Kadang si Komat beraksi di hamparan persawahan, menyalami dan menyapa tanaman di hadapannya. Laiknya seorang penyanyi yang sedang manggung, si Komat dengan penuh jenaka bertingkah seakan sedang berada di hadapan ribuan penonton. Pada konten yang berbeda si Komat manggung di antara kumpulan unggas seakan sedang konser di tengah penggemarnya.
Aksi tiktoker itu hanya satu dari berbagai cara pengguna media sosial untuk berekspresi. Apa yang dilakukan si Komat menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi wadah yang sangat efektif untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain. Melalui video, suara, gambar, atau tulisan, pengguna medsos dapat mengekspresikan kreativitas, bakat, ide, dan nilai seseorang.
Kecenderungan seseorang untuk berekspresi memiliki keterkaitan erat dengan kebutuhan aktualisasi diri. Ini merupakan sebuah kebutuhan yang, dalam teori hirarki Maslow, mengacu pada keinginan manusia untuk mencapai potensi penuh seseorang dan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Pada kenyataannya penggunaan media sosial sebagai ruang ekspresi seringkali dilakukan dengan cara yang tidak relevan. Demi popularitas, tidak sedikit orang menyentak kesadaran kita karena mengekspresikan diri dengan cara-cara yang berseberangan dengan nilai-nilai moral yang dipegang teguh oleh masyarakat.
Akhir Juli 2024 yang lalu, Polres Lombok Timur, misalnya, mengamankan seorang tiktoker perempuan karena aksi vulgarnya di hadapan sejumlah penonton online.
Apapun motivasinya, ini merupakan bentuk ekspresi yang membuat banyak pihak yang tidak nyaman karena melanggar norma kesusilaan yang berlaku. Satu dari banyak kasus penggunaan medis sosial yang keliru.
Media sosial sebagai "pengendali diri"
Pernyataan bahwa media sosial dapat menjadi "pengendali diri" menjadi sebuah paradoks yang menarik. Di satu sisi, media sosial memberikan kita akses ke berbagai informasi yang tak terbatas, memungkinkan kita untuk belajar, terhubung, dan berkembang. Di sisi lain, platform-platform ini juga dapat memicu kemarahan, kegelisahan, kecemasan, atau bahkan gejolak sosial.
Di sinilah media sosial berperan sebagai pengendali diri. Dus, hal penting yang perlu ditanamkan adalah kesadaran bahwa media sosial bisa dijadikan cermin diri. Penilaian orang lain terhadap unggahan kita dapat menjadi cermin atas perilaku dan kepribadian kita.
Oleh karena itu, penting untuk memegang kendali atas diri sendiri untuk tidak selalu memamerkan aktivitas di beranda medsos. Pengguna medsos seyogyanya dapat memilih aktivitas apa yang perlu diunggah dan disebarkan melalui media sosial.
Ketika seseorang mengunggah aktivitas atau membagikan informasi ke media sosial, pada dasarnya ia tengah berupaya melakukan interaksi dengan teman-teman medsosnya. Interaksi di medsos adalah masuk ke platformnya dan menatap beranda. Selebihnya, mengunggah tatapan kesedihan, mengulum senyum bahagia, menulis puisi kemarahan, atau momen lain yang dianggap menarik.
Interaksi dengan membagikan hal-hal positif menunjukkan bahwa kita berupaya menjalin interaksi yang menyenangkan dengan pengguna lain. Sebaliknya, memamerkan sesuatu yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan akan menimbulkan persepsi negatif tentang kualitas kepribadian kita di mata orang lain.