gempa. Taufik sendiri bergabung dengan sebuah NGO dan bergegas ke Lombok Utara yang mengalami dampak paling banyak dan paling parah. Opik mengambil bagian dari aksi penanggulangan bencana dengan memberikan trauma healing terutama kepada anak-anak korban bencana. 

Di lokasi bencana, Opik melihat NGO tidak saja memberikan bantuan trauma healing. Lebih dari itu, NGO melakukan bimbingan belajar dan menyediakan buku-buku pelajaran dan buku bacaan untuk anak-anak korban gempa. Apa yang dilakukan relawan itu tidak lepas dari dampak kerusakan berbagai fasilitas termasuk bangunan sekolah sebagai sarana utama pendidikan.

Membentuk Kampoeng Baca Pelangi

Aksi NGO di lokasi bencana membuat Taufik mendapatkan inspirasi untuk melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Usai melakukan tugas trauma healing Taufik bergegas pulang kampung. Dia kembali ke Mataram di pusat tongkrongannya bersama anak-anak punk East Warrior.

Kedatangannya kembali ke markas East Warrior tidak lagi sekedar berbicara tentang musik tetapi tentang sebuah ide besar. Opik memiliki rencana aksi membangun sumber daya manusia. Dia mengemukakan idenya untuk melakukan pergerakan belajar untuk anak-anak di dusun Merca Timur kampung halamannya. Di luar dugaan anak-anak East Warrior menyambut positif gagasan itu.

Untuk menunjang niat baiknya Opik membentuk wadah yang dinamainya Kampoeng Baca Pelangi (KBP). Opik merelakan rumahnya sebagai pusat kegiatan. 

Sebagai bukti dukungannya, East Warrior membantu Opik mengumpulkan buku-buku bacaan untuk perpustakaan KBP. Dalam setiap kegiatan gig (konser kecil) East Warrior mengajak penggemarnya untuk membawa buku yang dapat disumbangkan ke perpustakaan KBP. Di samping itu, buku perpustakaan KBP juga dibeli dari hasil penjualan tiket pertunjukan anak-anak East Warrior dalam berbagai event. 

Untuk menguatkan gerakannya Opik membuka kerjasama dengan komunitas lain di Nusa Tenggara Barat dan daerah lain. Upaya itu membuat KBP kerap mendapatkan donasi dari beberapa komunitas yang memiliki interes yang sama.

Pembentukan KBP mendorong Opik bersama East Warrior mulai menjalankan misinya. Mereka menjadi guru bagi anak-anak di Dusun Merca dan sekitarnya. 

Kehadiran KBP dengan anak punk pada awalnya diterima dengan sikap skeptis oleh masyarakat Dusun Merca dan Desa Selat pada umumnya. Penampilan anggota East Warrior dalam pandangan masyarakat setempat terlihat sangat tidak meyakinkan untuk dapat melakukan hal-hal positif.

Opik dan East Warrior tidak bergeming dengan respon masyarakat. Di bawah manajemen Opik, KBP mulai melakukan hal-hal sederhana bersama anak sekitar. KBP dengan koleksi bukunya mengajak anak-anak sekitar untuk membaca. 

Anggota East Warrior sendiri seakan mengalami perjumpaan dengan dunia baru dalam aktivitas yang dilakukan di KBP. Mereka menemukan dirinya kembali dalam dunia anak-anak yang penuh dengan keceriaan dan kepolosan alami. Mereka seakan menemukan keluarga, cinta baru, dan tempat untuk kembali setelah melakukan petualangan di jalanan.

Rentetan kisah singkat di atas menunjukkan bahwa KBP dan East Warrior merupakan dua organ tak terpisahkan. Siapa sangka di balik keberadaan KBP saat ini dimotori anak-anak punk dengan penampilan urakan dan sekilas tidak memiliki visi yang jelas. Ini merupakan sebuah perjuangan yang dapat menjadi inspirasi semua orang.

Membangun budaya literasi dengan media seni

KBP terus tumbuh seiring kepercayaan yang besar dari masyarakat. Aktivitas anak-anak East Warrior dalam KBP berhasil menarik perhatian pelajar, mahasiswa, dan anak-anak jalanan di kampung sekitar.

KBP bukan sekadar ruang baca yang membuat anak-anak menjadi bosan. Pada banyak kesempatan anak-anak KBP diajak menggambar, membuat kolase, menyanyi bersama, dan berkenalan dengan dunia teater. Opik dan kawan-kawan juga berupaya menghidupkan kembali permainan-permainan tradisional yang makin tergerus oleh game digital. Di samping itu, secara berkala anak-anak KBP juga dilatih untuk mencintai lingkungan melalui kegiatan bersih-bersih, merawat tanaman, dan mengolah sampah.

Melihat KBP telah mengalami kemandirian, East Warroir secara perlahan mundur tetapi itu tidak berarti keduanya memutuskan hubungan. Kini Opik mengelola KBP bersama anak-anak Desa Selat dan sekitarnya. Seiring perjalanan waktu, banyak anak-anak East Warrior memilih jalan hidup masing-masing untuk bekerja, membangun rumah tangga dan beranak pinak. Namun mereka tetap berkumpul kembali ketika KBP melaksanakan event yang membutuhkan keterlibatan banyak orang.

Opik sadar bahwa pola belajar anak-anak di era digital tidak dapat dilakukan hanya dengan menyuguhkan bahan bacaan. Mereka memerlukan pendekatan yang lebih realistis dan menyenangkan.

Dengan menggunakan media seni, Opik merancang pembelajaran lebih inklusif. Model pembelajaran di KBP bersifat terbuka bagi siapa saja. Sebagai akademisi, Opik paham betul bahwa setiap individu memiliki kecerdasan dan potensi yang berbeda. Adanya perbedaan itu membuat setiap anak memiliki kecenderungan untuk belajar sesuai dengan minatnya masing-masing. Anak-anak tidak dapat dipaksakan untuk mempelajari sesuatu yang tidak mereka sukai.

Sejauh ini KBP telah menunjukkan banyak hal. Dilihat dari jejak digital pada akun intagram dan chanel YouTubenya, KBP telah melakukan banyak hal.  Melihat chanel YouTube, misalnya KBP beberapa kali melakukan konser musik bersama kelompok musik lokal di NTB. Secara umum konser yang mereka selenggarakan mengambil tema seputar pendidikan, lingkungan, dan sosial.

Di bawah asuhan Opik, anak-anak KBP juga sering menyelenggakaran pentas teater dengan lakon cerita-cerita rakyat dan ritual budaya. Beberapa anak KBP juga sering mendapatkan order membuat mural, kaligrafi dan menyelenggarakan pameran lukisan. Sejumlah mural yang terpampang di Dusun Merca Timur dan Desa Selat merupakan karya anak-anak KBP.

Hal yang paling rutin dilakukan KBP tentu saja menumbuhkan semangat membaca dan belajar di pusat kegiatan. KBP juga memberikan layanan bimbingan bahasa Inggris dengan melibatkan sejumlah volunteer.

Demikianlah kehadiran KBP di bawah kendali tangan dingin Taufik Mawardi. KBP bukan sekadar ruang baca tetapi upaya membangun sikap literasi dengan konsep yang lebih holistik dan komprehensif. 

"Jangan menilai buku dari sampulnya!". Adagium ini cukup relevan dengan perjalanan keberadaan KBP. Satu pelajaran penting dari keberadaan Kampoeng Baca Pelangi adalah setiap orang dapat memberikan sumbangan penting dalam kehidupan kolektif. Seseorqng yang merasa dihargai akan mengerahkan seluruh energinya untuk menghargai kembali penghargaan itu. Anak-anak punk yang selama ini ditempatkan sebagai kelompok marjinal mampu berbuat sesuatu yang memberikan warna dalam kehidupan sosial.

Lombok Timur, 30 Januari 2025

Sumber:

1. https://www.youtube.com/@KampoengBacaPelangi
2. https://www.instagram.com/kampoengbacapelangi/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun