Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Media Sosial sebagai Pengendali Diri, Mungkinkah?

2 Agustus 2024   12:58 Diperbarui: 3 Agustus 2024   06:28 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang warga yang melihat akun media sosialnya melalui ponsel (Sumber SEKAR GANDHAWANGI via Kompas)

Keberadaan media sosial dewasa ini telah membentuk semacam pergaulan global. Sebagai bagian dari teknologi digital, media sosial telah membuat Anda, saya, dan semua penggunanya dapat terhubung dengan orang lain di berbagai belahan bumi tanpa sekat ruang dan waktu. 

Media sosial sejauh ini identik dengan platform digital mutakhir seperti Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan belakangan TikTok. Pandangan ini berbeda dengan klaim Michael S. Rosenwald, seorang penulis dan jurnalis The Washington Post. 

Michael menuliskan bahwa kemunculan media sosial sebenarnya telah hadir sejak zaman pra-internet. Michael percaya, sejarah media sosial dimulai hampir dua abad yang lalu. Kehadiran media sosial diawali sejak tanggal 24 Mei 1844, ketika Samuel Finley Breese Morse, seorang pelukis yang beralih menjadi penemu, mengirim pesan dari Washington ke Baltimore.

Multi Fungsi Media sosial

Media sosial dalam perkembangannya mengalami evolusi dari waktu ke waktu. Evolusi itu makin menggila dengan hadirnya deretan platform media digital. Perkembangan media sosial juga membuat fungsinya makin berkembang dengan berbagai dampak yang begitu kompleks.

Media sosial tidak saja sebagai instrumen pengiriman pesan sebagaimana yang dilakukan Morse. Media sosial dewasa ini memungkinkan seseorang berbagi informasi, ide, dan pengalaman.

Media sosial membuka kesempatan penggunanya untuk mengakses dengan cepat ragam peristiwa, tren, dan derasnya informasi. Arus informasi itu menggempur keseharian kita tanpa batas, mengepung kesadaran kita dari berbagai sumber dan penjuru. 

Sebagai sumber informasi, media sosial sekaligus menempatkan dirinya sebagai sumber belajar, tempat kita memperoleh ilmu baru. Kecenderungan untuk belajar menuntut seseorang terhubung dan bergabung dalam satu atau beberapa komunitas yang terbentuk melalui media sosial.

Fungsi lain media sosial dimanfaatkan seseorang untuk membangun personal branding--menampilkan citra diri sebagai prioritas utama bagi banyak individu, terutama di kalangan profesional. 

Sebagian orang memanfaatkannya sebagai ruang pencitraan, sekadar untuk menarik perhatian dari orang lain. Dengan kata lain hanya sebagai tempat untuk melampiaskan keinginan narsistiknya. 

Aksi si Komat dan wadah ekspresi

Seorang tiktoker dengan nama akun si Komat kerap membuat saya senyum sendiri dengan aksi lucu dalam setiap konten yang diunggahnya. Dengan gerakan kocaknya tiktoker ini konsisten menirukan gaya seorang vokalis band dalam setiap kontennya. 

Kadang si Komat beraksi di hamparan persawahan, menyalami dan menyapa tanaman di hadapannya. Laiknya seorang penyanyi yang sedang manggung, si Komat dengan penuh jenaka bertingkah seakan sedang berada di hadapan ribuan penonton. Pada konten yang berbeda si Komat manggung di antara kumpulan unggas seakan sedang konser di tengah penggemarnya. 

Aksi tiktoker itu hanya satu dari berbagai cara pengguna media sosial untuk berekspresi. Apa yang dilakukan si Komat menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi wadah yang sangat efektif untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain. Melalui video, suara, gambar, atau tulisan, pengguna medsos dapat mengekspresikan kreativitas, bakat, ide, dan nilai seseorang. 

Kecenderungan seseorang untuk berekspresi memiliki keterkaitan erat dengan kebutuhan aktualisasi diri. Ini merupakan sebuah kebutuhan yang, dalam teori hirarki Maslow, mengacu pada keinginan manusia untuk mencapai potensi penuh seseorang dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.

Pada kenyataannya penggunaan media sosial sebagai ruang ekspresi seringkali dilakukan dengan cara yang tidak relevan. Demi popularitas, tidak sedikit orang menyentak kesadaran kita karena mengekspresikan diri dengan cara-cara yang berseberangan dengan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh masyarakat.

Akhir Juli 2024 yang lalu, Polres Lombok Timur, misalnya, mengamankan seorang tiktoker perempuan karena aksi vulgarnya di hadapan sejumlah penonton online. 

Apapun motivasinya, ini merupakan bentuk ekspresi yang membuat banyak pihak yang tidak nyaman karena melanggar norma kesusilaan yang berlaku. Satu dari banyak kasus penggunaan medis sosial yang keliru. 

Media sosial sebagai "pengendali diri"

Pernyataan bahwa media sosial dapat menjadi "pengendali diri" menjadi sebuah paradoks yang menarik. Di satu sisi, media sosial memberikan kita akses ke berbagai informasi yang tak terbatas, memungkinkan kita untuk belajar, terhubung, dan berkembang. Di sisi lain, platform-platform ini juga dapat memicu kemarahan, kegelisahan, kecemasan, atau bahkan gejolak sosial. 

Di sinilah media sosial berperan sebagai pengendali diri. Dus, hal penting yang perlu ditanamkan adalah kesadaran bahwa media sosial bisa dijadikan cermin diri. Penilaian orang lain terhadap unggahan kita dapat menjadi cermin atas perilaku dan kepribadian kita. 

Oleh karena itu, penting untuk memegang kendali atas diri sendiri untuk tidak selalu memamerkan aktivitas di beranda medsos. Pengguna medsos seyogyanya dapat memilih aktivitas apa yang perlu diunggah dan disebarkan melalui media sosial. 

Ketika seseorang mengunggah aktivitas atau membagikan informasi ke media sosial, pada dasarnya ia tengah berupaya melakukan interaksi dengan teman-teman medsosnya. Interaksi di medsos adalah masuk ke platformnya dan menatap beranda. Selebihnya, mengunggah tatapan kesedihan, mengulum senyum bahagia, menulis puisi kemarahan, atau momen lain yang dianggap menarik. 

Interaksi dengan membagikan hal-hal positif menunjukkan bahwa kita berupaya menjalin interaksi yang menyenangkan dengan pengguna lain. Sebaliknya, memamerkan sesuatu yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan akan menimbulkan persepsi negatif tentang kualitas kepribadian kita di mata orang lain. 

Jadi, sebagai pengguna medsos kita seharusnya membekali diri dengan kemampuan mengelola emosi. Penting pula untuk mengendalikan diri dari perilaku impuls, perilaku yang ditandai dengan tindakan yang dilakukan seseorang tanpa memikirkan akibatnya. Biasanya dilakukan secara berulang-ulang.

Kehadiran media sosial kerap dimanfaatkan penggunanya untuk mengunggah hal-hal menarik. Tanpa menjadi pengguna media sosial, setiap orang dapat berpotensi menjadi sasaran konten. Dengan menyadari hal ini, akan lebih bijak jika kita menahan diri dari tindakan atau perilaku yang menarik perhatian orang lain ketika berada di ruang publik. 

Diperlukan sikap waspada agar tidak menjadi objek rekaman para pengguna media sosial yang dapat menjadi bahan konten mereka. Kewaspadaan itu dapat diwujudkan dengan mengendalikan diri dari sikap, perilaku, atau tindakan yang dapat mendorong orang lain menjadikan obyek unggahan yang menimbulkan kontoversi.

Artinya, memilih menjadi orang bijak dan penuh pertimbangan tidak harus menjadi pengguna media sosial tetapi dapat ditunjukkan tanpa memilih ruang dan waktu. 

Lombok Timur, 02 Agustus 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun