Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kacamata untuk Sifa, Kelainan Mata Ekstrem

20 Agustus 2024   16:48 Diperbarui: 20 Agustus 2024   19:59 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kacamata (sumber Shutterstock via Kompas) 

Pagi, 15/08/2024, saya berangkat ke sekolah sedikit tergesa-gesa. Sehari sebelumnya saya berjanji dengan Sifa, salah seorang siswa kelas 1, untuk mengantarnya ke rumah sakit. 

Sifa tinggal bersama ibunya yang sehari-hari bekerja mengambil upah menjahit pada salah satu pengusaha UMKM pakaian jadi di desa sebelah. Ayah Sifa bekerja sebagai buruh migran di Malaysia. Kondisi ekonomi yang tidak bersahabat memaksa mereka berpisah sementara sejak Sifa berumur belum genap satu tahun. Satu dari banyak anak-anak yang tidak sempat didampingi sosok ayah yang memilih meninggalkan kampung halaman dengan alasan memperbaiki kehidupan keluarga secara ekonomi. 

Sifa, gadis kecil itu, mengalami masalah penglihatan. Sepintas posisi bola matanya terlihat tidak seperti mata normal pada umumnya. Penglihatannya agak (maaf) jereng. Mata kecil itu juga terlihat sedikit berair. 

Menurut ibunya, Sifa telah mengalami kelainan penglihatan sejak kecil. Ibunya menduga gangguan itu makin parah setelah Sifa sering main handphone. 

Di sekolah Sifa mengalami kesulitan dalam belajar, terutama dalam membaca, menulis, mengamati sebuah objek, atau ketika kegiatan belajar harus menggunakan media belajar visual. Gangguan penglihatan itu membuat Sifa harus berjuang keras dan mengumpulkan energi untuk memusatkan tatapannya untuk mengenali sebuah objek visual. Sebuah kondisi yang sangat memprihatinkan. 

Keterbatasan penglihatan itu membuat Sifa harus ditangani secara medis. Dengan membawa surat rujukan dari puskesmas saya berjanji mengantar Sifa ke rumah sakit, tepatnya, Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soedjono, Selong, Lombok Timur.

Sebelumnya Sifa dibawa ibunya ke Puskesmas Kecamatan Terara, Lombok Timur, untuk menjalani pengobatan. Karena keterbatasan peralatan, pihak puskesmas memberikan rujukan pengobatan ke rumah sakit terdekat. Dengan bekal rujukan itu Sifa dibawa ibunya ke RS Anggoro Terara, Lombok Timur. Rumah sakit swasta yang menerima layanan BPJS itu terletak di seberang jalan depan puskesmas.

Sayangnya RS Anggoro juga memiliki peralatan yang tidak lengkap. Dari sini, Sifa diberikan rujukan untuk berobat ke RSUD Soedjono Selong, Lombok Timur.

Rencana awalnya hanya saya yang mengantarkan Sifa ke rumah sakit. Namun Sifa merajuk. Gadis kecil itu bersikeras tidak mau pergi tanpa ibunya. Akhirnya ibu Sifa mengalah melihat sikap anaknya. Saya, Sifa, dan ibunya berangkat.

Dua orang dewasa dan seorang gadis kecil duduk mengangkang berdesakan di atas jok sepanjang tidak lebih dari 75 cm, menempuh perjalanan sekitar 20 km. 

Kami tiba di rumah sakit sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Memasuki lobi rumah sakit saya langsung mengambil nomor antrian untuk selanjutnya menuju loket registrasi. 

Seperti pengunjung lainnya, saya mengambil tempat duduk di ruang tunggu depan loket untuk menunggu panggilan. Mesin pemanggil secara teratur terus memanggil satu persatu pemegang nomor antrian menuju loket registrasi. Sampai saatnya tiba, mesin itu menyebut nomor antrian yang ada di tangan saya. Mendengarnya, saya melangkah menuju loket registrasi sesuai arahan panggilan. Kepada petugas loket saya menyerahkan nomor antrian dan dokumen berupa surat rujukan, hasil pemeriksaan dari puskesmas, dan kartu keluarga.

Kurang dari sepengunyahan sirih petugas loket kembali memanggil saya dan mengembalikan dokumen milik Sifa dengan lampiran bukti registrasi. Dengan sikap yang ramah, petugas loket mengarahkan saya ke ruang poli mata yang terletak di sisi barat rumah sakit. 

Setelah berbasa-basi dengan ucapan terima kasih, saya melangkah menuju poli mata. Saya berjalan di depan pengunjung yang duduk di bangku besi panjang. Bangku-bangku itu diletakkan berderet di sepanjang ruang tunggu. Di belakang saya, anak beranak itu mengikuti langkah saya. Sifa bergayut di lengan ibunya seakan tidak ingin tertinggal.

Suasana ruang tunggu sangat ramai. Di depan pintu beberapa ruang poli, sebagian pengunjung terpaksa berdiri karena tidak mendapatkan tempat duduk. Beberapa pasien, yang tidak bisa berjalan, duduk di atas kursi roda yang disediakan rumah sakit. 

Semua pengunjung seolah terus-menerus mengarahkan pandangannya ke pintu-pintu ruang poli. Jelas sekali wajah-wajah pengunjung itu terlihat bosan menunggu giliran. 

Di depan poli mata tampak dua orang petugas duduk melayani pengunjung. Saya menghampiri petugas itu dan menyerahkan dokumen milik Sifa. Saya dipersilakan lagi untuk melakukan ritual menunggu bersama pengunjung lainnya.

Saya mencari tempat yang nyaman untuk berdiri. Sifa, dan ibunya mengambil tempat duduk di salah satu kursi panjang yang lowong. Sambil menunggu saya menikmati tayangan televisi berukuran besar yang berada di dinding ruangan poli. Saya sedikit mendongak karena letaknya yang cukup tinggi.

Sekitar 10-15 menit berlalu, nama Sifa dipanggil petugas di depan poli untuk mengkonfirmasi keluhan pasien dan menjalani pemeriksaan tekanan darah. 

Setelah itu kami menunggu lagi untuk mendapatkan pemeriksaan dokter. Tidak lama berselang Sifa dipanggil lagi memasuki ruang pemeriksaan. Saya dan ibu Sifa dipersilakan ikut masuk. 

Di dalam ruangan seorang petugas mengarahkan Sifa menuju sebuah mesin untuk menjalani pemeriksaan mata. Entah apa nama alat itu. Sifa melangkah dan diminta mendekatkan wajahnya ke sisi depan mesin. Petugas mulai mengoperasikan mesin dan mencatat hasil pemeriksaan. Secarik kertas keluar hasil pemeriksaan keluar dari salah satu sisi mesin.

Tahapan berikutnya, petugas meminta Sifa duduk di sebuah kursi. Dengan mengenakan kacamata peraga, Sifa diperlihatkan beberapa gambar dan huruf snellen. Sifa diminta menyebutkan nama obyek yang dilihatnya. Beberapa kali lensa kacamata itu diganti sampai Sifa benar-benar merasa nyaman dan melihat dengan jelas objek yang diperlihatkan. Sifa juga diminta berjalan sambil mengenakan kacamata. 

“Adik pusing waktu jalan?” tanya petugas itu ramah.

Sifa menggeleng. Saya jadi ingat saat-saat awal mengenakan kacamata kepala saya agak pusing. Rupanya berjalan sambil mengenakan kacamata bertujuan untuk mengetahui rasa pusing yang mungkin ditimbulkan oleh pemakaian kacamata. 

Sebagai orang awam, saya menduga pemeriksaan dengan melihat kartu snellen bertujuan untuk menganalisis seberapa jelas mata dapat melihat mengenali suatu objek. 

Ada senyum di wajah Sifa saat melihat dengan jelas gambar yang ditunjukkan. Ada harapan pada tatapan mata kecil itu bahwa realitas dan dunia akan menjadi lebih jelas. 

Hasil pemeriksaan itu menunjukkan tingkat kelainan silindrisnys mencapai angka 7, dengan minus sampai 12. 

Dokter spesialis mata geleng-geleng melihat hasil pemeriksaan itu. Anak sekecil itu sudah mengalami masalah penglihatan yang begitu berat. Menurut dokter, mata dengan silindris 4 ke atas termasuk kelainan ekstrem. 

Tidak bertanya lebih jauh tentang kelainan silindris, saya mencoba googling. Berdasarkan beberapa sumber, mata silindris dalam istilah medis disebut juga astigmatisme. Istilah tersebut mengacu pada kondisi mata yang mengalami penglihatan kabur dan berbayang karena bentuk kornea atau lensa mata tidak cembung sempurna.

Dengan kelainan mata itu, dokter merekomendasikan kepada Sifa untuk menggunakan kacamata. Saya diarahkan untuk membawa Sifa ke salah toko optik yang bekerja sama dengan BPJS dalam pengadaan kacamata. 

Sambil pulang kami singgah di toko optik yang ditunjuk. Memasuki toko optik, saya menyerahkan dokumen tentang kelainan mata yang dialami Sifa. Membaca hasil pemeriksaan dokter, pihak optik mengaku tidak memiliki lensa yang cocok dengan kelainan mata yang dialami Sifa. Karena itu, saya diminta membawa Sifa ke sebuah toko optik lain yang memiliki jenis lensa yang dibutuhkan serta menerima layanan BPJS. 

Hari sudah siang. Sifa mulai mengeluh karena lapar. Sambil menuju toko optik yang dimaksud, saya membawa Sifa singgah ke sebuah warung untuk mengatasi keluhan sifa atas nama perut. Ternyata toko optik itu berada di seberang jalan. Keluar dari warung kami menyeberang jalan menuju toko optik.

Suasana lengang saat saya masuk toko. Dua sampai tiga kali saya mengucapkan salam. Seorang perempuan muda keluar menyambut kami dengan ramah. Bisa ditebak perempuan itu pegawai di toko optik tersebut. 

“Ada yang bisa kami bantu?” Tentu saja ini pertanyaan yang dilontarkan.

Saya mengeluarkan dokumen dari rumah sakit. Sambil menjelaskan bahwa saya mencari kacamata untuk Sifa, saya menyerahkan dokumen hasil pemeriksaan dokter. Perempuan itu membuka dokumen hasil pemeriksaan tersebut. Sejenak kemudian perempuan itu memanggil temannya dan menanyakan ketersediaan lensa yang dibutuhkan Sifa. Ternyata lensa dengan silinder ukuran 7 tidak ada. Bahkan, katanya, batas maksimal yang dikeluarkan pabrik hanya sampai ukuran 6. Namun, keluhan itu dapat disesuaikan dengan ukuran yang lebih rendah dari ukuran yang dibutuhkan Sifa. 

Seperti di rumah sakit, Sifa kembali menjalani pemeriksaan dengan menggunakan kartu snellen. Petugas toko menyematkan frame kacamata dan mencoba beberapa lensa simulasi.

Setelah menemukan ukuran yang tepat, saya menanyakan harga kacamata tersebut. Pihak toko menyampaikan bahwa harga kacamata Sifa sebesar Rp 1.825.000. Sifa, dengan BPJS kelas 1, hanya ditanggung Rp 185.000. Namun Sifa harus menunggu 10 hari sampai kacamata itu siap pakai. 

Ya, sepuluh hari ke depan sejak pemesanan kacamata, Sifa memiliki harapan dapat melihat dunia lebih jelas. Saatnya nanti, Sifa akan melihat huruf, angka, atau gambar di papan tulis. Pada saatnya nanti, Sifa akan dapat membaca buku berisi gambar berhias warna-warni yang menarik. Dengan bantuan kacamata, Sifa mungkin akan dapat melihat keindahan Rinjani yang menancap di kaki langit utara Pulau Lombok. 

Lombok Timur, 20 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun