Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Siswaku Nyaris Putus Sekolah Gegara Game Online

5 Juni 2024   21:02 Diperbarui: 6 Juni 2024   12:49 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya dan Iwan duduk berhadapan. Saya mulai mengajak Iwan berdialog dengan bertanya beberapa hal. Mengapa dia tidak masuk? Bagaimana perasaan Iwan di sekolah? Apa yang membuatnya nyaman atau ridak nyaman saat berada di sekolah? Saya juga mengorek keterangan mungkin ada guru atau temannya yang membuatnya sedih atau ketakutan?

Pertanyaan-pertanyaan itu tidak satupun dijawabnya. Saya mencoba memberikan pengertian bagaimana ayahnya bersusah payah pergi ke Malaysia dengan tujuan agar dia dan adiknya dapat sekolah. Demikian juga dengan ibunya yang ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena ayahnya tidak selalu dapat mengirimkan uang.

Saya mengajak Iwan berefleksi tentang hal-hal yang menarik atau kegiatan yang membuatnya senang di sekolah sembari membujuknya agar mau masuk kembali. Namun sayang, Iwan semua bujukan dan ajakan itu hanya direspon dengan gelengan kepala. Sejenak ada perasaan jengkel saat dengan jelas dia mengatakan "tidak mau masuk".

Akhirnya saya mengalah. Beberapa hari lalu saya diskusikan lagi dengan guru kelasnya untuk mencari jalan keluar supaya Iwan kembali ke sekolah.

Dalam diskusi itu, dalam perkiraan guru kelasnya, penyebab Iwan tidak mau masuk sekolah karena sudah kecanduan game. Dalam pikiran saya ini memerlukan psikolog. Tetapi mau cari psikolog di mana?

Pada titik ini, saya ingat Iwan merupakan salah satu siswa penerima BSM (Bantuan Siswa Miskin). Saya pikir ini bisa menjadi senjata untuk memaksa Iwan kembali ke sekolah.

Sebelum menemui Iwan saya dan guru sepakat untuk menyampaikan peringatan berupa pemberian sanksi agar dana BSM yang sudah diterima dikembalikan ke sekolah. Sanksi lainnya akan dikeluarkan dari data kesiswaan dan dinyatakan putus sekolah.

Saat menyampaikan ancaman sanksi itu, ibunya mengatakan tidak mungkin mengembalikan dana BSM yang telah diterima Iwan karena tidak punya uang. Sembari menangis, ibunya mengizinkan sekolah menyita handphone milik Iwan.

Mendengar handphonenya di sita, Iwan tampak khawatir. Akhirnya Iwan menyatakan bersedia masuk sekolah kembali. Sampai artikel ini saya tulis Iwan sudah masuk sekolah seperti biasa.

Secagai catatan, terkait pengembalian dana BSM dan penyitaan handphone sebenarnya hanya sebatas ancaman. Sekolah tidak mungkin melakukannya. Berdasarkan pengalaman di atas, saya berasumsi bahwa rupanya Iwan kembali ke sekolah karena takut handphonenya disita sekolah. Kekhawatirannya bukan ancaman pengembalian BSM. Iwan membayangkan betapa menyedihkan hidupnya jika handphonenya disita sekolah. 

Kasus Iwan di atas menunjukkan bahwa betapa dahsyatnya pengaruh game online ketika anak-anak sudah mengalami kecanduan. Mungkin tidak semua anak mengalami hal semacam itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun