Sebuah nomor baru menghubungi saya beberapa kali pagi itu. Saya tidak menjawab panggilannya karena handphone memang saya setting dalam keadaan bisu. Saya baru tahu setelah membuka handphone.
Saat mengetahui panggilan tersebut saya jadi ingat ketika saya juga kerap mengalami hal yang sama ketika menghubungi seseorang. Betapa tidak menyenangkannya saat dalam situasi penting kita tidak dapat menghubungi seseorang.
Perasaan itu mendorong saya menghubunginya. Saya mencoba memanggil balik pemilik nomor yang bersangkutan. Dalam satu sampai dua tarikan napas dia menerima panggilan saya. Seorang perempuan mengucapkan salam dan menyebutkan namanya. Ya, saya ingat nama itu. Kami kerap bertemu kalau saya berkunjung ke sekolahnya. Kepala sekolahnya merupakan teman dekat saya.
"Apa kabar?" saya bertanya membuka percakapan basa-basi sebagai bentuk keakraban.
"Alhamdulillah. Baik, Pak."
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Ini, Pak. Saya kan ada undangan untuk mengikuti PPG."
Dengan menyebut PPG saya mengerti bahwa itu Pendidikan Profesi Guru--sebuah proses pendidikan profesi yang harus dijalani guru untuk mendapatkan sertifikat pendidik.
"Wah selamat, ya," saya memberikan apresiasi. "Terus? Apa yang bisa saya bantu?" saya mengulang pertanyaan sebelumnya.
"Itu dia Pak. Saya perlu bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugas PPG itu. Sama siapa lagi saya harus minta tolong. Pokoknya berapapun biayanya saya siap Pak."
Saya mengernyitkan dahi. Saya menangkap kesan adanya nada kepanikan dari suara itu. Panik dengan tugas yang belum diberikan. Dalam kepanikan itu, dia mencoba mencari jalan pintas agar dapat lulus dalam PPG yang akan diikuti.
Saya menarik napas panjang. Saya selalu suka membantu seseorang. Apalagi sesuatu yang bertujuan untuk mengembangkan diri. Namun tentu saja bantuan itu untuk berpikir bagaimana menyelesaikan sebuah tugas, bukan bantuan sebagai seorang joki sebagaimana yang sering terjadi dalam penyusunan skripsi atau menjawab soal-soal ujian.
"Tenang Bu. Tugas PPG dibawa santai saja. PPG saat ini dirancang sedemikian rupa agar tidak mengganggu kegiatan utama dari peserta. Saya baca beberapa informasi, kegiatan PPG diikuti melalui sebuah platform pembelajaran dan diupayakan tidak mengganggu tugas utama di sekolah sehingga dapat diikuti di luar jam sekolah.
Bahkan, Ibu masih punya waktu luang untuk mengurus anak-anak dan suami. Yang penting Ibu mengikuti kegiatan dengan serius dan memahami instruksi dalam menyelesaikan tugas. Kalau tugasnya sulit nanti kita diskusikan. Di sini juga ada guru yang mendapat undangan serupa," saya berusaha menenangkan.
"Siap!" jawabnya singkat sebelum mengucapkan terima kasih dan menutup panggilan.
***
Dalam perbincangan via telepon di atas saya menangkap adanya indikasi cara berpikir seseorang yang selama ini memilih bertahan pada zona nyaman. Bisa dipastikan teman saya di atas sejauh ini tidak berupaya meningkatkan kompetensi profesionalnya atau merasa tidak perlu repot meng-upgrade kemampuannya untuk mengimbangi perkembangan dunia pendidikan.
Saat menghadapi sebuah tantangan seperti itu, dia melihat tugas-tugas PPG sebagai sebuah kesulitan yang membuatnya mengalami kepanikan dan kecemasan. Pada akhirnya, sebelum mulai menjalani tantangan itu, dia sudah terpojok, memilih "menyerah" dan mencoba menempuh cara yang tidak relevan dengan memilih jalan pintas.
Guru dalam Zona Nyaman
Zona nyaman atau comport zone merupakan sebuah keadaan yang dapat dialami oleh setiap orang dalam berbagai kondisi. Zona nyaman merupakan sebuah situasi dimana seseorang menghindari tantangan dalam rangka mencapai kualitas diri dan hasil kerja.
Gagasan comfort zone berakar pada penelitian yang dilakukan oleh psikolog Robert M. Yerkes dan John Dillingham Dodson pada tahun 1908. Hasil penelitian itu---dikenal dengan Hukum Yerkes--Dodson---menyimpulkan bahwa kinerja meningkat seiring meningkatnya stres, dan kinerja menurun seiring berkurangnya stres. Stres atau tekanan dalam batas-batas tertentu dapat menjadi pendorong seseorang untuk meningkatkan kinerja. Namun teori ini juga mengakui bahwa stres berlebihan dapat menyebabkan kinerja menurun. (Sumber harvard.summer.edu)
Dikutip dari laman gramedia.com, istilah "comfort zone" yang secara harfiah berarti zona nyaman pertama kali diperkenalkan oleh Judith Bardwick pada tahun 1991. Judith mengandaikan zona nyaman sebagai perilaku seseorang yang bekerja dengan capaian yang konstan, tetap, tidak ada perubahan. Pola kerja seseorang yang bertahan dalam zona nyaman biasanya cenderung menghindari risiko, monoton, dan membosankan.
Orang lebih memilih zona nyaman karena adanya kekuatan yang menariknya dari belakang untuk menghindari tekanan kerja karena membutuhkan energi lebih banyak untuk berpikir, belajar, dan menyita waktu. Pada titik ini, mereka akan menggunakan serangkaian perilaku yang terbatas untuk mendapatkan hasil kerja yang tidak berubah dari waktu ke waktu.
Sepintas orang terlihat tenang dan damai dalam zona nyaman. Dia tampak tidak memiliki masalah dalam menjalankan profesinya. Meski demikian mereka pada dasarnya mengalami kesulitan untuk mengembangkan diri. Selebihnya, mereka akan mengalami kepanikan saat menghadapi sebuah tuntutan perubahan dan tugas-tugas tertentu yang tidak dapat dihindari, sebagaimana yang dihadapi guru di atas.
Keluar dari zona nyaman berarti seseorang harus menanggalkan prinsip "saya tidak mau ambil pusing". Mereka akan keluar dari cangkangnya dan menantang risiko kecemasan atau stres yang mungkin ditimbulkan.
Mereka yang mampu keluar dari zona nyaman berarti siap menghadapi dunia dengan berbagai tekanan dan tuntutan. Berada di luar zona nyaman tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan tetapi merupakan sebuah tantangan yang dapat menumbuhkan keberanian untuk menerima risiko dan konsekuensi.
Mereka yang tegak melangkah keluar dari zona nyaman menyadari bahwa tantangan itu dapat diatasi dengan berupaya mengembangkan diri, meningkatkan kemampuan, dan memperluas cakrawala berpikir.
Adanya keberanian itu didasari oleh sebuah keyakinan bahwa tantangan itu dapat dilewati dengan membangun pola pikir berkembang atau growth mindset---pola pikir yang menganggap keberhasilan dan kemampuan seseorang dapat berkembang melalui waktu, usaha, proses, dan ketekunan.
Dalam konteks pendidikan, adanya guru yang masih berada pada comfort zone kerap menjadi salah satu tersangka penyebab masalah di satuan pendidikan.
Dalam sebuah pelatihan kepala sekolah yang pernah saya ikuti, peserta ditugaskan untuk mengisi lembar kerja dengan menceritakan situasi di satuan pendidikan masing-masing. Saat mempresentasikan hasil kerja, salah satu permasalahan paling umum peserta adalah kecenderungan guru untuk bertahan pada zona nyaman.
Indikator yang menunjukkan comfort zone, salah satunya, guru cenderung melaksanakan pembelajaran yang monoton. Hal ini ditandai dengan pemilihan metode dan strategi pembelajaran yang tidak berubah serta penggunaan sumber-sumber belajar yang hanya bersifat tekstual dan terbatas. Mereka enggan untuk menyesuaikan tujuan pembelajaran dengan konten pembelajaran yang bersifat kontekstual.
Indikator lainnya mereka tidak tertarik pada inovasi pembelajaran dan merasa tidak nyaman dengan perubahan kurikulum dan teknologi pembelajaran sehingga merasa tidak perlu mempelajari hal-hal baru yang berkembang.
Para penganut zona nyaman juga dapat diduga kurang berinteraksi dengan teman sejawat dalam rangka berbagi pengalaman dan ide pembelajaran maupun penggunaan teknologi dalam pembelajaran.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam zona nyaman guru cenderung merasa cukup dengan pengetahuan dan pemahaman yang sudah ada. Mereka kurang berupaya melakukan pengembangan diri untuk mengimbangi dinamika perkembangan dunia pendidikan yang semakin kompleks.
Tentu saja tidak semua guru tetap bertahan dalam zona nyaman. Masih banyak guru-guru yang secara konsisten memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan, pemahaman dan keterampilan pedagogik. Mereka dengan kesadaran penuh terus mengembangkan diri dan memperbaharui kemampuannya secara berkelanjutan. Mereka sangat menyukai tantangan sebagai pemicu untuk terus belajar.
Pentingnya guru meninggalkan comfort zone
Dunia pendidikan terus berkembang dan mengalami pembaharuan. Tidak saja ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga karakteristik peserta didik dari waktu ke waktu. Anak-anak di yang lahir sebagai generasi X, Y, Z, dan Alpha memiliki karakter yang berbeda-beda. Setiap generasi menunjukkan perbedaan perilaku, gaya belajar, kebutuhan, sampai cara berinteraksi.
Dilansir dari Binus, misalnya, dibandingkan generasi Y, generasi Z cenderung lebih mudah untuk bersosialisasi dengan orang lain. Generasi Z juga disinyalir lebih cepat untuk belajar dibandingkan generasi sebelumnnya.
Banyak guru senior dan memiliki pengalaman mengajar dalam rentang waktu yang begitu panjang mengakui bagaimana hubungan peserta didik dan guru di masa lampau dan masa sekarang mengalami perubahan besar. Dulu hubungan guru dan siswa relatif memiliki sekat. Saat ini hubungan guru dan murid menjadi lebih dekat dan lebih akrab.
Perubahan-perubahan di atas mendorong guru untuk keluar dari zona nyaman, menanggalkan warisan pembelajaran lama dan memilih pendekatan pembelajaran yang lebih relevan dengan karakter anak-anak saat ini.
Pembahasan tentang perubahan dalam artikel sederhana ini tentu tidak cukup. Namun, satu hal penting bahwa perubahan dari waktu ke waktu menuntut guru untuk keluar dari zona nyaman.
Zona nyaman memang menenangkan, namun tidak mendorong pertumbuhan. Sebagai seorang guru, keluar dari zona nyaman adalah langkah penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan menjadi inspirasi bagi siswa.
Zona nyaman cenderung menghambat guru untuk melakukan hal-hal baru dalam pembelajaran. Keluar dari zona nyaman akan memaksa guru untuk belajar hal-hal baru yang berhubungan dengan paradigma pembelajaran yang relevan, penggunaan teknologi pembelajaran, dan konsep pendidikan mutakhir.
Dunia pendidikan terus berkembang dan mengalami pembaharuan. Selalu ada hal baru. Maka penting bagi guru keluar dari zona nyaman dan membuka diri terhadap hal-hal baru yang dapat dampak pada pertumbuhan pribadinya. Ini merupakan proses pengembangan diri yang berfokus pada peningkatan kualitas pribadi, profesional, dan sosial seorang guru.
Guru yang keluar dari zona nyaman akan dihadapkan pada tantangan yang dapat ditemukan ketika guru secara kritis melihat setiap kekurangan dalam pembelajaran. Setiap hari kemungkinan tantangan baru akan selalu muncul dalam pembelajaran. Tantangan baru itu memaksa guru untuk berpikir lebih kreatif dan berusaha melakukan inovasi sebagai solusi pembelajaran. Hal ini akan memungkinkan perubahan cara berpikir yang menumbuhkan kreativitas.
Dewasa ini, ada banyak peluang bagi guru untuk membangun pola pikir berkembang. Banyak komunitas offline maupun online yang dapat menjadi ruang untuk berbagi, belajar, dan mencari solusi dalam mengatasi masalah-masalah pembelajaran. Guru hanya memerlukan kemauan dan konsistensi.
Lombok Timur, 26 Agustus 2024
Sumber bacaan:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H